Selasa 09 Dec 2025 06:57 WIB

Indonesia-Suriah: Saatnya Mengakhiri Jarak, Menghidupkan Kembali Spirit Bandung

Hubungan keagamaan Indonesia-Suriah tetap hidup.

Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa menyapa warga Suriah di AS saat mengunjungi Gedung Putih di Washington, Senin, 10 November 2025.
Foto: Kantor pers Kepresidenan Suriah via AP
Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa menyapa warga Suriah di AS saat mengunjungi Gedung Putih di Washington, Senin, 10 November 2025.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan Indonesia dan Suriah bukan hubungan biasa. Suriah termasuk salah satu negara yang lebih awal menunjukkan simpati dan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia pasca 1945.

Dalam sejarah diplomasi Indonesia, dunia Arab, termasuk Suriah, adalah bagian dari ekosistem solidaritas anti-penjajahan yang melahirkan semangat besar Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955: bahwa bangsa-bangsa merdeka harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak tunduk pada dominasi asing, dan saling menopang dalam menghadapi ketidakadilan global.

Namun hari ini, relasi Jakarta–Damaskus terasa janggal. Secara formal, hubungan diplomatik keduanya tidak pernah putus. KBRI Damaskus tetap beroperasi. Duta besar tidak ditarik. Tetapi secara politik simbolik, Indonesia tampak menjaga jarak dari pemerintahan baru Suriah pasca perubahan politik besar pada 8 Desember 2024, yang kini dipimpin oleh Presiden Ahmad Al-Syara.

Pertanyaannya bukan lagi apakah Suriah telah berubah, melainkan mengapa Indonesia belum berubah dan tampak lambat merespons perubahan itu.

Warisan “Kehati-hatian Ekstrem” dalam Diplomasi Indonesia

Indonesia dikenal menganut prinsip politik luar negeri “bebas dan aktif”. Dalam praktiknya, prinsip ini sering diterjemahkan menjadi sikap sangat hati-hati: tidak menjadi yang paling depan dalam mengakui pemerintahan baru yang didukung oleh mayoritas rakyat Suriah, tidak terlalu cepat menunjukkan afiliasi politik, dan selalu menjaga ruang mundur jika situasi global berubah.

Dalam kasus Suriah, kehati-hatian ini diperkuat oleh fakta bahwa konflik di negara tersebut bukan hanya perang internal antara rakyat dan rejim berkuasa dalam konteks Arab Spring yang meledak di musim semi tahun 2011 silam, melainkan konflik berlapis yang melibatkan aktor-aktor pemain besar dunia: Rusia, Amerika Serikat, Iran, Turki, serta berbagai kelompok non-negara. Indonesia memilih berada pada posisi “mengamati dari jauh”, bukan karena memusuhi, tetapi karena tradisi birokratik diplomasi yang sangat konservatif dalam mengambil risiko simbolik.

Trauma Domestik: ketika Suriah Dicitrakan “Medan Radikalisme”

Salah satu faktor paling menentukan sikap dingin Indonesia justru berasal dari dalam negeri. Sejak 2014, Suriah masuk dalam narasi besar keamanan nasional Indonesia sebagai “teater radikalisme global” akibat perang global melawan ISIS. Banyak kebijakan antiterorisme Indonesia dibangun dengan Suriah sebagai simbol ancaman.

Selama hampir satu dekade, publik Indonesia dijejali penyederhanaan: Suriah = ISIS, Suriah = terorisme, Suriah = ancaman, sehingga muncul tagar #JanganSuriahkanIndonesia. Narasi ini mengakar dalam pelatihan keamanan, kurikulum kontra-terorisme, bahkan wacana media arus utama.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement