REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra
Dalam pembicaraan akademik tentang wilayah-wilayah ekspresi kebudayaan Islam dan Muslim secara global, kawasan Amerika Latin dengan kaum Muslim Latino umumnya dimasukkan ke dalam wilayah kultural Muslim belahan dunia Barat (Western hemisphere).
Kerangka ini juga terlihat dalam delapan ranah budaya Islam (Islamic cutural sphere) yang saya perkenalkan dan secara global kian banyak digunakan, yakni Arab, Persia (Iran), Turki, Anak Benua India, Nusantara, Afrika Hitam, Sino-Islamic, dan Western Hemisphere. Meski masing-masing wilayah budaya Islam ini tidak monolitik dan seragam, terdapat ekspresi budaya Islam distingtif setiap wilayah yang membedakannya satu sama lain.
Namun, kotak kategori ranah budaya Islam Dunia Barat tampaknya harus direvisi dengan memisahkan Islam-Muslim Latino menjadi kategori tersendiri. Dalam bacaan, pengamatan dan pembicaraan dengan kalangan Muslim Latino sepanjang kunjungan ke Cili dan Argentina dalam rangka Dialog Antaragama yang diselenggarakan Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri RI, dan KBRI Santiago dan KBRI Buenos Aires selama dua pekan (28 Mei-6 Juni 2012), saya menyarankan perlunya penambahan kategori ranah wilayah Islam Latino.
Wilayah budaya Islam Dunia Barat yang memiliki sejumlah karakter dan ekspresi yang nyaris sama kini adalah Eropa Barat dan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Sedangkan wilayah Eropa Timur banyak diwarnai budaya Turki, seperti terlihat dalam ekspresi dan pengalaman masyarakat Muslim Bosnia-Herzegovina, Albania, dan Kosovo.
Kontras dengan ekspresi budaya Muslim di kedua ranah ini adalah wilayah budaya Islam-Muslim Latino dengan penampilan distingtif Latino pula. Hal ini tidak lain berkaitan dengan latar belakang historis kaum Muslim Latino sendiri. Dan, dalam pertemuan mereka sebagai kelompok minoritas keagamaan dengan lingkungan sosio-keagamaan Amerika Latin, yang mayoritas mutlak beragama Katolik pascakedatangan Christopher Columbus (lahir sebelum 31 Oktober 1451, meninggal 20 Mei 1506).
‘Penemuan’ (discovery) Benua Amerika yang bermula dengan sampainya Columbus di Bahama pada 1492, yang diikuti kedatangannya di Kepulauan Antilles, pesisir Venezuela, dan wilayah Amerika Tengah menghasilkan terbentuknya kekuasaan Kerajaan Spanyol yang mencakup wilayah Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Bila Barat memandang jasa dan warisan terbesar Columbus adalah terbentuknya ‘Spaniards Catholic Empire’, sebaliknya penduduk asli masa kini menganggap kedatangan pengembara ini merupakan ‘genocida’ dan penghancuran budaya penduduk asli.
Dalam ingatan bersama kaum Muslimin Latino, Islam pertama kali sampai ke wilayah ini sejak akhir abad ke-15 bersamaan dengan kedatangan Columbus dan orang-orang Spanyol lain, yang membawa ‘budak-budak’ asal Afrika yang sebagian besar beragama Islam. Dalam perjalanan waktu, banyak mereka berpindah ke Katolik atau denominasi Kristen lain.
Tetapi, sepanjang 1850-1860-an, terjadi migrasi kaum Muslim asal Suriah dan Lebanon yang kemudian bermukim di Cili, Argentina, Brasil, dan Kolombia. Lagi-lagi sebagian mereka berpindah ke agama Katolik, di antara keturunan Arab ini adalah Carlos Menem (lahir 2 Juli 1930, presiden Argentina 1989-1999). Presiden Menem berperan besar dalam pembangunan Masjid King Fahd Islamic Cultural Center, Buenos Aires, yang selesai pada 1996 dan menjadi masjid terbesar di seluruh Amerika Latin.
Di sinilah terletak salah satu masalah pokok yang dihadapi kaum Muslimin Latino. Menjadi komunitas minoritas dengan total sekitar 6 juta jiwa (1,2 persen) dari 500 juta penduduk Amerika Latin dan Amerika Tengah secara keseluruhan, kaum Muslimin terbelah di antara kelompok yang berorientasi ke Arab Saudi dengan mereka yang lebih mempribumi.
Ketika delegasi Indonesia ingin mengunjungi Masjid King Fahd Islamic Cultural Center, pengurus berkonsultasi lebih dulu dengan Riyadh sebelum akhirnya menerima kunjungan tersebut. Orientasi transnasional ini juga membelah kaum Muslimin di Cili, misalnya, ada kelompok yang berorientasi ke Iran karena mereka adalah penganut Syiah dan kelompok berorientasi Saudi.
Jika kelompok Syiah terlihat lebih fleksibel dan terlibat dalam dialog antaragama, kelompok pro-Saudi terkesan lebih literal dan sulit dimasuki, bahkan oleh kaum Muslimin lain seperti dari Indonesia. Kedua kelompok ini terlibat dalam kontestasi dan pertarungan mendapatkan pengaruh yang pada gilirannya membuat kelompok Muslim yang lebih beorientasi lokal-pribumi terjepit di tengah-tengah.
Meski sektarianisme kelompok-kelompok dengan orientasi berbeda-beda ini belum sampai pada tingkat mengkhawatirkan, jelas fragmentasi membuat kaum Muslimin tidak berada dalam posisi menguntungkan. Pemerintah negara-negara Amerika Latin bukan tidak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan representasi yang diakui seluruh komunitas Muslim untuk menentukan kebijakan tertentu, yang berkenaan dengan Islam dan kaum Muslimin.
Saling menerima dan bersepakat masih menjadi ‘PR’, yang seolah tidak pernah bisa diselesaikan di antara kelompok-kelompok kaum Muslimin berbeda di Amerika Latin dan banyak wilayah lain di muka bumi ini.