Tulisan ini terinspirasi dari para hafidz cilik kita. Ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika tes Tahsinul Qur’an di suatu lembaga Rumah Al-Qur’an, daerah Bangka, Jakarta Selatan.
Pagi itu, aku dan salah satu seorang kawanku sengaja datang lebih awal dari waktu yang sebelumnya ditentukan oleh panitia tes masuk Rumah Al-Qur’an. Kupikir, kami merupakan peserta yang datang paling awal, atau setidaknya baru ada beberapa peserta saja. Namun, subhanalloh, begitu kami melangkahkan kaki memasuki halaman Rumah Al-Qur’an tersebut, peserta sudah mengantri panjang. Akhirnya, panitia pun membuka registrasi lebih awal.
Yang membuatku terpana yaitu peserta yang datang bukan hanya dari kalangan mahasiswa maupun usia produktif saja, tetapi banyak di antara mereka masih anak-anak. Bahkan, ada juga yang masih balita! Begitu takjubnya aku waktu itu (maklum, baru pertama kali ikut kegiatan seperti ini hehe..).
Untuk dapat belajar membaca Al-Qur’an di Lembaga Rumah Al-Qur’an tersebut, memang diadakan tes terlebih dahulu. Biasanya, hal itu dilakukan guna menentukan kelas sesuai dengan kemampuan membaca Al-Qur’an kita.
Tes dimulai
Tes pun dimulai. Para peserta dibagi ke dalam kelompok-kelompok berbentuk lingkaran dan di-murobbi-kan oleh seorang ustadz. Satu per satu peserta ditanya apa motivasi mereka mengikuti kegiatan seperti ini. Selain itu, ditanyakan pula berapa juz yang sudah dihafal, berapa kali membaca Al-Qur’an dalam sehari, dan sudah berapa kali khatam.
Aku tercengang mendengar jawaban dari teman-teman peserta kelompokku. Selain mereka mayoritas berasal dari universitas-univesitas ternama di Jakarta, mereka juga sudah banyak yang hafal Al-Qur’an. Ada yang hafal 7 juz, 8 juz, bahkan lebih!
Ada juga peserta dari kelompok lain, yang ketika ia muroja’ah, hafalannya lancar dan terdengar seperti Ahmad Saud, baik dari nada, tartil maupun tajwid-nya. Subhanalloh, sungguh indah bacaan para calon bidadari itu, menyejukkan dan menenangkan jiwa.
“Yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” ( Ar-Ra’d : 28)
“Sesungguhnya, Al-Qur’an ini diturunkan dengan syahdu, maka apabila kamu membacanya berusahalah untuk syahdu.” (HR. Abu Ya’la dan Abu Nu’aim)
Aku tercengang bukan main. Hatiku sedikit tersentil dengan apa yang aku lihat disekitarku waktu itu. Usiaku sama dengan mereka. Namun, percepatanku sungguh tertinggal. Mereka sudah hafal berjuz-juz Al-Qur’an. Sementara aku? Jangankan 1 juz, Juz 'Amma pun masih bolong-bolong.
Aku memang bukanlah berasal dari keluarga kyai atau lulusan pesantren. Bukan pula lulusan dari sekolah Islam maupun universitas Islam. Namun, itu sungguh bukanlah alasan untukku menunda-nunda percepatan kebaikan ini.
Memang benar apa yang dikatakan oleh DR. Fathi Yakan dalam bukunya yang berjudul "Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?". Menjadi muslim yang baik tidak cukup hanya dengan mengandalkan faktor keturunan, identitas maupun penampilan luar. Tidak cukup pula hanya sekedar tahu ilmunya tanpa ada aplikasi atau amal disana. Untuk menjadi muslim yang sejati, kita harus memilih, berkomitmen dan berinteraksi dengan Islam dalam segenap aspek kehidupan.
Tahsin pedana dan wisuda hafidz
Hasil kelulusan tes masuk Rumah Al-Qur’an pun diumumkan beberapa hari kemudian. Alhamdulillah, seperti ada embun penyejuk yang masuk kedalam jiwa, aku lulus! Rasa senang karena lulus tes baca Al-Qur’an sangatlah berbeda. Ia seperti embun penyejuk di antara dahaganya ruh.
Minggu berikutnya merupakan tahsin perdana. Di dalam agenda tersebut, juga terdapat acara wisuda hafidz. Kupikir peserta wisuda berasal dari kalangan mahasiswa atau orang dewasa. Namun, ternyata mereka bukanlah dari kalangan yang kuduga. Mereka adalah para hafidz cilik. Usianya berkisar antara 5-9 tahun. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka lantunkan bukanlah Juz 30 atau Juz 'Amma. Para hafidz cilik itu melantunkan Surat Ath-Thur, Juz 27.
