Rabu 18 Sep 2013 20:01 WIB
Resonansi

Kualitas Pemimpin

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

”Kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapat makan.” Ungkapan Bung Hatta itu menjadi isyarat atas perasaan umum yang berkembang mengenai krisis kepemimpinan nasional.

Bagaimana bisa muncul pemimpin sejati dari lingkungan legislatif, jika cara mencari makan kebanyakan anggota parlemen hanya merentekan kekuasaan dalam bentuk jual beli pasal dan pemilihan jabatan, rekayasa proyek, transaksi alokasi anggaran, akal-akalan kunker, dan studi banding yang mencerminkan kreativitas penjarahan keuangan negara.

Bagaimana bisa muncul pemimpin sejati dari lingkungan eksekutif, jika rekrutmen kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah dikendalikan figur-figur pengusaha bermasalah, manipulator proyek-proyek negara, serta penggadai sumber daya nasional pada pemodal asing.

Bagaimana bisa muncul pemimpin sejati dari lingkungan yudikatif, jika kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman mencari makan dengan menjadi pelindung kejahatan serta memperjualbelikan hukum untuk memperkaya diri.

Bagaimana bisa muncul pemimpin sejati jika kekuasaan disesaki para pejabat yang bermental kere: tak pernah merasa cukup dengan seberapa pun yang diperoleh; tak kuasa memberi pada negara, hanya bisa mengambil dari negara.

Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama. Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya. Dan untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri.

Seperti kata Vaclav Havel, ”Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.”

Komitmen terhadap kemaslahatan publik ini menuntut para pemimpin tidak melulu mengandalkan modal finansial, tetapi yang lebih penting ”modal moral”  (moral capital). Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat.

Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat (Kane, 2001).

Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata, ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Lantas ditambahkan, ”Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.” (Hatta, 1998).

Komitmen moral pemimpin itu harus bertaut dengan kemampuan berempati dan berkomunikasi sambung rasa dengan rakyatnya. Bung Hatta mengatakan, “Saudara Soekarno menjadi sangat populer dan mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat, karena kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tidak ada bandingnya di Indonesia ini.” Sementara itu, Bung Hatta sendiri menegaskan, “Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap!”

Sosok kepemimpinan kedua pahlawan tersebut perlu diungkap untuk memberi teladan bagi kepemimpinan krisis masa kini. Sulitnya pemulihan krisis yang Indonesia hadapi hari ini terutama bukan karena defisit sumber daya dan orang pintar, melainkan karena bangkrutnya moral capital dari para pemimpin politik.

Terlalu sedikit panutan dan terlalu banyak pengkhianat membuat jagat politik kehilangan pahlawan. Tatkala nama pahlawan disebutkan, kita terpaksa harus menoleh ke batu nisan. Pahlawan telanjur dikuburkan, meninggalkan jagat politik dalam kealpaan panduan.

Untuk memulihkan kepahlawanan dalam kepemimpinan, para politisi harus hidup untuk politik, bukan hidup (mencari makan) dari politik. Seperti kata Harry Truman, “Politik —politik luhur— adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan di mana manusia dapat menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement