REPUBLIKA.CO.ID, oleh: KH Didin Hafidhuddin
Akhir-akhir ini umat Islam tengah diuji oleh beragam peristiwa yang pada hakikatnya bisa merusak moral dan perilaku. Mulai dari kedatangan Irshad Man ji yang membawa misi untuk “melegalkan” pernikahan sejenis hingga pro-kontra konser Lady Gaga yang rencananya akan tampil di Jakarta pada 3 Juni.
Lady Gaga, seorang penyanyi asal Amerika Serikat, selama ini dikenal sebagai sosok yang kontroversial dalam segala hal. Mulai dari gaya berpakaiannya yang sering “aneh-aneh”, hingga cara berpikir dan gaya hidupnya yang, antara lain, dituangkan dalam lirik-lirik lagunya yang terkadang menghina keyakinan agama pihak lain.
Gerakan penolakan yang kemudian muncul di mana-mana sesungguhnya merupakan ekspresi kegelisahan masyarakat yang sangat mendalam, akibat adanya pergeseran nilai-nilai moral yang terjadi pada bangsa ini. Pergeseran akibat serangan arus pemikiran dan pornografi yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Ditambah dengan era kebebasan yang sering kali tanpa batas dan dengan dalih hak asasi manusia, seseorang dapat dengan mudahnya mengekspresikan segala sesuatu yang nyeleneh serta mengobrak abrik keyakinan dan agama orang lain. Karena itu, sangatlah wajar apabila kemudian kegelisahan ini terkristalisasi menjadi gerakan demonstrasi menentang kehadiran Lady Gaga di Tanah Air.
Karakter kemungkaran
Jika menilik Alquran, akan ditemukan sejumlah ayat yang berbicara secara khusus mengenai kelompok orang yang secara konsisten dan istiqamah selalu memperjuangkan kemungkaran dan mengajak orang lain untuk berada dalam barisan pendukung kemungkaran.
Basis perjuangan kelompok seperti ini hanyalah pragmatisme material semata, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS [9]:67. Yang mereka harapkan adalah mendapatkan material gain semata, di mana mereka bersedia untuk memperdagangkan keyakinannya dan mempertukarkan kebenaran dengan kesesatan demi mendapat imbalan materi yang sesungguhnya tidak seberapa (QS [2]:15).
Dalam memperjuangkan ide-ide kemungkarannya, kelompok seperti ini akan berusaha membungkus gagasan-gagasan tersebut dengan cover yang menarik dan seolah-olah terlihat sebagai sebuah “kebaikan” yang layak untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh, membungkus dengan bahasa akademik dan ilmiah untuk mengkaji buku-buku yang membolehkan pernikahan sejenis sehingga ancaman terhadap kajian tersebut dianggap sebagai upaya membelenggu kebebasan akademik.
Namun, lucunya, proses pembahasannya sering kali tidak ilmiah. Yang ada, justru forum-forum kajian seperti itu malah dijadikan sebagai media un tuk memojokkan umat dengan melabelkan stigma-stigma negatif terhadap umat yang menolak pernikahan sejenis. Sementara, telaah kritis terha dap bukunya tidak muncul sama se kali. Yang ada adalah “pemujaan” ber lebihan terhadap penulisnya.
Harus disadari bahwa upaya-upaya seperti ini tidak akan pernah berhenti. Para pendukung kemungkaran akan selalu berusaha untuk menyesatkan umat. Beragam cara dan media akan digunakan. Apa pun yang bisa dijadikan se bagai “amunisi” untuk melawan dak wah akan dioptimalkan semaksimal mungkin.
Kesalahan dai dan pendukung dakwah sekecil apa pun akan dimanfaatkan untuk menambah “bahan ba kar” dalam mensyiarkan kemung kar an serta sebagai alat untuk memecah belah umat. Hal ini sesungguhnya te lah terjadi sejak zaman Nabi Muham mad SAW.
Sebagai contoh adalah kisah tentang fitnah terhadap Siti Aisyah yang tertinggal dari rombongan Nabi SAW dan terpaksa harus pulang ke Madinah naik tunggangan unta. Unta nya dituntun sahabat Nabi yang bertugas sebagai tim “sapu bersih”. Ke ada an tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh kaum munafik yang tidak senang terhadap dakwah Rasul SAW.
Fitnah dan berita bohong tentang Siti Aisyah itu kemudian mengakibatkan kegemparan di tengah umat. Allah SWT lalu menjawab kabar tersebut dengan menurunkan QS [24]:11- 12. Pada ayat tersebut ,Allah menegaskan bahwa kabar-kabar yang ber edar tersebut sebagai berita bohong ( Hadis al-Ifki). Ayat ini turun sebagai peringatan bagi umat tentang bahaya berita bo hong sekaligus membersihkan nama Siti Aisyah dari fitnah.
Sikap umat
Menyikapi beragam tantangan di atas, termasuk kontroversi kedatangan Lady Gaga ke Indonesia, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, meminta ketegasan aparat kepolisian agar tetap istiqamah menolak untuk memberikan izin kepada penyelenggara konser Lady Gaga.
Apalagi, penolakan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di negara-negara, seperti Korea Selatan, Filipina, maupun negara-negara yang lain. Karena itu, penulis sangat mendukung langkah Polda Metro Jaya yang enggan untuk mengeluarkan izin terlaksananya konser tersebut. Citra baik Indonesia di luar negeri tidak ditentukan oleh penerimaan terhadap konser Lady Gaga.
Kedua, saatnya para ulama dan tokoh umat bersatu padu dalam memperkuat barisan dakwah dan meminimalisasi perbedaan yang ada. Masyarakat membutuhkan bimbingan para ulama dan tokoh agar mereka tidak terjebak dalam perangkap kemung karan yang semakin canggih.
Paling tidak, ada dua dampak apa bila seseorang terperangkap dalam ke mungkaran, yaitu akan semakin jauhnya yang bersangkutan dari Allah sehingga menjadi semakin tidak peduli terhadap ajaran-Nya dan akan semakin memperlemah sensitivitas rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial orang tersebut.
Sebagai contoh adalah orang tidak segan-segan untuk merogoh koceknya demi menyaksikan konser yang tidak sesuai dengan aturan agama, tetapi akan berpikir berulang kali jika uang tersebut harus disedekahkan.
Menarik sekali membaca analisis Firdaus Cahyadi di rubrik “Opini” harian Republika edisi Sabtu, 25 Mei 2012. Dalam artikel tersebut diungkapkan betapa semakin rendahnya kepekaan sosial masyarakat golongan tengah yang ada di Jakarta. Bayangkan, harga termurah tiket konser tersebut sesungguhnya dapat membebaskan seseorang dari kemiskinan selama satu bulan sementara harga termahalnya bisa membebaskan lima orang.
Ketiga, hendaknya masyarakat semakin memperkuat upaya menciptakan ketahanan keluarga melalui penanaman dan penguatan nilai agama. Keluarga adalah komunitas terkecil dalam masyarakat dan pilar me nen tukan kokoh tidaknya sebuah ma syarakat. Karena itu, kita harus menjaga keluarga dari beragam tontonan dan pemikiran yang merusak akidah dan akhlak. Wallahu a’lam.