Rabu 06 Jun 2012 20:47 WIB

Fethullah Gulen dan Misi Kemanusiaannya (2)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmad Syafii Maarif

Berbeda dengan latar belakang tokoh-tokoh AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), seperti Recep Tayyip Erdogan, Abdullah Gul, dan mentornya Profesor Necmettin Erbakan yang berkembang dalam tradisi tarekat Naqshabandi, tetapi belakangan punya orientasi kekuasaan, Gulen menjauhkan diri dari ranah politik praktis.

Jika dia berpolitik, politik itu berada dalam kategori politik tinggi, politik moral, dengan pesan-pesan kenabian yang dianyam dalam bahasa Turki dengan kualitas prima. Maka tidaklah mengherankan pengaruh tokoh kharismatik ini dari tahun ke tahun semakin menjangkau bagian-bagian lain di muka bumi, termasuk Indonesia.

Pengikutnya dalam jumlah puluhan juta dan sekolah-sekolah yang didirikan para pendukungnya kabarnya sudah tersebar di 140 negara. Asia, Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika. Dengan moto, yakni toleransi, perdamaian, dan dialog lintas iman, gagasan Gulen diterima berbagai pihak yang berbeda agama, sekalipun ada saja yang mencurigainya sebagai Islamis dalam persiapan untuk menguasai Turki.

Jika kita ingin menyebut mentornya, nama Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960) dengan karya Risale-I Nur-nya, adalah gurunya yang berada paling depan, akar spiritualnya dapat ditelusuri sampai kepada al-Ghazali (1058-1111), Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273), di antara dua tokoh sufi terbesar dalam sejarah Islam.

Sejalan dengan Nursi yang mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu-ilmu modern lainnya, Gulen cukup paham bahwa semuanya itu penting bagi  kemajuan Islam. Kemudian, Gulen atas nasihat dokternya harus pindah ke Amerika sejak  Maret 1999 dan menetap di kawasan pegunungan Pensylvania bagian timur sampai hari ini.

Kata sebuah sumber, kepindahan Gulen ini bukan semata-mata karena alasan kesehatan, melainkan karena ada tuduhan kepadanya untuk menggulingkan pemerintah sekuler di Turki, sebuah tuduhan yang tidak selaras dengan filosofi tokoh ini. Gulen memang bersikap lunak kepada Barat dan bahkan terhadap Israel, sebuah sikap yang membedakannya dengan banyak tokoh Islamis di berbagai negara.

Juga berbeda dengan mereka, Gulen tidak pernah mengusung syariah untuk dilaksanakan dalam sebuah negara, tetapi keadilan sosial wajib ditegakkan.    Kepada anak-anak muda, Gulen selalu menekankan perlunya harmonisasi antara pencerahan intelektual dan spiritualitas yang berakar dalam tradisi agama, demi melayani kemanusiaan (hizmet).

Gulen dipandang sebagai pendiri dan pengilham gerakan sosial global yang dikenal dengan sebutan Hizmet Movement. Selain bergerak di ranah pendidikan, Hizmet Movement ini juga aktif dalam menanggulangi bencana alam di berbagai bagian dunia, menyantuni anak yatim, dan orang-orang telantar.

Untuk mendanai semuanya ini, pendukung Gulen juga terlibat dalam berbagai pusat bisnis, di samping donasi yang diterima dari para usahawan Turki.     Kembali kepada teologi dasarnya. Sedikit berbeda dengan Said Nursi yang bersikap skeptis terhadap gagasan modernisasi, Gulen berpandangan tentang perlunya sintesis antara tradisi Islam dan modernisasi Turki.

Bahkan lebih jauh dari itu, jika Said Nursi berpandangan bahwa orang tak beriman berbahaya bagi hari depan kemanusiaan, Gulen membuka dialog dengan siapa saja, termasuk dengan kaum ateis, sebuah sikap terbuka yang sangat berani. Inilah pernyataannya, “Tak seorang pun harus mengutuk orang lain karena menjadi anggota dari sebuah agama atau mencaci-makinya sebagai seorang ateis.”

Bagi Gulen, ada dua syarat untuk menciptakan perdamaian dalam masyarakat, toleransi dan dialog. Akhirnya, saya ingin menyinggung sedikit tentang hubungan pendukung Gulen dengan AKP pada bulan-bulan belakangan ini. Kerja sama simbiotis yang berlangsung sejak beberapa tahun terakhir tampaknya sedikit terganggu karena pengaruh Gulen dalam struktur kekuasaan Turki, khususnya dalam kepolisian dan kehakiman dirasakan semakin kuat.

Kenyataan ini dapat memancing gesekan politik di antara keduanya. Apalagi, ada pendapat yang mengatakan, “Gerakan Gulen” tak ubahnya “seperti negara dalam negara.” Saya sungguh berharap gesekan ini tidak akan melemahkan proses Islamisasi kultural di Turki yang berhadapan dengan sisa-sisa kekuatan sekularisme yang gagal di negara itu. Di saat dunia Islam sedang menggapai, mencari model sebuah negara yang relatif Islami, banyak pihak yang melirik ke Turki di bawah AKP.

          

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement