REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teuku Zulkhairi MA
Gempa bumi dahsyat kembali mengguncang Aceh pada Senin lalu. Musibah ini dikabarkan telah memporak-porandakan bangunan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Yang lebih memilukan, puluhan orang meninggal dan ratusan dikabarkan terluka. Bagi kita sebagai Muslim, setiap musibah harus kita maknai sebagai cobaan, ujian ataupun azab dari Allah Swt.
Saidina Ali mengatakan, “Tidaklah musibah datang melainkan di undang oleh manusia”. Selain itu, Allah Swt juga berfirman: “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30).
Bagi orang beriman, musibah gempa adalah ujian. Bagi yang tidak beriman (tidak mengamalkan nilai-nilai agama), musibah gempa adalah cobaan agar kita segera meninggalkan semua praktek maksiat. Realitas hari ini, kita menyaksikan kemaksiatan dan tindak kejatahatan masih saja terus terjadi secara berulang-ulang, manipulasi, takabur, sombong, angkuh, mengumpat, buruk sangka dan berbagai tingkah dan perilaku menyimpang dari norma-norma agama seakan menjadi bagian dari sifat yang sangat sulit untuk dibendung.
Sementara pada tataran praktis pertanggung jawaban kalimah syahadat, masih banyak diantara umat Islam yang resistensi terhadap eksistensi Tuhan di muka bumi dengan menolak syari’atNya, melakukan perbuatan syirik seperti sihir, khurafat, animisme, pluralisme agama, sekulerisme dan sebagainya.
Terjadinya musibah gempa yang dalam Alquran disebut sebagai bala/bencana bagi kaum yang ingkar belum dimaknai sebagai sebuah bencana yang mengharuskan kaum yang ingkar(maksiat) untuk kembali ke jalan yang lurus. Initnya, gempa yang telah terjadi berulang kali belum ada perubahan yang signifikan dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bersyari’at. Bahkan, keingkaran terus berlanjut tanpa henti.
Jangan tolak eksistensi Tuhan
Yang lebih ironis, banyak di antara kita yang merespon musibah gempa dengan cara berfikir dan sikap yang pragmatis. Misalnya, sebagian diantara masyarakat dan pejabat kita selama ini sibuk diajarkan untuk hanya melihat bagaimana menyiasati, menghindar dan menyelamatkan diri saat gempa terjadi. Sosialisasi ‘tsunami drill’ atau siaga tsunami pascagempa dan berbagai training ‘siaga menghadapi bencana’ lainnya.
Kita akui bahwa hal ini memang sangat penting, namun perlu diingat, bahwa apapun yang kita lakukan secara hakikat berdasarkan perspektif akidah Islam, jika Tuhan hendak menurunkan bencana karena resistensi kita terhadap aturanNya, maka siapapun tak akan bisa lari kemanapun.
Fakta selama ini, saat gempa terjadi semuanya katakutan luar biasa sambil bertasbih dan bertahlil, setelah terjadinya gempa, seperti biasa lagi, habis semua perkara, tidak ada sesuatu yang membekas yang dijadikan sebagai pelajaran untuk terus mendekatkan diri kepadaNya, yang maksiat terus maksiat lagi, yang korupsi dan berbagai kemungkaran lainnya juga terus menjalankan aksinya, yang memfitnah terus memfitnah, yang menyebarkan paham sesat dan kesyirikan juga terus beraksi tanpa rasa takut. Inilah yang saya sebut sebagai sikap pragmatis karena hanya memikirkan kepentingan sejenak saat terjadinya gempa, kita hanya berpikir bagaimana menyelamatkan diri saat terjadinya gempa.
Bahkan yang lebih ironis ketika munculnya berbagai cara berpikir yang mencoba menolak eksistensi Tuhan dalam musibah gempa. Misalnya dengan berdalih bahwa gempa yang terjadi hanya karena suatu faktor alam, disebabkan patahnya lempengan bumi atau berbagai alasan lainnya. Banyak yang meyakini bahwa terjadinya gempa tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan maksiat, argumentasi mereka ‘bahwa gempa itu terjadi hanya karena faktor alam’ tadi. Dalih mereka, Vietnam atau Australia yang notabenenya melegalisasi perbuatan yang dalam ajaran Islam disebut maksiat namun disana tidak terjadi gempa. Cara berfikir seperti ini tentu sangat bertolak belakang dengan perspketif Islam serta tidak membawa efek perubahan sedikitpun.
Pandangan logika seperti itu satu sisi memang dibenarkan menurut ilmu metodelogi kajian Islam yang membagi empat(4) jenis kebenaran. Kebenaran empirik(data/fakta), logik(logika) etik(etika/moral) dan religi(akidah). Terjadinnya gempa disebabkan faktor alam memang bisa dibenarkan secara empirik, namun kebenaran yang lebih tinggi tetaplah dengan memakai perspektif akidah Islam(kebenaran religi). Namun demikian, tidak berarti kedua jenis kebenaran ini dan dua jenis kebenaran lainnnya telah bertolak belakang.
Gempa sebagai cobaan dan ujian
Di samping itu juga harus diyakini, bahwa terdapat perbedaan antara kemaksiatan dan kekafiran. Kemaksiatan adalah ketidak patuhan atau pelanggaran orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah. Sedangkan kekafiran merupakan keingkaran yang nyata terhadap ketuhanan, bencana yang ditujukan kepada suatu negeri yang penduduknya mayoritas kafir, maka ini merupakan azab Allah di dunia bagi mereka. Sedangkan, bagi orang beriman yang bermaksiat maka ini merupkan sebuah teguran, peringatan atau musibah(cobaan) bagi mereka yang dengan hal tersebut mereka diharapkan ke jalan yang lurus, sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam Alquran dan Hadist.
Perlu dicatat, bahwa bencana gempa bumi berulang kali disinggung dalam Alquran. Misalnya ayat yang berbunyi; “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (Q.S. Al A’raf; 78). Selain itu, menurut redaksi surat Az-Zalzalah, terjadinya kiamat juga diawali dengan terjadinya gempa dahsyat, seperti friman Allah ayat pertama surat ini yang berbunyi; ”Apabila digoncangkan bumi dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi pun mengeluarkan segala isinya….”.
Maka, marilah sejenak kita renungkan tentang sebab-sebab gempa, bencana dan musibah lainnya yang terjadi di negeri kita, seberapa banyak pengingkaran kita kepada Allah dibalik musibah gempa itu?. Dengan demikian, marilah kita jadikan seluruh musibah yang menimpa diri kita, keluarga atau bangsa kita ini sebagai momentum untuk mengingatkan agar kita tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan datangnya musibah dan bencana yang pernah menimpa umat terdahulu.
Se7:35 AM 7/8/2013bagai sarana instropeksi diri bagi kita untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu (musyrik), tidak sombong dan merasa aman dari azab Allah, terus berupaya mendekatkan diri dan tawakkal kita kapada-Nya, meningkatkan kualitas iman, amal dan taqwa kita untuk mendapatkan ampunan dan surga-Nya. Sehingga pada akhirnya, negeri kita benar-benar menjadi negeri impian yang bergelar “Baldatun thibatun wa rabbun ghafur”, negeri yang baik dan penduduknya penuh dengan ampunan Allah. amiin
Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.