REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Shesar Andriawan *)
"Belumlah Anda buang air kecil kalau celana belum diturunkan. Belumlah Anda ke Belitung kalau belum ke Museum Kata."
Begitu banyak ulasan–entah di blog, situs berita, ataupun trip advisor–yang menyimpulkan kunjungan ke Museum Kata, hukumnya fardhu ain. Wajib dan tidak boleh diwakilkan. Seperti buang air kecil yang juga tak bisa diwakilkan.
Dan, ketika saya dan istri (selanjutnya disebut kami) berkunjung ke sana pekan lalu (6–9 Oktober), penghukuman itu tidak salah. Syaratnya: Anda suka dan girang kala menemukan tempat yang instagrammable. Ini satu hal yang lupa saya masukkan dalam analisis pengambilan keputusan.
Di pintu masuk, tertulis bahwa museum ini diperuntukkan bagi penggemar sastra. Berdiri sejak 2010, museum ini awalnya gratis dikunjungi. Pengunjung bisa berdonasi sukarela. Namun beberapa bulan terakhir, usai renovasi, ada harga yang harus dibayar untuk masuk.
“Selama enam tahun memang gratis Bang, tapi sekarang sudah bayar. Ini kan museum swasta, tidak dibiayai pemerintah, jadi untuk uang operasional itu dari ini,” kata seorang penjaga pintu masuk menyodorkan satu buah buku pada kami. Buku itu sebagai karcis masuk, harganya Rp 50 ribu.
“Dua bu,” lalu ibu itu memberikan buku satunya. Yang satu kisah Ikal dan Aling, satu lainnya Ikal dan Lintang.
Isi bukunya nukilan cerita dari novel Laskar Pelangi. Saya sudah mengkhatamkan tetralogi Laskar Pelangi, sehingga isi kedua buku sudah sangat familiar. Oh ya, letak Museum Kata bertetangga dengan Kampung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Wikipedia menulis Andrea Hirata lahir pada 1967, Ahok 1966. Saya curiga keduanya saling kenal semasa di Belitung.
“Saudara Basuki, apakah Anda mengenal Aling dalam novel Laskar Pelangi? Apakah dia benar-benar ada?
“Saudara Basuki, jawab dengan jujur. Apakah Lintang sejenius yang diceritakan Andrea dalam novelnya? Apakah dia benar-benar ada?”
Itulah dua pertanyaan saya jika ditunjuk jadi moderator debat Pilgub DKI Jakarta 2017.
Sebelum direnovasi, tidak ada tembok yang membebat sekitaran museum. Kini tembok itu ada. Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, tidak ada kelabu, merah muda, dan biru. Banyak wisatawan yang menjadikan tembok itu sebagai latar pemotretan. Instagrammable.
Seperti yang diharapkan, museum ini penuh kata-kata. Kutipan pengarang termasyhur. Mulai dari Harper Lee, Ernest Hemmingway, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Gabriel Garcia Marquez, dan tentu saja Andrea sendiri.
Laskar Pelangi tidak bisa dimungkiri, punya posisi penting dalam sastra Indonesia. Skala dampaknya bahkan terasa di Belitung sendiri. Pulau yang dulunya hanya ramai oleh pertambangan timah dan perkebunan kelapa sawit, kini riuh pula oleh pariwisata. Belitung sebelum Laskar Pelangi seperti Nara Masita sebelum bicara di forum PBB. Dikenal hanya oleh kalangan terbatas. Kini, Belitung dijuluki Negeri Laskar Pelangi.
Dalam hal tertentu, tetralogi Laskar Pelangi bahkan lebih penting daripada tetralogi Buru-nya Pramoedya. Kisah tentang Ikal dan Arai mengejar pendidikan, ketika dibaca dan diresapi mereka yang miskin dan terpencil, mampu membuka mata. Melek bahwa pendidikan yang diiringi kerja keras adalah kunci untuk lari dari kebodohan yang memiskinkan.
Hanya dengan pendidikan (dan gemar membaca, karena nyatanya tak semua yang terdidik doyan membaca) Ikal bisa menulis novel yang di kemudian waktu memutar roda ekonomi Belitung lebih cepat. Bumi manusia dan adik-adiknya, yang mengisahkan perjuangan Minke di masa kemerdekaan, terasa hanya (sangat) relevan pada masanya. Semangat memainkan peran jurnalisme masih penting, namun berkurang seiring zaman yang melahirkan pengawas-pengawas kekuasaan lain. Sedangkan Laskar Pelangi dan semangat mengejar pendidikan masih sangat relevan bagi penduduk pedesaan di pelosok Mozambik, Botswana, Uruguay, bahkan mungkin pula di Jepang.
