Kamis 20 Dec 2012 12:23 WIB

Seharusnya Aceng Belajar dari Gaya Politik Andi

Bupati Garut Aceng HM Fikri
Foto: Antara
Bupati Garut Aceng HM Fikri

Pernikahan kilat Bupati Garut Aceng Fikri dengan mantan istri sirinya Fanny Octora (18) terus menuai kontroversi. Pro dan kontra turut menjadi hari-hari yang menghebohkan daerah Garut dengan aksi demonstrasi.

Sebagian masyarakat ada yang mendukung perbuatan nikah siri Aceng, dengan dalih tidak ada larangan dari agama. Tidak sedikit pula masyarakat Garut yang mendesak DPRD untuk segera mencopot jabatan Bupati dari Aceng.

Desakan masyarakat yang kontra terhadap perbuatan Aceng, sebelumnya bukan berdasarkan “benar atau salah” terkait nikah siri, melainkan masyarakat merasa tidak senang dengan perbuatan pejabat yang seharusnya menjadi contoh. Senang atau tidak senang bukan lagi pada ranah logika yang menentukan benar atau salah, melainkan sudah pada tahapan perasaan.

Karenanya, masyarakat menilai bahwa tindakan Aceng menikahi dan menceraikan Fanny Octora tidak mengindahkan aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Tidak sepantasnya proses perceraian dilakukan melalui pesan singkat (SMS) setelah empat hari menikahinya. Dengan demikian, perbuatan nikah siri yang dilakukan oleh Bupati Garut itu dinilai sudah menodai kepercayaan masyarakat Garut.

Nampaknya, ketidaksukaan masyarakat mampu mendongkrak dukungan terhadap pemerintah daerah dan pusat. Selain itu, desakan masyarakat dalam setiap aksinya mampu mendorong DPRD untuk membuat panitia khusus dalam menangani masalah pernikahan kilat Bupati Garut.

Demonstrasi terus terjadi, hingga sampai pada hari Rabu (19/12) di mana rapat pansus DPRD Garut untuk menentukan nasib jabatan Aceng digelar. Setelah 14 hari pansus itu bekerja, hasilnya menunjukkan temuan pelanggaran UU yang dilakukan mantan politisi dari Partai Golkar itu.

Menurut Ketua Pansus DPRD Asep Lesmana Ahlan menyatakan, berdasarkan analisis, fakta, dokumen, dan dikompilasikan dengan UU serta tanpa mengabaikan azas praduga tak bersalah, Bupati Aceng dinilai melanggar 2 UU, yakni UU Perkawinan dan UU Pemerintahan Daerah. Seperti melanggar UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan, Pasal 39 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, dan Pasal 3, 4 dan 5.

Selain itu, Bupati Garut Aceng Fikri juga melanggar UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 27 huruf  b bahwa setiap kepala daerah harus menaati perundang-undangan yang berlaku, Pasal 27 huruf f bahwa kepala daerah wajib menjunjung tinggi etika dan norma, dan Pasal 110 soal sumpah dan janji kepala daerah.

Nampaknya Aceng Fikri tidak belajar dari tradisi politik Andi Mallarangeng yang mengundurkan diri dari Menpora setelah ditetapkan jadi tersangka. Meskipun Aceng belum ditetapkan sebagai tersangka, akan tetapi temuan pelanggaran UU sudah membuat dirinya tidak layak lagi menduduki jabatan orang nomor satu di Garut.

Beberapa hari yang lalu, Aceng bersikukuh dan mengancam akan membuat kerusuhan jika dia dilengserkan. Selain itu, dia juga mengancam akan membuka dan membeberkan rahasia semua anggota DPRD Garut jika ia dilengserkan.

Seharusnya Aceng belajar dari gaya politik mantan Menpora Andi Mallarangeng yang memilih mundur dari jabatan politiknya. Bukan malah sebaliknya, mempertahankan jabatan demi sebuah kekuasaan dan melakukan serangan balik terhadap DPRD dengan sebuah ancaman.

Junaedi Mujaddid Lathiif

Mahasiswa FISIP UHAMKA

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement