Rabu 20 Jun 2012 06:00 WIB

Islamis Versus Status Quo

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu dan Ahad kemarin merupakan hari yang sangat menentukan bagi masa depan Mesir. Dalam dua hari tersebut masyarakat Negeri Seribu Menara itu pergi ke bilik-bilik pemilihan untuk menentukan presiden yang akan datang pas cakejatuhan rezim Husni Mubarak.

Pemilu presiden yang dianggap paling demokratis dalam sejarah Mesir ini merupakan putaran kedua. Mempertandingkan dua calon presiden, Muhammad Mursi dan Ahmed Shafiq. Hasil pemilu secara resmi akan diumumkan pada 21 Juni mendatang. Proses yang menyertai pemilu Mesir kali ini bisa dikatakan sangat dramatis.

Dua hari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan keputusan untuk membubarkan parlemen (DPR/Majlis Sya’b) dan MPR (Majlis Syuro), mencabut larangan para pejabat tinggi era Mubarak ikut pemilu presiden, dan membatalkan se mua undang-undang produk parlemen. Padahal, pemilu parlemen baru diselengga rakan akhir tahun lalu dan merupakan pemilihan yang de mokratis pertama pasca rezim Mubarak.

Yang jadi persoalan mungkin lantaran lebih dari 70 persen suara, baik di DPR maupun MPR, dimenangkan oleh partai-partai Islam. Te patnya, Partai Keadilan dan Kebebasan, sa yap politik Ikhwanul Muslimin, memperoleh 46 persen suara dan Partai An Noor/Salafi men dapat 24 persen suara. Berbagai pihak di Mesir, terutama para tokoh penggerak revolusi, menuduh keputusan MK tersebut merupakan kudeta terhadap demokrasi, terhadap kehendak rakyat.

Mereka juga menganggap keputusan MK itu sebenarnya untuk meloloskan Jenderal Ahmed Shafiq untuk mengikut pemilihan presiden dan sekaligus menghadang capres dari kelompok Islamis. Shafiq merupakan perdana menteri terakhir Mubarak dan ikut mendampingi hari-hari terakhir kejatuhan sang presiden. Ia juga pernah menjabat kepala angkatan udara Mesir.

Tuduhan itu semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa Mahkamah Konstitusi Mesir yang sekarang merupakan bentukan Husni Mubarak. Anggotanya pun ditunjuk oleh mantan presiden Mesir itu. Sebelumnya, parlemen Mesir telah mengeluarkan undang-undang yang melarang semua pejabat tinggi era Mubarak untuk mengikuti pemilihan presiden.

Mereka juga telah membuat undang-undang sementara tentang kekuasaan presiden sebelum konstitusi baru yang permanen dibuat dan disahkan parlemen dan presiden terpilih.

Dengan pembubaran parlemen dan produknya (undang-undang) maka ketika presiden Mesir nanti terpilih dan Dewan Tinggi Militer yang me megang kekuasaan sementara menyerah kan mandatnya kepada presiden baru pada 1 Juli mendatang, Mesir akan tanpa parlemen yang mengawasi roda pemerintahan. Juga ti dak ada undang-undang yang yang mendefi ni si kan kekuasaan dan kewenangan presiden.

Yang juga tidak kalah dramatisnya adalah proses pemilihan presiden yang kini memasuki putaran kedua. Pada putaran pertama terdapat 13 calon presiden yang ikut kompetisi. Mereka mempresentasikan kelompok-kelompok politik yang terpopularisasi ke macam-macam ideo logi dan aspirasi politik sejak kejatuhan rezim Mubarak.

Kelompok status quoalias rezim Mubarak diwakili oleh Amr Musa, Ahmed Shafiq, Husam Khoirullah, dan Abdullah al-Shal. Namun, dari ke empat yang berasal dari rezim Mubarak ini hanya dua calon yang menonjol, yaitu Amr Mu sa dan Shafiq. Amr Musa pernah menjadi Sekjen Liga Arab dan sebelumnya menteri luar negeri Mubarak selama 10 tahun.

Sedangkan Shafiq meru pa kan perdana men teri terakhir Mubarak hingga ia digulingkan oleh aksi revolusi. Pencalonannya telah me nimbulkan kemarahan para aktivis demo krasi. Ia dianggap sebagai antek rezim Mubarak. Dari kelompok Islamis diwakili oleh Mu ham mad Mur si. Ia merupakan pimpinan Ikh wanul Muslimin dan sayap politiknya, Partai Ke adilan dan Kebebasan.

Sebelumnya, ia hanyalah calon cadangan. Namun, ketika calon utama mereka, Khairat al- Shatir, kalah dalam upaya banding terhadap keputusan diskualifikasi pertengahan April lalu, nama Mursi pun dimunculkan sebagai calon utama.

Kelompok Islamis lainnya adalah Abdul Mun’im Abul Futuh. Meskipun yang terakhir ini merupakan mantan pimpinan Ikhwanul Muslimin, pencalonannya melalui jalur independen. Dalam kampanyenya, ia mengatakan perlunya liberalisasi Mesir.

Calon lainnya adalah Muhammad Salim al- Awwa, pemikir Islam dan akademisi. Berikutnya, Hamdin Sobbahi, pendiri Partai Al Kara mah, pendukung ideologi nasional Nassirisme. Lalu Khalid Ali, tokoh muda dan pegiat hak asasi serta kuasa hukum buruh. Namun yang masuk putaran kedua adalah Muhammad Mursi dan Ahmad Shafiq. Pada putaran pertama, Mursi memperoleh 24,8 persen suara dan Shafiq meraih 23,7 persen suara.

Mengikuti drama dan peristiwa yang terjadi sejak kemenangan aksi revolusi rakyat pa da Januari tahun lalu, tampaknya kehidupan politik dan keamanan Mesir belum akan stabil dalam waktu dekat. Sebab, siapa pun pemenangnya, gugat menggugat dan saling menjatuhkan akan terus terjadi. Apalagi gesekan antarkelompok dan ideologi di Mesir pasca- Mubarak kini semakin tajam.

sumber : resonansi

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement