Kamis 14 Apr 2016 07:22 WIB

Takdir yang Merayap (Sebuah Catatan buat Fahri Hamzah)

Red: M Akbar
Fahri Hamzah
Foto:

Dia merogoh dompet dari saku dan memberi saya beberapa lembar pecahan 100 ribu. Ini dia momen klasik yang membuat orang kikuk, sekaligus senang alang kepalang. Nyaris tak ada puisi atau roman yang bagus, menggambarkan psikologi ini. Tak sekadar bertemu ruas dan buku. Lebih dari itu. Orang hanyut dapat potongan kayu buat bergayut.

Tak lama saya di rantau. Teman (ketua) yang mengajak saya bergabung, mundur. Saya juga memilih mundur, meski ajakan untuk bertahan juga ada. Otomatis komunikasi saya dengan senior itu terputus. Dari daerah saya melihat kariernya semakin melesat dan mimpinya mulai bekerja. Malang tak bisa ditolak, dia dipecat lewat drama yang merayap.

Seperti saya, mestinya dia legowo mundur, setelah suasana sama sekali berubah. Dia coba bertahan, mungkin juga ingin berubah, tapi zaman sama sekali berubah drastis. Dia gagal bertahan dan menyesuaikan diri.

Dia melawan, tapi katanya tidak. Ini cara kita telah saling menjaga. Tapi, semua telah terlambat. Takdir sedang merayap menentukan masing-masingnya. Bang Fahri, adakah tidurmu selelap dulu dan mimpimu masih sama?

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement