Kamis 14 Apr 2016 07:22 WIB

Takdir yang Merayap (Sebuah Catatan buat Fahri Hamzah)

Red: M Akbar
Fahri Hamzah
Foto:

Meski rezim otoriter sudah lumpuh, MPR telah memilih presiden baru, hawa huru-hara reformasi masih menyengat. Alih-alih melakukan konsolidasi, presiden baru malah, membuat kontroversi baru dan mengabaikan agenda presiden transisi yang telah sesuai. Anak-anak pergerakan tak boleh lengah. Mungkin karena itu, dia mengajak saya ngobrol.

Persisnya, entahlah? Dia yang tahu. Dia juga anak daerah, di pinggir negeri. Tentu dia paham benar, apa yang saya rasakan. Mimpi dan realitas, harus dijembatani. Di atas mobil, dia bicara. Saya tak ingat persis apa yang dibicarakannya. Pertanyaan-pertanyaan klasik telah saya jawab. Rasanya dia memiliki mimpi besar, tak sebesar yang saya bawa.

Ternyata, kami menuju komplek perumahan dan berhenti di sebuah rumah. Tamu sudah ramai di rumah itu dan kami bergabung. ''Ahai, ini acara halaqoh," kata saya dalam hati. ''Ikut saja," bisik dia seperti tahu persis kata hati saya. Dari cara mereka menyambut, saya tahu, dia murobbi dalam halaqoh ini. Mantap juga. Padahal dia terlihat paling muda.

Materi yang disampaikannya tentang Alquran. Bagaimana berinteraksi dengan Alquran. Bagi orang luar, mungkin heran, mendengar dia menyampaikan materi tentang Alquran. Gayanya, karakternya, seperti tidak cocok. Dia lebih cocok menyampaikan materi tentang agitasi. Tapi, tidak! Materi itu disampaikannya dengan baik, tanpa terlihat gagap.

Seperti yang dikatakannya, makan! Acara ditutup, dengan makan berat. Perantau muda yang jauh dari rumah, mana pula pernah merasa benar-benar kenyang? Malam itu, tak pernah saya sekenyang itu. Suasana malam ibukota, merasuk ke dalam pikiran saya seperti roman picisan. "Pulang kemana," sentak senior itu. Sekret aja Bang," jawab saya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement