Jumat 26 Aug 2016 06:00 WIB

Ketika Ular Menggigit Ekornya Sendiri

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Lebih setahun lalu, seorang kawan bercerita. Pemerintahan Jokowi begitu alergi terhadap kritik. Para cyber troops akan segera menyerbu bagai kawanan nyamuk. Menggigit orang atau pihak yang melakukan kritik dari segala pernjuru.

Bukan kritiknya yang dijawab dan dijelaskan, tapi kredibilitas institusinya atau kredibilitas orangnya yang akan dikunyah-kunyah. Bila perlu gunakan politik belah bambu. Saya hanya mantuk-mantuk. Mencoba mencerna jalan pikirannya.

Saya jawab, mengapa tak dilawan? Dia malah berdiplomasi, "Biarkan saja. Hentikan kritik. Justru dukung semuanya. Nanti akan kanibal sendiri." Saya benar-benar tak bisa memahami alur pikirannya. Karena hal itu sudah menyangkut prediksi.

Tapi apa yang diperkirakan kawan itu satu per satu mulai menunjukkan wujudnya. Di parlemen, partai-partai yang berada di luar pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih justru yang paling berada di garis depan menyetujui program-program pemerintah.

PDIP yang menjadi penyokong utama Jokowi justru yang sering berlaku kritis. Perebutan jabatan kepala Polri, tarik menarik sejumlah jabatan di pemerintahan, dan juga soal jabatan kepala BIN menjadi pertarungan yang tak perlu dalam konteks publik.

Warna reshuffle adalah warna perang kursi di jero koalisi, bukan soal kualitas. Terakhir, ledakan yang begitu gempita, adalah pencopotan Arcandra Tahar. Menteri ESDM ini disebut media di Padang hanya seusia ayam mengeram, 20 hari.

Tumbangnya Arcandra memang karena faktor kewarganegaraan. Namun tulisan ini tak akan membahas soal itu. Itu sudah selesai. Dia memang berwarga negara Amerika Serikat. Jadi harus dicopot dan batal demi hukum.

Namun yang menarik adalah bagaimana soal kewarganegaraannya bisa muncul ke permukaan. Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Isu ini kali pertama muncul dari sebuah media kecil, yang juga asosiatif dengan lembaga konsultan.

Tak ada pihak yang berbicara, kecuali menurut sebuah sumber. Setelah itu beredar lewat media sosial. Isu ini segera menjadi gelembung besar, yang sedap ditendang ke sana ke mari. Negeri ini dibangun dengan spirit nasionalisme yang tinggi.

Negeri ini juga masih sensitif dengan segala yang berbau kepentingan asing. Karena itu isu kewarganegaraan asing ini segera menjadi bola panas. Melihat asal-usul beritanya, sulit dilogikakan bahwa kabar ini bermula dari kaum oposisi.

Ini bisa dipastikan bahwa hal itu berasal dari lingkaran kekuasaan itu sendiri. Karena itu, para pejabat terkait begitu mudah bersuara. Memang nadanya membela, kendatipun ada yang membela secara sesungguhnya.

Tapi jangan lupa, media menjadi mati angin mana kala tak ada yang bersedia diwawancara. Media tak bisa terus berputar dari kabar gelap terus menerus.

Kabar yang tak dibantah atau dibenarkan pada akhirnya lenyap - isu kewarganegaraan Rini Soemarno misalnya tetaplah berada di ruang gelap seberapa keras pun Masinton Pasaribu bersuara.

Harus ada pembawa pesan dari instansi resmi yang membuat isu menjadi mengapung ke permukaan, yang bisa membawa dari ruang gelap ke ruang abu-abu, yang bisa menjadi bidikan. Apatah lagi jika dibawa ke ruang terang.

Beredarnya foto halaman utama paspor Arcandra juga menarik disimak. Sebelum kabar kewarganegaraan Arcandra muncul, ada prolog yang mendahului. Perebutan jabatan di kementerian ESDM. Ada rebutan jabatan, terutama jabatan sekjen dan kepala SKK Migas.

Nama A muncul, lalu hilang. Nama B muncul, tapi tak segera ada keputusan. Tarik menarik yang alot. Hingga kemudian menjadi perang tanpa bayangan, karena tak jelas aktor-aktornya. Arcandra berada di tengah lapangan sendirian dan diteriaki para penonton. Hingga manajer menariknya keluar lapangan.

Sebelum menjadi menteri, Arcandra disebut beberapa kali berdialog dengan Presiden Jokowi. Kisruh offshore atau onshore proyek gas raksasa di Masela berakhir dengan kemenangan onshore. Suara Sudirman Said, yang saat itu masih menteri ESDM, kalah oleh pendapat Rizal Ramli, menko maritim.

Namun banyak pihak yang menyebut bahwa di situ ada peran Arcandra. Dia adalah ahli offshore. Selanjutnya Sudirman dan Rizal dicopot, Arcandra yang bertahta. Sejak awal, pencopotan Sudirman Said menyembulkan kecurigaan.

Kementerian ini dikenal sebagai kementerian basah. Ini kementerian paling basah, selain kementerian perdagangan. Begitu banyak duit yang bisa jadi bancakan: minyak, gas, emas, batubara, listrik, dan sebagainya. Sudirman dikenal sebagai figur bersih.

Ia memasang orang-orang berkredibilitas di ESDM, terutama kepala SKK Migas. Ia membentuk tim-tim adhoc. Ia membubarkan Petral, perusahaan pintu perdagangan minyak yang sengaja ditaro di Singapura dan Hongkong.

Ia juga menggagalkan rencana "Papa Minta Saham" di Freeport. Orang-orang yang disebut dalam rekaman itu justru kini menjadi sekutu utama Jokowi. Paruh kedua pemerintahan Jokowi merupakan pertaruhan kemenangan pilpres 2019.

Apalagi salam dua periode sudah dikumandangkan. Terlalu banyak kepentingan yang dipertaruhkan di kementerian ESDM.Walau nama Arcandra dimasukkan oleh lingkaran terdalam kekuasaan, namun faksi-faksi di lingkar kekuasaan memiliki peran memuluskannya.

Akibatnya mereka berebut kueh di kementerian ESDM. Presiden kehilangan kontrol dalam pertarungan all the president's men ini. Ledakan balon Arcandra tak terhindarkan. Ini masalah ular menggigit ekornya sendiri.

Arcandra yang awam politik menjadi korban pertarungan para jagoan. Karena itu para cyber troops lebih banyak menyingkir, menjauh dari arena. Mereka mencoba masuk lagi setelah pertarungan selesai, membersihkan kotoran agar nama baik Presiden bisa dipulihkan.

Jika politik dan kekuasaan hanya soal kursi dan kueh ekonomi, maka hanya ada jurang yang berada di ujung jalan. Kita butuh stabilitas, bukan instabilitas. Tentu geli jika instabilitas itu datang dari lingkaran kekuasaan sendiri. Sia-sia.

Politik adalah mandat rakyat, mandat untuk kemuliaan dan kesejahteraan bersama. Bukan lagi soal kelompok atau konstituen, apalagi cuma all the president's men.

Manuel L Quezon, presiden Filipina pada 1935-1944, berujar, "My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins." Kutipan ini sangat masyhur.

Kini, oleh Rodrigo Duterte, presiden Filipina saat ini, telah diperbarui menjadi, "Let me be very clear: My friendship with my friends ends where the interest of the country begins." Semua persekutuan dengan partai atau teman berakhir. Semua hanya untuk negara dan bangsa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement