Senin 12 Dec 2016 04:57 WIB

Mar’ie dan Era Pertarungan Terakhir Soeharto Vs IMF

Mantan menteri kuangan, Marie Muhammad.
Foto: dok.Istimewa
Reformasi 1998

Tapi, kondisinya ini tak berlangsung lama. Secara diam-diam, tak sekitar sebulan kemudian situasi krisis ekonomi mulai menular ke Indoneisa. Entah mengapa dolar naik begitu ngebut. Terdengar ada seorang pedagang valas dunia Goerge Soros memborong rupiah. Kurs rupiah terhadap dolar mulai saat itu jatuh secara gila-gilaan.

Situasi ini jelas mendapat perhatisan serius dari sang pemimpin Orde Baru, Soeharto. Dia mulai gelisah dan mempertanyakan mengenai munculnya kenyataan yang berbalikan. Soeharto tampak tak suka dan mulai geram terhadap suasana dan ketidakvalidan laporan pembantunya.

Untuk memecah kebuntuan, sejalan dengan mulai terasa dampak krisis ekonomi, pada saat itu Soeharto mulai mengajak dikusi beberapa ahli ekonomi yang selama ini menjadi kepercayaannya.

Namun, kini ada sedikit perbedaan. Soeharto tak hanya memanggil 'dedengkot' tim ekonomi Orde Baru Widjojo Nitisastro yang selama 30 tahun menemaninya. Saat itu, dia berusaha mencari second opinion di luar ekonom lulusan Universitas Indonesia atau yang selama ini dikenal dengan mazhab 'Barkley'-nya itu.

Soeharto pun kemudian mencari ekonom lain. Pilihannya jatuh kepada ekonom lulusan Universitas Gadjah Mada, yang saat itu sukses memimpin Direktorat Jenderal Pajak, yakni Fuad Bawazier.

Maka dalam beberapa bulan ke depan, dua orang ini seolah 'diadu jangkrik' untuk berdebat mengenai penanganan krisis ekonomi di depannya. Tak cukup dengan keduanya, belakangan dia juga mencoba mencari saran dari ekonom Amerika Serikat dari 'Johns Hopkin University Balltimore, Steve Hanke.

Fuad menceritakan secara rutin dia memang melakukan diskusi empat mata dengan Soeharto di masa berlangsungnya krisis ekonomi hingga sang penguasai ini turun pada Mei 1998. Sepanjang masa itu, Sorharto tampak kecewa berat ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia.

Bukan hanya itu, dia pun sempat bertanya kepadanya: ''Fuad mengapa ini terjadi?''

''Ketika ditanya itu, saya pun jawab, ‘Pak sebenarnya Indonesia seharusnya terlebih dahulu terimbas krisis daripada Thailand. Ekonomi kita rapuh, Pak. Jadi, Bapak selama ini 'dibohongi'!'' kata Fuad.

Mendengar pernyataan itu, Fuad mengatakan, Soeharto sempat sedikit terkejut. Namun, itu hanya sesaat, setelah itu dia menyimak pernyataannya dengan sangat tenang, saksama, dan tentu saja sembari mengangguk-anggukan kepala.

Fuad mengatakan, hampir-hampir tak ada perubahan roman muka dari wajah Pak Harto ketika dirnya ngomong begitu. 

''Beliau cool saja. Kalaupun bertanya hanya berkata pendek: Oh begitu! Padahal, saya tahu persis pada saat itu juga lobi IMF kepada Pak Harto sangat luar biasa keras. Bukan melalui Pak Widjojo saja, petinggi lembaga IMF, bahkan beberapa kepala negara besar ikut-ikutan mendesak Pak Harto agar terima bantuan IMF,'' katanya.

Menurut Fuad, Presiden Bill Clinton dan Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl sempat meneleponnya secara langsung. Bahkan, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew saat itu juga ikut-ikutan mendesaknya.

''Clinton menelepon sampai dua kali. Suasana seperti ini berlangung selama sekitar empat-sampai lima bulan, atau sampai ditandatangani perjanjian dengan IMF pada 15 januari 1998,'' kata Fuad Bawazier.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement