Oleh AZHAR; Pemerhati Satwa Sumatera
REPUBLIKA.CO.ID, Populasi gajah Sumatera di Provinsi Jambi saat ini berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Di wilayah Bentang Alam Bukit Tigapuluh (BABT), jumlah gajah diperkirakan tidak mencapai 130 individu. Data dari Kementerian Kehutanan melalui Dirjen Penegakan Hukum menunjukkan bahwa kawasan ini menjadi habitat penting bagi sekitar 96 hingga 129 individu gajah Sumatera yang tersisa. Status konservasi gajah Sumatera sendiri telah masuk kategori Critically Endangered menurut IUCN, yang berarti spesies ini berada pada risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar.
Situasi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari tekanan yang berlangsung selama puluhan tahun. Degradasi hutan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar, serta pembangunan infrastruktur telah mempersempit ruang hidup gajah secara drastis. Di Jambi, tekanan terhadap habitat semakin kuat karena kawasan yang seharusnya menjadi koridor alami pergerakan gajah justru dikelilingi oleh izin usaha kehutanan dan perkebunan.
Ironisnya, sekitar 70 persen kantong populasi gajah di Pulau Sumatera justru berada di luar kawasan konservasi formal. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kelompok gajah hidup di area yang tidak memiliki perlindungan hukum memadai, sehingga sangat rentan terhadap konflik dan perburuan. Di Jambi, kantong-kantong tersebut sebagian besar berada di sekitar hutan produksi dan areal konsesi perusahaan, menjadikan upaya perlindungan jauh lebih kompleks dan penuh tantangan.
Gajah Sumatera bukan hanya satwa ikonik, tetapi juga memiliki peran ekologis yang sangat penting. Mereka dikenal sebagai “penjaga hutan” karena membantu penyebaran biji, membuka jalur di hutan lebat, dan menjaga dinamika ekosistem. Hilangnya gajah dari suatu bentang alam akan berdampak besar pada struktur dan kesehatan hutan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, krisis populasi gajah di Jambi bukan hanya persoalan kehilangan satu spesies, tetapi ancaman terhadap stabilitas seluruh ekosistem hutan dataran rendah Sumatera.
Salah satu faktor utama yang mendorong krisis gajah di Jambi adalah keberadaan konsesi perusahaan di dalam dan sekitar Bentang Alam Bukit Tigapuluh. Sejumlah perusahaan pemegang izin, seperti PT Lestari Asri Jaya, PT Alam Bukit Tigapuluh, dan PT Wirakarya Sakti, memiliki konsesi yang berbatasan langsung dengan koridor pergerakan gajah. Keberadaan konsesi ini bukan sekadar garis batas administratif, tetapi telah mengubah lanskap secara fisik melalui pembukaan hutan, pembangunan kanal, dan penanaman tanaman monokultur.
Fakta yang paling memprihatinkan adalah mengecilnya areal Wildlife Conservation Area (WCA) milik PT Lestari Asri Jaya, anak perusahaan dari Michelin Group. WCA yang awalnya dijanjikan seluas sekitar 9.700 hektare, kini dilaporkan menyusut hingga hanya sekitar 1.723 hektare. Penyusutan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen keberlanjutan yang selama ini digaungkan oleh grup perusahaan tersebut.
Di sisi lain, perambahan oleh sekitar 700 kepala keluarga telah terjadi di dalam kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai habitat dan koridor satwa liar. Pembukaan lahan oleh masyarakat, yang sebagian besar didorong oleh kebutuhan ekonomi dan lemahnya pengawasan tata ruang, semakin mempersempit ruang hidup gajah. Situasi ini diperparah oleh pemasangan pagar listrik non-standar yang dipasang untuk melindungi kebun dan areal konsesi.