Kamis 08 May 2014 06:00 WIB

Balkanisasi dan Islam (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

‘Balkanisasi’meski tragis, membuat Islam menyeruak ke panggung Eropa. Pasca-Balkanisasi, populasi Muslim di tujuh negara eks Yugoslavia; Kosovo (95,5 % dari 1,9 juta penduduk), Bosnia-Herzegovina (40 % dari 4,6 juta), Macedonia (33,3 % dari 2,1 juta), Montenegro (19 % dari 621 ribu), Serbia (3,2 % dari 7,2 juta),  Slovenia (2,4 % dari 2,1 juta), dan Kroasia (2 % dari 4,3 juta). Masih di Semenanjung Balkan, ada satu negara lain dengan populasi Muslim signifikan, yaitu Albania, yang tidak termasuk wilayah eks-Yugoslavia. Albania sudah menjadi negara merdeka sejak 1921 dengan jumlah penduduk 3,1 juta jiwa pada 2013 dengan 58,79 persen memeluk Islam. Terpencar di delapan negara eks Yugoslavia, kaum Muslimin di seluruh kawasan Balkan yang berjumlah sekitar 2 juta orang. Sejak masa perang berikutan pecahnya Yugoslavia, menurut sejumlah estimasi, sekitar satu juta orang berada di perantauan—diaspora di kawasan Eropa lain dan Amerika.

Kaum Muslimin di kawasan Balkan lazim disebut sebagai ‘Bosniak’, yaitu orang-orang Slavik Selatan, yang sejak abad 15-16 M memeluk Islam. Mereka semula merupakan bagian etnis Slavik yang juga mencakup warga Serbia, Kroasia dan kawasan lain di Semenanjung Balkan. Tetapi karena memeluk Islam, akhirnya kaum ‘Bosniak’ dipandang sebagai kelompok etnis tersendiri, apalagi kemudian banyak di antara mereka melakukan perkawinan dengan orang-orang Turki.

Warna Islam Turki terlihat menonjol dalam tradisi keislaman kaum Muslim Bosnia. Mereka penganut Sunni bermazhab Hanafi. Tetapi pada saat yang sama juga akrab dengan tradisi tasawuf, yang dalam perjalanan waktu bercampur dengan tradisi lokal. Tarekat-tarekat Sufi juga berkembang di kawasan Balkan; di antara yang paling dominan adalah Tarekat Khalwatiyah Jahriyah, dan Tarekat Bektasyi yang merupakan tarekat khas Turki. Selain

itu, juga terdapat Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Mawlawiyah dalam jumlah lebih kecil.

Tarekat adalah kekuatan terpenting dalam bertahannya Islam di kawasan Balkan atau di Eropa Timur dan Asia Tengah secara secara keseluruhan. Berkaitan dengan bangkitnya rejim-rejim komunis dan sosialis pasca-Perang Dunia II di Uni Soviet, Yugoslavia, dan negara-negara Eropa Timur lain, tarekat dilarang secara resmi. Tarekat-tarekat mengalami kemunduran karena harus menutup tekke—tempat melakukan zikir dan praktik tasawuf lainnya. Tetapi tarekat bertahan dan bangkit kembali dan menjadi kerangka organisasi dalam perlawanan menghadapi religio-ethnic cleansing yang dilakukan rejim Serbia pada awal 1990an.

Kuatnya akar tasawuf dan tarekat di kalangan kaum Bosniak membuat mereka lebih inklusif dan pada saat yang sama resistan terhadap pengaruh Salafi dan Wahabi—yang menolak tasawuf dan tarekat yang mereka anggap hanya berisi bid’ah dhalalah. Ada indikasi Wahabi berusaha meluaskan sayapnya ke wilayah Balkan. Namun ketika hal ini saya tanyakan kepada Mufti Zagreb Aziz Hasanovic, ia  menyatakan: “Tidak ada Muslim Wahabi’ di negara ini”.

Sejauh ini nampaknya wajah Arab Saudi tidak terlihat di di Kroasia. Misalnya, tidak ada masjid di negara ini yang dibangun dengan dana Arab Saudi. Sebaliknya, Masjid Zagreb yang merupakan masjid terbesar di Kroasia dibangun antara 1981-1987 dengan dana bantuan Sultan  Sharjah Muhammad al-Qasimi (Uni Emirat Arab) sebanyak 2,5 juta dolar. Masjid Zagreb yang nama resminya adalah ‘Islamski Centar Zagreb’ diklaim sebagai salah satu masjid terbesar di Eropa—paling tidak di Eropa Timur. Dengan gaya arsitektur yang bisa disebut ‘post-modernist’ (posmo), Masjid Zagreb memiliki menara setinggi 42 meter. Berdiri di atas lahan seluas satu hektare, masjid ini memiliki fasilitas cukup lengkap sejak dari ruang salat yang cukup luas, ruang konperensi, perpustakaan dan ruang baca, gymnasium (SMA), ruang TK untuk anak-anak lengkap dengan tempat bermain, kamar penginapan buat imam dan tamu, restoran, dan lapangan sepakbola.

Masjid monumental lainnya di Kroasia adalah Masjid Rijeka, kota di pinggir pantai Laut Adriatik, di tenggara Zagreb sejauh 165 km. Karena itu, masjid ini diklaim sebagai masjid pertama di pantai Adriatik selama 500 tahun lebih sejak kedatangan Turki Usmani. Masjid Rijeka yang juga menampilkan arsitektur posmo, disebut Islamic Arts sebagai ‘masterpiece of contemporary architecture’. Memandang bangunan masjid ini, saya teringat pada Gedung Opera Sydney Australia karena bentuk dome-nya yang hampir sama. Masjid yang disebut dalam bahasa lokal sebagai ‘Islamiski Centar Rijeka’ didirikan di atas lahan seluas satu ketar dengan sumbangan dana sebesar 10 juta Euro dari Amir Qatar. Masjid ini dilengkapi tidak hanya dengan menara setinggi 23 meter, tetapi juga dengan fasilitas pendukung lain seperti ruang belajar, TK, ruang konperensi, perpustakaan dan restoran yang diresmikan pemakaiannya oleh Presiden Kroasia, Professor Ivo Josipovic pada 4 Mei 2013.

Presiden Kroasia dalam pertemuan dengan delegasi Indonesia menegaskan kembali pernyataan yang dia sampaikan ketika meresmikan Masjid Rijeka: “Islam merupakan bagian integral dari sejarah Kroasia; bersama umat beragama lain turut memperkaya identitas budaya Kroasia”. Mufti Zagreb, Aziz Hasanovic dalam dialog antaragama di Masjid Zagreb menegaskan, Masjid Zagreb dan Masjid Rijeka sangat penting bagi kaum Muslimin dan umat beragama lain sebagai pusat pemberdayaan dialog untuk memperkuat multikulturalisme, saling pengertian dan toleransi di Kroasia dan wilayah Balkan lain. Dengan begitu, nestapa Balkanisasi pada awal 1990an tidak terulang lagi di masa depan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement