REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Danang Aziz Akbarona *)
"Cukup sudah, hentikan melecehkan ulama!" Itulah kira-kira ungkapan yang mewakil perasaan penulis. Ungkapan ini diyakini menjadi perasaan seluruh umat Islam di Indonesia. Perasaan yang muncul spontan merespons kondisi kebangsaan yang menjadikan ulama sebagai bulan-bulanan akhir-akhir ini.
Peristiwa paling aktual terjadi saat sidang kedelapan kasus penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Saat itu, Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dihadirkan jaksa sebagai saksi.
Ahok dan tim pengacaranya mencerca Kiai Ma'ruf dengan pertanyaan tendensius, menuduh, dan memojokkan. Bahkan, Ahok terang benderang akan memproses secara hukum Kiai Ma'ruf karena pernyataannya dianggap bohong.
Kiai Ma'ruf juga dinilainya tidak pantas menjadi saksi karena mengarah dukungan pada pasangan calon nomor satu pada Pilkada DKI Jakarta. Sementara Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat merupakan paslon nomor dua.
Padahal, ihwal yang semestinya ditanyakan kepada Kiai Ma'ruf adalah terkait sikap keagamaan MUI tentang penistaan agama yang dilakukan Ahok dalam kasus pelecehan "Al-Maidah 51". Kiai Ma'ruf diundang dalam kapasitas untuk memberikan keterangan ahli tentang fatwa dan hal itu clear dijelaskan oleh Kiai Ma'ruf.
Tentu saja MUI punya kredibilitas sebagai lembaga pemberi fatwa, prosesnya dilakukan secara prosedural kelembagaan. Fatwa MUI tidak untuk diperdebatkan, sebaliknya harus dihormati.
Maka, ketika Ahok dan pengacaranya menyoal kredibilitas fatwa MUI, lalu secara tendensius dan membabi buta menyerang integritas pribadi ulama sekelas Kiai Ma'ruf, sontak mendapatkan respon keras dari elemen umat Islam. Ahok dan tim pengacaranya mungkin lupa (hingga gelap mata) bahwa Kiai Ma'ruf bukan saja Ketua Umum MUI, tapi sekaligus juga menempati posisi terhormat di kalangan Nahdliyin, yakni sebagai Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama, ormas Islam terbesar di negeri ini.
Respons keras pun datang dari berbagai elemen umat, utamanya dari kalangan Nahdliyin. PBNU memprotes keras sikap Ahok dan meminta Ahok untuk minta maaf langsung kepada Kiai Ma'ruf. Bahkan, GP Ansor tegas menyerukan "Siaga Satu Komando."
Bahwa kemudian tim pengacara hingga Ahok sendiri meralat sikap dan pernyataannya saat sidang (hingga keluar kata "maaf"). Bagi penulis, itu hal lain karena hampir semua pemirsa, apalagi yang merasa menjadi santri-santri Kiai Ma'ruf, menangkap jelas sikap pemojokan hingga pelecehan saat sidang yang diliput live oleh televisi nasional tersebut.
Hebatnya, sudah diperlakukan sedemikian rupa, Kiai Ma'ruf dengan ketawadhu'an dan keikhlasannya bersedia memaafkan Ahok. Satu keteladanan yang seharusnya 'menampar' Ahok atas sikap dan perangainya selama ini.
Tren pelecehan ulama
Kalau dicermati aksi yang menyerang, mendiskreditkan, dan melecehkan ulama merebak seiring menghebohnya peristiwa penistaan Alquran yang dilakukan Ahok. Peristiwa ini menyulut ketersinggungan para ulama dan jutaan umat Islam Indonesia hingga lahirlah Aksi Bela Islam (ABI) 411 dan ABI 212.
Aksi ini dimotori oleh ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI). Ahok pun kemudian menjadi tersangka. Sejak itu serangan terhadap ulama dan gerakan bela Islam datang bertubi-tubi.
Aksi bela Islam yang sesungguhnya menuntut penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku penistaan Alquran dan ulama mendapatkan kontrawacana dan resistensi yang cukup kuat dari pihak-pihak tertentu sebagai ancaman bagi kebinnekaan, persatuan, toleransi, dan NKRI. Tak cukup itu, fatwa MUI tentang hal ini juga dianggap meresahkan dan menjadi sumber kegaduhan.
