Oleh: Zaenal A Budiyono, Pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia
Beberapa waktu lalu Menko Perekonomian, Darmin Nasution, menyatakan bahwa hilirisasi kegiatan pertambangan mineral dan batubara sulit dilakukan karena kurangnya infrastruktur pendukung, khususnya ketersediaan tempat pengolahan dan pemurnian atau smelter. Senada dengan Darmin, Menteri ESDM, Sudirman Said menyalahkan pemerintahan sebelumnya yang dianggap lambat menyiapkan smelter. Bahkan menteri lainnya menilai kebijakan pembangunan smelter terlalu berlebihan.
Framing yang coba dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya mengarah pada pembukaan kembali ijin ekspor bahan mentah dan peninjauan kembali (revisi) Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Padahal UU tersebut sejatinya mengusung semangat nasionalistik, yakni menghentikan “penjarahan” sumber daya alam (SDA) secara membabi buta.
Sebagaimana Pasal 3 UU Minerba, dinyatakan bahwasannya dasar filosofis (tujuan) dari pengelolaan Minerba dalam upaya mendukung pembangunan nasional antara lain, menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. Pesan yang terkandung dari dasar filosofi UU tersebut adalah bahwa Minerba merupakan SDA tak terbarukan. Oleh karenanya, pemerintah harus mendorong pengelolaan Minerba secara bertanggung jawab demi kemaslahatan anak-cucu serta kelestarian lingkungan.
Implikasinya, kita semua berharap tidak ada lagi eksplorasi dan eksploitasi Minerba yang hanya mempertimbangkan sisi ekonomi semata, tanpa menghitung akibat kerusakan lingkungan dan nilai tambah bagi pendapatan negara serta kesempatan kerja bagi angkatan kerja terdidik kita. Bila pertimbangan ini yang dipakai, maka rasa-rasanya tak ada pihak yang tidak setuju dengan UU Minerba.
Cadangan Minerba
Adalah fakta bahwa SDA Minerba bersifat tidak terbarukan, alias akan habis beberapa puluh tahun mendatang. Batubara misalnya, diprediksi akan habis sekitar tahun 2036 bila kita masih terus mengekspor mentah seperti sekarang. Tak sulit untuk menghitungnya. Merujuk data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diketahui cadangan batubara Indonesia saat ini sebanyak 9,05 miliar ton. Dengan volume ekspor 400 hingga 450 juta ton setiap tahunnya, maka jumlah cadangan tersebut akan habis pada 20 tahun mendatang. Sementara cadangan Bauksit berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mencapai 7,3 Milyar Ton.
Jumlah tersebut terlihat besar, namun seharusnya pemerintah juga mempertimbangkan ancaman kerusakan lingkungan bila ekspor bauksit mentah dilonggarkan kembali. Apalagi saat ini dua BUMN tambang, PT Aneka Tambang (ANTAM) dan PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (INALUM) tengah dalam proses membangun smelter di Kalimantan Barat yang akan beroperasi beberapa tahun ke depan.
Selain kedua BUMN itu, berdasarkan data Majalah Minerals-Asia, sejak 2014 telah dibangun tak kurang dari 66 smelter di sejumlah wilayah Indonesia. Beberapa di antaranya, PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalsel (besi), PT Cilegon Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi), Indotama Ferro Alloy (mangan), PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining (nikel), serta masih banyak lagi. Hanya saja, karena pembangunan Smelter memakan waktu 3 hingga 5 tahun, pemerintah sekarang lah yang harus melanjutkan dan memastikan amanat UU Minerba.
Mengenai adanya asumsi bahwa pengundangan UU Minerba mundur dari jadwal, tidak tepat bila dikatakan mundur. Seperti diketahui, dalam beberapa kali rapat dengar pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pelaku usaha tambang, sekitar tahun 2008-2009, aspirasi kalangan pelaku usaha, khususnya pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B), meminta agar UU Minerba memberi waktu bagi mereka untuk menyiapkan smelter ataupun mencari cara agar bisa mendapatkan akses ke smelter. DPR menyetujui permintaan pelaku tambang, yang kemudian muncul klausul di UU tenggat waktu lima tahun sampai 2014.
Fakta di atas bukanlah gejala tunggal, pasalnya pemberian tenggat lima tahun kepada pelaku industri tambang sebagaimana yang ada dalam UU Minerba juga ditemukan di UU lainnya. Misalnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, 13 Januari 2014. Meskipun diputuskan 2014, namun dalam amar putusan MK, UU tersebut baru berlaku pada Pilpres 2019, bukan 2014.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, sehingga putusan itu tidak memungkinkan untuk dijalankan pada tahun ini. Bagi pemerintah dan DPR kala itu, waktu lima tahun cukup untuk memberi kesempatan kepada pengusaha tambang berbenah. Namun harus diakui bahwa realisasi bussiness plan pelaku usaha tambang belum sesuai ekspektasi. Salah satunya karena habbit pelaku usaha tambang kita yang “mau gampangnya” terus.
Yang mengherankan adalah keinginan pemerintah sekarang untuk menerabas UU Minerba dengan membuka kembali ekspor mentah. Padahal sumbangan ekspor minerba bagi kas negara tidak terlalu signifikan. Data Kemenkeu 2014 menyebutkan, potensi berkurangnya pajak dari kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah hanya sekitar Rp15 Triliun. Angka tersebut tidak seberapa dari total APBN kita. Dengan kata lain, asumsi bahwa lahirnya UU Minerba akan membuat “shock” anggaran negara tidak berdasar.
Agenda Titipan?
Tak hanya di batubara, gejala yang sama juga terjadi pada sektor nikel. Meskipun Indonesia pada 2013 tercatat sebagai eksportir nikel terbesar dunia, namun nilai tambah yang didapatkan tak seberapa. Hal ini karena bijih nikel menerima persentase yang rendah dari London Metal Exchange (LME). Ironisnya, fakta yang pasti terjadi, cadangan bijih besi kelas tertinggi akan lebih cepat habis.
Dampak lanjutan dari kegemaran kita mengekspor mentah, tak lain makin mengecilnya kesempatan kerja bagi tenaga terdidik, khususnya para insinyur. Hal ini sudah terlihat dari data beberapa tahun terakhir, dimana minat anak muda untuk menjadi insinyur rendah. Angka partisipasi mahasiswa Indonesia pada jurusan Teknik Material dan Metalurgi (JTMM) yang terkait dengan Minerba misalnya, sangat kecil jika dibandingkan dengan populasi dan kekayaan SDA kita.
Bahkan jumlah lulusan JTMM Indonesia hanya separuh dari jumlah lulusan JTMM di Malaysia yang notabene populasinya kecil. Sebagai perbandingan, dari per satu juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 300 insinyur bidang material dan metalurgi. Tentu ini angka yang sangat kecil. Salah satu penyebab minimnya insinyur, karena lapangan kerja pengolahan SDA di Indonesia sejak Orde Baru sangat minim, akibat kebiasaan kita mengekspor mentah. Ini pada akhirnya membuat anak-anak muda enggan bercita-cita sebagai insinyur.
Lebih dari sekedar isu UU Minerba dan smelter, kita harus kritis melihat kemungkinan adanya agenda pihak-pihak tertentu di balik isu ini. Yang dimaksud, apa yang mendasari pemerintah melakukan arus balik kebijakan, dengan terkesan enggan melaksanakan UU Minerba yang tujuannya sangat mulia, yakni melindungi SDA dan lingkungan kita. Kengototan untuk terus mengekspor bahan mentah tampaknya bukan agenda pembangunan yang kita tuju bersama. Pasalnya, jika hal tersebut dilakukan, maka kesempatan kita untuk mengubah “budaya jalan pintas” akan makin buram.
Jangan-jangan dorongan untuk terus mengekspor Minerba mentah justru dalam rangka mendukung perusahaan-perusahaan asing raksasa yang sudah lama mengeruk SDA kita tanpa nilai tambah berarti. Kita tidak tahu pasti, dan hanya bisa berharap semoga bukan ini yang tengah terjadi.