REPUBLIKA.CO.ID, Qatar hanyalah negara kecil. Posisinya dikepung Arab Saudi di selatan dan Teluk Parsia di perbatasan sisanya. Luasnya tak lebih dari 12.000 km2. Bandingkan dengan Jakarta yang mempunyai luas 661.52 km2. Penduduknya juga sedikit, sekitar 1.8 juta jiwa. Itu pun penduduk aslinya hanya sekitar 300 ribu jiwa. Sisanya pekerja asing dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia (sekitar 30 ribu jiwa).
Meskipun kecil, jangan tanya kekayaan negara yang terletak di sebuah semenanjung kecil di Jaziarah Arab itu. Majalah Forbes mencatat, Qatar merupakan negara terkaya di dunia. Versi World Bank, pendapatan per kapita Qatar pada tahun 2011 hampir mencapai 90 ribu dolar (tepatnya 89.736) atau sekitar Rp 1 miliar (kurs Rp 11.430/dolar).
Sebagai gambaran, masih menurut World Bank, pada 2012 pendapatan per kapita Saudi 24.116 dolar, Uni Emirat 39.058 dolar, Kuwait 51.497 dolar, Oman 23.133 dolar, dan Bahrain 22.467 dolar. Sementara itu pendapatan per kapita Indonesia hanya 3.471 dolar atau sekitar Rp 40 juta.
Entah lantaran statusnya sebagai negara terkaya atau alasan lain, yang jelas Qatar berani berbeda. Terutama dengan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Majlis At Ta'awun Al Khaliji), yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman, Bahrain, dan Qatar sendiri. Perbedaan yang seringkali membikin geger negara-negara di kawasan Teluk. Geger terakhir terjadi pada Rabu malam pekan lalu (05/03) ketika tiga negara -- Arab Saudi, Uni Emirat, dan Bahrain – menarik duta besarnya dari Doha (Ibu Kota Qatar).
Dalam pernyataan bersama, ketiga negara menyatakan terpaksa menarik para duta besarnya karena Doha dianggap melanggar kesepakatan Dewan Kerja Sama Teluk. Yaitu: tidak boleh intervensi masalah dalam negeri masing-masing anggota, tidak diperkenankan mendukung siapa saja yang bisa mengancam stabilitas keamanan kawasan baik yang dilakukan orang per orang ataupun organisasi, dan tidak boleh membantu pihak mana pun yang bersikap bermusuhan terhadap negara anggota
Tidak dijelaskan jenis kesepakatan apa dan mana yang telah dilanggar Qatar, sehingga membuat marah besar ketiga negara. Marah besar yang disebut pengamat Timur Tengah, Abdul Rahman Al Rasyid, sebagai sanksi berjamaah (al 'uqubah al jama'iyah). Namun, membaca sepak terjang Qatar sekitar dua dekade terakhir kita bisa memahami mengapa negara-negara tetangga sering gerah dengan keemiran terkecil di lingkungan Dewan Kerja Sama Teluk itu.
Qatar boleh dikata merupakan negeri paradoks. Tepatnya sering menimbulkan kontroversi. Di satu sisi ia terbuka terhadap Barat, namun di pihak lain ia dituduh sering membantu jamaah garis keras yang nota-bene menentang kepentingan Barat.Sebagai misal, negara ini – lewat Qatar Foundation -- setiap tahun menggelontorkan dana jutaan dolar untuk mensponsori klub sepakbola Barcelona. Iklan-iklan Qatar Airways juga membanjiri sejumlah stadion klub-klub elite di Eropa. Bahkan keluarga penguasa Qatar – melalui The Qatar Investment Authority -- telah membeli dua klub sepakbola di Eropa, Paris Saint Germain (PSG) dan Malaga FC (Spanyol). Dan, untuk pertama kalinya di kawasan di Timur Tengah, Qatar terpilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia 2022.
Di dalam negeri, Qatar pun tidak menolak kehadiran asing. Terbukti dua pangkalan militer AS kini berada di negeri itu. Juga mal-mal, restoran, butik-butik bertaraf internasional, serta ratusan ribu perkerja asing.
Namun, pada waktu yang sama, Qatar juga 'memelihara' ulama sekaliber Sheikh Dr Yusuf Qardhawi. Dari Doha, ketua Persatuan Ulama Dunia ini bebas berbicara dan berfatwa apa saja. Sebagai misal, ia pernah berfatwa mengharamkan membeli produk-poduk Amerika dan Israel atau produk negara mana saja yang mendukung negara Zeonis Yahudi.
Qardhawi juga berfatwa memperbolehkan rakyat Arab menentang penguasa lalim. Ia juga mengatakan demonstrasi adalah hak rakyat selama disampaikan secara baik. Awal tahun lalu Qardhawi telah membuat marah penguasa Uni Emirat. Dari sebuah khutbah Jumat ia mengatakan negara itu telah menentang pemerintahan Islam dan memenjarakan mereka yang bersimpati kepadanya. Yang terakhir ini tampaknya merujuk pada penangkapan orang-orang Ikhwanul Muslimin oleh aparat kemanan Uni Emirat.
Kontan saja pernyataan keras Qardhawi ditanggapi Uni Emirat dengan memanggil duta besar Qatar di Abu Dhabi. Namun, Qatar hanya menjawab pernyataan Qardhawi adalah urusan pribadi. Sedangkan kebijakan luar negeri Qatar hanya melalui saluran resmi negara.Bukan hanya Qardhawi, stasion televisi Aljazira yang bermarkas di Doha juga sering membuat marah para pemimpin Arab. Berita-berita Aljazira dinilai seringkali mengritik penguasa Arab dan terkesan lebih membela aksi-aksi unjuk rasa. Bahkan Aljazira sering dituduh lebih membela kelompok-kelompok garis keras, seperti halnya pembelaannya terhada Ikhwanul Muslimin yang oleh Mesir dianggap sebagai organisasi teroris.
Hanya Aljazira yang hingga kini masih menggunakan istihah penggulingan Presiden Mursi sebagai 'kudeta militer'. Sedangkan media lain memakai istilah 'pelurusan arah revolusi'. Penguasa Qatar sebagai pemilik Aljazira menegaskan bahwa kebijakan pemberitaan adalah independensi redaksi yang harus bersikap netral dan profesional.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan luar negeri Qatar juga sering tidak sejalan dengan yang diambil oleh para pemimpin negara-negara Teluk. Sebut misalnya kebijakan soal Suriah, Libia, Yaman, Iran, Turki dan sebagainya. Terakhir adalah masalah Ikhwanul Muslimin.Qatar dituduh terus membela dan bahkan mendanai Ikhwanul Muslimin di Mesir, termasuk 'memelihara' salah seorang pemimpinnya, yaitu Sheikh Qardhawi. Sementara itu, negara-negara Teluk lain mendukung penumpasan gerakan Ikhwanul Muslimin oleh Pemerintah Mesir sekarang ini. Bahkan dua hari setelah penarikan duta besar dari Doha, Saudi secara resmi juga memasukkan Ikhwanul Muslimim sebagai organisasi teroris.
Perbedaan sikap dan kebijakan Qatar itulah yang barangkali telah membuat marah pemimpin negara-negara Teluk lain. Pertanyaannya, apakah sanksi berjamaah itu bisa mengubah sikap Qatar?
Sebagai pengekspor minyak dan gas, ekonomi Qatar mungkin tidak terpengaruh. Namun secara politik, negara kecil yang kaya ini akan semakin terkucilkan di kawasan Teluk. Bila kemudian Qatar beraliansi dengan negara-negara lain di luar Teluk, bisa dipastikan kawasan Timur Tengah akan tambah bergejolak, yang dampaknya bisa mendunia. Termasuk kenaikan harga minyak di pasar internasional.