Bahkan, sejumlah ulama terutama yang tergabung dalam GNPF MUI satu persatu diperkarakan kepada pihak berwenang dengan kasus-kasus lama dan cenderung mengada-ada. Publik luas kemudian melihat dan merasakan gelagat adanya upaya kriminalisasi terhadap ulama yang terindikasi sebagai serangan balik terhadap aksi-aksi bela Islam yang terjadi sebelumnya.
Kondisi ini (lapor melaporkan ulama) tentu tidak baik dalam upanya menghadirkan situasi sosial politik dan kamtibmas yang kondusif di masyarakat. Bagaimanapun ulama adalah panutan umat dan memiliki massa yang tentu saja tidak tinggal diam melihat panutan mereka dilecehkan bahkan dikriminalisasi. Lebih dari itu, ulama menempati posisi terhormat dan mulia dalam sosiokultural bangsa kita yang tidak semestinya diperlakukan demikian.
Hormati ulama
Ulama sudah menjadi panutan masyarakat selama berabad-abad dan turut serta dalam mempertahankan Tanah Air dan bangsa dari penjajahan sejak era Portugis, Belanda, hingga Jepang. Ulamalah yang menggerakkan perlawanan terhadap penjajah yang kemudian disambut para santri dan umat dengan semangat jihad dan pengorbanan.
Munculnya gerakan antipenistaan agama yang diperkuat dengan fatwa MUI memang menimbulkan pro kontra. Tapi semua pihak sudah semestinya menghargai dan menghormati pandangan keagamaan tersebut karena fatwa dihasilkan oleh organisasi ulama yang kredibel , yaitu Majelis Ulama Indonesia.
Sudah menjadi tugas ulama untuk membimbing dan mengawal umat agar berkomitmen dalam menjaga akidah dan akhlak dari kerusakan. Tidak ada yang salah dengan MUI dalam mengeluarkan fatwa karena itu memang tugasnya dan tidak ada masalah dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI selama ini.
Demikian juga, para ulama yang menyuarakan aspirasinya agar oknum-oknum yang disangka melakukan penistaaan agama untuk diadili, baik melalui aksi demonstrasi maupun memberikan pernyataan yang tegas, hendaknya disikapi sebagai masukan yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa yang relijius ini. Jika hal itu kemudian mendapat perlawanan dengan upaya yang mengesankan kriminalisasi terhadap ulama yang bersuara tegas dan kritis tentu ini sangat kontrproduktif bagi masa depan kebangsaan kita.
Peran aparat
Dalam kondisi seperti ini, peran aparat keamanan dan penegak hukum sangat penting. Aparat harus bertindak objektif netral dan imparsial (tidak berpihak) dengan tetap mengedepankan penciptaan situasi sosial politik serta kamtibmas yang kondusif.
Untuk itu diperlukan kehati-hatian serta mengutamakan pendekatan persuasif, dialogis, dan pengayoman. Jangan sampai langkah penegakan hukum tidak sensitif terhadap situasi dan kondisi masyarakat apalagi jika jelas-jelas mengarah pada kriminalisasi ulama.
Jika kondisi yang mengarah pada pelecehan dan kriminalisasi terhadap ulama ini tidak dihentikan muncul kekhawatiran akan terjadinya disharmoni dan disfungsi sosial yang memerosokkan Indonesia dalam perangkap negara gagal (failed state), di mana pemangku kebijakan tidak mampu mengatasi masalah-masalah krusial dan fundamental yang muncul dalam (era) kepemimpinannya.
Eksistensi pemerintahan sejak Indonesia merdeka berjalan kondusif, aman, dan damai ketika ulama diposisikan pada tempat yang terhormat dan tidak diganggu gugat dalam menjalankan tugasnya sebagai pewaris para Nabi, yaitu melakukan amar ma’ruf nahi munkar
Hal itu haruslah berangkat dari kesadaran dan pengakuan yang jujur bahwa ulama punya peran historis yang besar dalam melahirkan negeri ini. Perannya tak pernah surut setelah Indonesia merdeka khususnya dalam membangun akhlak dan kepribadian bangsa.
Dus, siapapun pemegang kendali pemerintahan agar memperhatikan sejarah bangsa ini dan mengambil pelajaran berharga darinya. Agar dapat menyelamatkan negeri ini dari anasir-anasir yang merusak: dari mereka yang gemar melecehkan ulama.
*) Alumni Madrasah dan Pesantren, Kandidat Doktor Manajemen SDM UNJ