Museum kebanyakan–di Indonesia maksudnya–diatur sedemikian rupa hingga sangat membosankan. Barang peninggalan para leluhur dipajang saja. Pengunjung hampir-hampir hanya punya opsi begini: berhenti mematung, membaca informasi sekilas saja, lalu pergi. Oh iya, berfoto dulu ding sebelum pergi.
Dalam buku Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya (2004), Axioma Dananjaya pernah mengupas penyebabnya. Museum-museum di Indonesia nyaris tidak mendapat sentuhan pariwisata. Karena memang pengelolaan museum tidak di bawah Kementerian Pariwisata.
Hasilnya, museum identik dengan suasana suram. Rasa jemu pun ibarat kentut kala mulut kebanyakan mengunyah ubi. Tak terhindarkan kawan.
Dengan segala dekorasinya, yang klasik, yang agak kusam, yang rupa-rupa warnanya, yang batu-batuan menonjol di sana-sini, museum ini adalah daya tarik wisata yang sahih nan solid. Paling bagus buat saya seksi dapur Kupi Kuli. Kuno.
Museum Kata adalah sebuah fardhu ain sebagai tempat wisata. Sebagai museum, hukumnya hanya sampai fardhu kifayah. Tempat yang penuh kutipan sastrawan hebat ini, bagi saya gagal menapaki jejak langkah yang sama dengan novel Laskar Pelangi.
Kutipan di sana, kosakata di sini, foto di situ. Sebuah museum yang cantik di mata, namun hambar di hati. Sejauh kaki kami berkeliling, kosakarya sastra ini tidak menggugah saya untuk membeli buku Ishmael Beah, Mitch Albom, juga Langston Hughes. Saya tak mengenal ketiga nama tadi dan tak tahu karya apa yang mereka sudah tintakan. Segala kutipan mereka belum membikin tangan menggesekkan kartu kredit.
Saya berpikir, museum Andrea ini selain memenuhi diri dengan kutipan, juga akan menampilkan sampul dan latar belakang yang berisi sinopsis. Saya menduga tiap-tiap karya (dan pengkaryanya) akan diberi jatah penjelasan. Siapa itu Ernest Hemingway? Kenapa To Kill a Mockingbird penting bagi dunia sastra? Mengapa membeli novel Norwegian Wood layak dibarengi pengorbanan puasa makan cireng seminggu?
Seperti museum pada umumnya begitu? Betul kawan.
Membosankan dong? Bisa jadi. Tapi itu penting. Sepenting wanita-wanita ayu dalam setiap film 007.
Dua orang yang sejajar Andrea dalam meracik kata, saya ajukan dua nama: Eka Kurniawan dan Pramoedya Ananta Toer. Jika mengaku-aku cinta sastra tapi belum kenal Pramoedya, mundurkan dulu jemawa itu. Eka, disebut beberapa orang salah satunya Benedict Anderson, sebagai Pram generasi baru. Dan saya tak menemukan karya keduanya di Museum Kata.
Saya memelototi tiap detil kata yang ada, dan masih tak menemukannya. Entah jika mata saya melewatkan kedua nama tadi. Jika benar, Andrea, kumintakan maaf padamu. Jika salah, kuingin tahu alasannya. Apakah lupa? Ataukah sengaja? Semoga hanya lupa.
Andrea yang bernama belakang Hirata juga membikinkan perpustakaan dan sekolah gratis di bagian belakang. Kosong. Layaknya surau pukul 9 pagi.
“Kadang ada anak sini yang suka pinjam buku atau baca di sana. Kalau Bang Andrea pulang, dia suka mengajar,” penjaga loket tadi menerangkan.
Andrea yang bernama belakang Seman Said Harun tadi, sayangnya, pulang tak tentu waktu. Maka berdasar informasi tadi, maka kegiatan mengajar pun tak tentu waktu. Hari itu Jumat siang, anak-anak sudah pulang sekolah. Tapi perpustakaan dan sekolah gratis itu tidak ramai.
Buat saya, Belitung jauh lebih membutuhkan Andrea daripada Jakarta membutuhkan Hirata. Entah apakah Andrea punya rencana sendiri bagi Belitung dari jauh. Tapi buat saya, akan lebih banyak manfaat jika Andrea menetap di Belitung.
Mengajar anak-anak, menumbuhkan kecintaan literasi, menanamkan jiwa haus pendidikan, mata yang lapar membaca, kepala yang gemar berpikir, dan tangan yang berani mengacung ketika pakcik makcik guru bertanya. Adalah hal yang sepatutnya naik derajat dari fardhu kifayah jadi fardhu ain.
*) blogger