Gerimis hati ini mendengar para hafidz cilik itu melantunkan ayat demi ayat Al-Qur’an, dengan polos dan lancarnya tanpa membuka mushaf Al-Qur’an. Teman-teman di sekitarku tampak sudah khusyuk mendengarkan dengan mushafnya. Ada juga yang mengikuti bacaan para hafidz cilik tanpa membuka mushafnya. Sementara, aku sendiri masih sibuk mencari halaman demi halaman. Surat apa lalu ayat keberapa, serta di halaman mana.
Malu rasanya diri ini, terlebih kepada para hafidz cilik itu. Usia mereka sangat jauh lebih muda. Namun, prestasi yang mereka capai amatlah luar biasa dan hebat! Lebih hebat dari prestasi Matematika. Lebih hebat dari prestasi Bahasa Inggris. Lebih hebat dari prestasi Informatika dan Teknologi. Lebih hebat dari prestasi karir yang gemilang. Bahkan, lebih hebat dari prestasi sebuah jabatan di dunia.
Sungguh malu dan pilu rasanya diri ini. Merasa selama ini tengah tertidur. Mungkin, disaat diri ini sedang bermalas-malasan atau berhalangan untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an, dalam waktu yang bersamaan, justru para hafidz cilik itu tengah sibuk membaca dan menghafal Al-Qur’an. Satu ayat demi satu ayat. Mereka sedikit tidur dan sedikit bermain, hanya untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Saudaraku, sudahkah kita mencoba untuk menghafal Al-Qur’an? Berapa juz yang sudah kita hafal? Berapa ayat yang sudah coba kita hafal dan amalkan? Ya, begitulah pertanyaan yang selalu mengusik hatiku. Entah, kapan aku bisa mengejar ketertinggalan ini. Kapan aku bisa seperti para hafidz cilik itu? Berapa berat sudah amal yang akan kubawa saat Yaumil Hisab nanti? Kapan Malaikat maut akan bertandang? Seberapa cepat percepatanku dengan malaikat maut? Karena, kematian itu pasti sementara kita tak akan pernah bisa menebak kapan ia datang.
Mari mulai menghafal satu ayat per hari
Masih ingatkah kita dengan kejadian di awal tahun 2009? Saat itu merupakan saat di mana media sedang puncak-puncaknya meliput peperangan di Palestina. Pernah suatu ketika, tertangkap sebuah gambar para mujahid Palestina yang masih saja membaca Al-Qur’an, walaupun dalam posisi duduk, berdiri, maupun memegang senjata.
Dan ketahuilah saudaraku, bahwasanya banyak beribu-ribu anak di Palestina yang sudah hafal Al-Qur’an, walau di tengah keadaan peperangan mencekam. Padahal, usia mereka sangat jauh lebih muda dibanding kita.
Mulai sekarang, mari kita bersama membaca dan menghafal Al-Qur’an. Semampu yang kita bisa. Semaksimal mungkin kemampuan dan usaha yang kita bisa.
Jika merasa berat untuk menghafal Al-Qur’an langsung 30 juz, kita bisa mencobanya dari Juz 30 atau Juz 'Amma. Kita mulai dari menghafal surat-surat pendek.
Jika kita masih merasa berat lagi karena kesibukan dunia, kita bisa menghafal dengan target lima ayat untuk satu hari. Setidaknya, luangkanlah waktu barang lima menit setelah sholat lima waktu untuk menghafal satu ayat.
Apabila menghafal lima ayat per hari masih terasa berat dan belum sanggup, kita bisa menghafal satu ayat per hari. One Day One Ayat to Save Our Life. Hal ini dilakukan secara continue atau berkesinambungan.
Dalam menghafal, yang terutama dan paling penting yakni niat atau keinginan. Mau menghafal Al-Qur’an. Jika ada keinginan yang kuat, insha Allah kemudahan akan kita peroleh. Tetapi, disamping itu tidak cukup dengan hanya mengandalkan niat saja, perlu adanya aksi menuju kesana.
Menghafal Al-Qur’an bukan hanya untuk golongan maupun kalangan tertentu saja. Bukan pula hanya untuk aktivis penyiar Islam saja. Selama kita adalah seorang muslim, kita semua BISA menghafal Al-Qur’an, tanpa terkecuali.
“Dia (Allah) telah menamai kamu orang-orang muslim sejak dahulu dan begitu pula dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas seluruh manusia…” (Al-Hajj: 78)
“Engkau harus membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya, Al-Qur’an menjadi cahaya yang menerangimu di Bumi dan pundi pahala di akherat.” (HR. Ibnu Hibban)
Sungguh, tulisan ini merupakan instropeksi bagi diri saya pribadi. Terutama, bagi para hafidz cilik generasi penerus agama dan bangsa yang menginspirasi. Semoga, kita selalu diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mencapai Ridho-Nya. Semaksimal mungkin kemampuan yang kita bisa.
Allahu’alam
Sari Anggar Kusuma Melati
Duren Bangka
Dalam fajar kenangan yang merekah