Senin 03 Dec 2012 10:28 WIB

Seandainya Ponsel Tak Pernah Diciptakan

Remaja Putri dengan ponsel. (ilustrasi)
Foto: THINK STOCK
Remaja Putri dengan ponsel. (ilustrasi)

Kamis (29/11) malam saya panik. Akses ponsel pintar saya mendadak hilang, sehingga tidak bisa melakukan apa-apa dengan ponsel ini kecuali bermain Sudoku.

Pesan singkat tak berbayar yang menjadi aplikasi unggulan ponsel tersebut tidak berfungsi sama sekali. Browser tidak merespon. Pun aplikasi lain yang berhubungan dengan internet.

Beberapa detik saya merasa didorong ke dalam ruang kedap suara, dikunci, diisolir. Ponsel pintar itu telah menjadi bumerang bagi saya yang selalu memelototinya.

Ada mungkin beberapa jam saya kehilangan komunikasi melalui telepon pintar tersebut. Tidak tahu update teman-teman lewat aplikasi itu, tidak bisa cek kicauan orang-orang yang saya ikuti, dan tidak bisa berselancar di dunia maya meskipun hanya sekadar untuk mengecek kabar remeh-temeh.

Di tengah kegalauan yang menimpa, saya menyadari satu hal. Apa saya begitu cintanya dengan ponsel pintar dan koneksinya ke dunia maya? Apa saya begitu ketergantungan dengan ponsel ini? Kenapa? Untuk apa? Apakah saya harus panik kalau dia tidak bisa tersambung ke dunia maya? Haruskah saya panik dan menyangka dunia akan runtuh? Apakah dunia kiamat kalau saya tidak bisa berhubungan dengan dunia maya?

Pertanyaan ini saya telan dalam-dalam. Sejenak saya berpikir, bagaimana seandainya pertanyaan ini saya ajukan 15-20 tahun yang lalu? Apa jawaban saya?

Tentu saja, dunia tidak akan kiamat bila saya tidak terhubung dengan dunia maya, dengan kawat-kawat jaringan yang mengirim pesan dan berita dari penjuru dunia. Tentu tidak. Justru saya bertanya, memang apa itu internet? Apa itu telepon pintar? Penting? Dan, "gue harus bilang wow"?

Beberapa hari yang lalu, saya dan dua orang teman duduk di sebuah kafe, makan siang. Kami bertiga menikmati pertemuan dan makan siang kami sambil asyik mengobrol. Namun, tiba-tiba terjadi sebuah peristiwa di mana kami sibuk sendiri memandangi telepon pintar masing-masing. Kejadian itu berlangsung selama beberapa saat, sampai teman saya berkata, “Coba kalau ponsel tidak pernah ditemukan, mungkin saat ini kita bakal ngobrol dan gak sibuk dengan ponsel masing-masing,” kata dia. Kalimat itu membuat saya dan dua teman saya langsung menghentikan kegiatan kami di ponsel dan terdiam.

Ya, betul sekali apa yang dia katakan. Andai saja penemu ponsel gagal dengan penelitiannya, atau mungkin mesin kawat berita tidak pernah ditemukan, pastilah dunia tidak individual, dan selalu hidup bersama. Tidak akan ada orang yang cuek dengan keadaan sekitar dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Setiap warung makan pastilah ramai dengan celotehan orang yang bergosip dan curhat. Bukan orang yang duduk diam menikmati makanan sambil memainkan gadget mereka, mulai ponsel mini sampai ponsel pintar. Mulai dari komputer portable yang lebar sampai yang imut-imut.

Namun masalahnya, kita juga tidak bisa menampik perkembangan teknologi saat ini. Tingginya teknologi suatu peradaban menunjukkan tingginya derajat peradaban tersebut. Ini sudah dibuktikan sejak zaman Nabi Nuh, yang konon katanya peradabannya lebih tinggi dari hari ini.

Teknologi juga membantu kita menemukan apa yang dulu masih menjadi misteri. Sederhana saja, dulu kita tidak akan terpikir untuk bisa mendengar kabar dari negara lain melalui televisi kalau tidak ada teknologi TV, kamera dan jaringan kawat yang menyambungkannya. Kabar yang dulu membutuhkan waktu lama, karena harus dikirim oleh kurir atau orang, kini bisa dilakukan dalam waktu singkat dengan cara online. Bahkan bisa siaran langsung.

Teknologi membuat pikiran jadi lebih maju. Namun, jangan sampai teknologi membuat dunia sosial kita menghilang. Jangan sampai menikmati teknologi membuat kita menjadi empati terhadap keadaan sekitar.

Einstein pernah mengatakan, “Hanya ada dua hal yang tidak terbatas di dunia ini, alam semesta dan kebodohan manusia. Dan saya tidak yakin mana yang lebih dulu ada.”

Teknologi tidak akan pernah berhenti. Tinggal bagaimana manusia mengontrol diri terhadap bombardir teknologi.

Kafka Umar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement