Sabtu 06 Dec 2025 18:28 WIB

Dari Masjid ke Sawah, dari Dai ke Petani

Desa madani muara kedaulatan pangan dan jalan baru pemuda Islam Indonesia.

Santri merawat sayuran hidroponik di Kebun Gizi Hidroponik Pesantren Hidayutllah, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/11).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Santri merawat sayuran hidroponik di Kebun Gizi Hidroponik Pesantren Hidayutllah, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/11).

Oleh : Kifah Gibraltar Bey Fananie, Ketua Umum Gerakan Pemuda PARMUSI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun terakhir, dunia memasuki fase baru yang tidak mudah: instabilitas pangan global meningkat tajam. Konflik geopolitik mempersempit pasokan ekspor gandum, perubahan iklim mempengaruhi musim tanam, dan distribusi pangan dunia bergantung pada negara-negara pengekspor tertentu. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2024, lebih dari 349 juta orang di berbagai belahan dunia kini hidup dalam kondisi rawan pangan akut—angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Indonesia bukan pengecualian dari tekanan global ini. Meskipun dianugerahi tanah subur, curah hujan melimpah, dan sumber daya pertanian yang melimpah, Indonesia masih bergantung pada impor berbagai bahan pangan strategis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Indonesia masih mengimpor lebih dari 2 juta ton beras, lebih dari 2,1 juta ton kedelai, serta komoditas lain seperti bawang putih dan gandum yang 100 persen bergantung pada impor karena belum dapat diproduksi dalam skala besar di dalam negeri.

Kondisi ini menjadikan swasembada pangan bukan sekadar pilihan teknis, tetapi kebutuhan strategis nasional. Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa swasembada pangan akan menjadi agenda prioritas pemerintah, sekaligus fondasi kedaulatan bangsa. Namun pertanyaannya adalah: bagaimana memulai proses panjang menuju kemandirian pangan?

Jawaban paling logis, paling realistis, sekaligus paling strategis adalah: memulainya dari desa.

Swasembada Pangan sebagai Bagian dari Ibadah dan Kedaulatan

Dalam perspektif Islam, pangan bukan sekadar urusan ekonomi dan kebutuhan biologis. Ia terikat pada nilai ketauhidan, amanah, dan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman:

"Makan dan minumlah dari rezeki yang diberikan Allah, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi." (QS. Al-Baqarah: 60)

Ayat ini menegaskan dua pesan: produksi dan tanggung jawab. Makan adalah kebutuhan; memproduksi adalah perintah moral; dan menjaga keberlanjutan adalah amanah.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu juga makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari, No. 2072)

Hadis ini menempatkan kemandirian pangan sebagai kemuliaan, bukan sekadar aktivitas ekonomi. Bahkan dalam hadis riwayat Muslim disebutkan:

“Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari) 

Pesan ini memberi status spiritual pada kegiatan pertanian: menanam adalah ibadah.

Maka swasembada pangan bukan hanya langkah teknokratik; ia adalah jihad ekonomi, ibadah sosial, dan strategi peradaban.

Mengapa Harus Dimulai dari Desa

Indonesia memiliki lebih dari 74.900 desa, terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan karakter sosial, ekonomi, budaya, dan nilai hidup yang masih sangat kuat. Desa bukan sekadar unit administratif; ia adalah denyut nadi Indonesia, tempat di mana identitas kebangsaan, spiritualitas keagamaan, dan struktur sosial tradisional dibangun. Dalam sejarahnya, sebelum gelombang modernisasi yang bergerak tanpa arah dan meninggalkan jejak ketimpangan agraria, Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang mandiri. Desa adalah pusat produksi pangan, gudang ketahanan hidup, sekaligus fondasi peradaban Islam Nusantara.

Namun hari ini, wajah desa mulai berubah. Banyak desa tidak lagi menjadi penghasil pangan, tetapi justru berubah menjadi konsumen sistem pangan global. Menurut data Badan Pangan Nasional tahun 2024, lebih dari 48 persen pemuda desa tidak lagi tertarik bekerja di sektor pertanian. Ada dua penyebab besar mengapa hal ini terjadi. Pertama, stigma bahwa pertanian adalah pekerjaan kelas kedua—kotor, berat, dan bernilai ekonomi rendah. Kedua, mekanisme pasar belum memberikan keadilan dan nilai tambah kepada petani kecil, sehingga banyak pemuda merasa masa depan mereka tidak berada di ladang, tetapi di kota.

Jika tren ini dibiarkan, desa akan kehilangan peran strategisnya sebagai penopang ketahanan pangan nasional. Karena itu, diperlukan langkah serius untuk menghidupkan kembali desa sebagai living ecosystem yang produktif. Desa perlu dikembalikan menjadi pusat produksi pangan, ruang pendidikan keterampilan, lumbung ekonomi lokal, sekaligus pusat dakwah yang berbasis pemberdayaan. Dan dari sinilah konsep Desa Madani menemukan relevansinya.

Desa Madani: Bukan Hanya Wilayah, Tetapi Ekosistem Peradaban

Desa Madani bukan sekadar slogan atau program pembangunan temporer. Ia adalah konsep peradaban: sebuah model pengembangan masyarakat yang berakar pada nilai-nilai Islam, kemandirian ekonomi, teknologi tepat guna, solidaritas sosial, dan ketahanan pangan. Konsep ini mencerminkan jejak sejarah peradaban Madinah di masa Rasulullah ﷺ—di mana masyarakat dibangun melalui fondasi iman, ilmu, dan produktivitas kolektif.

Konsep Desa Madani berdiri di atas lima pilar utama. Pilar pertama adalah tauhid dan akhlak, di mana masjid bukan hanya sebagai tempat shalat, tetapi sebagai pusat moral, ruang pembelajaran, dan pusat koordinasi sosial serta ekonomi. Pilar kedua adalah kemandirian ekonomi, yang direalisasikan melalui pertanian, peternakan, usaha mikro, hingga koperasi syariah yang berjalan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Pilar ketiga adalah teknologi tepat guna, meliputi mekanisasi alat pertanian, bibit unggul, sistem irigasi modern, hingga digitalisasi rantai pasok pangan umat—sehingga desa tidak tertinggal dari perkembangan zaman. Pilar keempat adalah distribusi berkeadilan, yang memastikan bahwa harga panen, rantai pasok, dan akses pasar tidak lagi dikendalikan tengkulak atau jaringan monopoli yang merugikan petani. Pilar kelima adalah solidaritas umat, di mana zakat produktif, wakaf pertanian, serta gotong royong dikembalikan sebagai budaya dasar pembangunan.

Dengan lima pilar ini, Desa Madani tidak hanya menghasilkan panen, tetapi melahirkan masyarakat yang kuat secara spiritual, stabil secara sosial, dan mandiri secara ekonomi.

Peran Dai: Dari Ceramah Ritual Menuju Dakwah Produktif

Dalam konteks sosial Indonesia, dai memiliki posisi kultural yang sangat strategis. Ketika ekonom, pejabat, atau akademisi berbicara pada masyarakat desa, mereka mungkin didengar. Tetapi ketika seorang dai berbicara, masyarakat tidak hanya mendengar—mereka percaya. Dai memiliki modal sosial terbesar dalam struktur masyarakat: kepercayaan umat.

Karena itu, transformasi desa tidak mungkin dilakukan tanpa peran dai. Seorang dai yang mengatakan “bertani adalah ibadah” memiliki kekuatan persuasif yang lebih besar dibanding ratusan slogan program pemerintah. Bahkan satu kalimat sederhana: “Mengolah tanah adalah sedekah, karena apa pun yang dimakan manusia, hewan, atau burung akan menjadi pahala,” dapat mengubah paradigma produktivitas desa.

Dalam sejarah Islam, dakwah tidak pernah terpisah dari pembangunan ekonomi. Rasulullah ﷺ mendirikan pasar Madinah sebagai langkah ekonomi strategis untuk menghindari ketergantungan. Para sahabat mengelola kebun kurma, peternakan, perdagangan, dan distribusi pangan sebagai bagian dari dakwah sosial.

Maka lahirlah gagasan baru: dakwah pangan, dakwah kemandirian, dakwah produktif. Kini seorang dai bukan hanya dituntut mampu membaca kitab, tetapi juga memahami konsep koperasi umat, algoritma pemasaran digital, budidaya pertanian modern, dan pengelolaan sumber daya desa. Dengan demikian, dakwah tidak lagi berhenti di mimbar, tetapi hidup di sawah, pasar, koperasi, balai desa, dan jaringan digital.

Pemuda Islam: Motor Perubahan yang Tidak Bisa Digantikan

Pemuda memiliki kekuatan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: energi, keberanian, kreativitas, dan kemampuan adaptasi. Generasi hari ini hidup di era kecerdasan buatan, drone pertanian, marketplace global, dan sistem logistik digital. Mereka tidak hanya mampu memegang cangkul, tetapi juga mampu merancang pertanian presisi berbasis data, memutus rantai tengkulak melalui platform distribusi digital, dan membuka ekspor komoditas desa langsung ke pasar global.

Dalam konteks gerakan Islam kontemporer, pemuda PARMUSI memiliki posisi strategis. Mereka berada pada simpul antara dakwah, organisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka bukan pewaris masa lalu yang pasif, tetapi perancang peradaban masa depan yang berani.

Pemuda Islam hari ini tidak dipanggil untuk mengenang kejayaan—tetapi membangunnya kembali.

Strategi Aksi Menuju Swasembada Pangan Berbasis Desa Madani

Gagasan swasembada pangan berbasis Desa Madani tidak akan memiliki makna jika hanya berhenti sebagai idealisme atau slogan motivatif. Ia harus turun ke tanah, masuk ke ruang hidup masyarakat, menyentuh struktur ekonomi desa, dan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan strategi aksi yang bukan hanya berpijak pada teori, tetapi mampu menjawab realitas sosial dan tantangan agrikultural Indonesia hari ini.

Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah membangun Gerakan Nasional Tanam dan Produktivitas Pangan. Gerakan ini bukan sekadar kampanye seremonial, tetapi harus hadir sebagai budaya baru di tengah masyarakat: budaya menanam, merawat, dan memproduksi pangan secara mandiri. Mulainya tidak harus dari skala besar. Ia dapat dirintis bahkan dari ruang-ruang sederhana di sekitar masyarakat: halaman rumah, lahan tidur desa, pekarangan masjid, sekolah, hingga pesantren. Menurut data Kementerian Pertanian tahun 2024, Indonesia memiliki lebih dari 11 juta hektare lahan tidur yang belum dimanfaatkan. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi peluang peradaban. Jika lahan tersebut dikelola melalui semangat kolektif—bukan parsial atau sektoral—maka ia dapat menjadi fondasi baru kemandirian pangan umat.

Namun produksi pangan yang meningkat tidak akan berarti jika tidak ada sistem penyimpanan, distribusi, dan stabilisasi harga yang berpihak kepada petani. Di sinilah urgensi membangun Lumbung Pangan Desa Madani. Lumbung ini bukan hanya tempat menyimpan gabah atau cadangan pangan desa, tetapi instrumen keadilan ekonomi. Selama ini, alur distribusi pangan nasional masih banyak dikendalikan tengkulak dan jaringan pasar monopoli yang tidak berpihak kepada produsen kecil. Dengan adanya lumbung desa yang dikelola masyarakat secara profesional dan berbasis nilai syariah, hasil panen tidak lagi dijual tergesa-gesa dengan harga rendah, tetapi dikelola agar stabil, bernilai tambah, dan kembali menghidupi petani serta masyarakat desa.

Selain struktur ekonomi dan sistem distribusi, keberhasilan swasembada pangan juga memerlukan transformasi pengetahuan dan kepemimpinan. Maka lahirlah kebutuhan akan Sekolah Dai dan Agropreneur Muslim—sebuah institusi kaderisasi yang memadukan fikih agraria, teknologi pertanian modern, manajemen koperasi syariah, serta digitalisasi rantai pasok pangan umat. Di sekolah seperti ini, seorang dai tidak hanya belajar bagaimana menyampaikan ceramah yang inspiratif, tetapi juga memahami teknik irigasi, regenerasi benih, manajemen pupuk, atau platform pemasaran digital. Ia menjadi aktor perubahan sosial sekaligus pemimpin gerakan pangan umat.

Kekuatan berikutnya hadir melalui model koperasi masjid. Selama ini, masjid banyak berfungsi sebagai pusat ibadah, pendidikan ruhani, atau kegiatan sosial. Namun melalui koperasi masjid yang dikelola dengan transparansi dan tata kelola yang baik, masjid dapat kembali memegang fungsi historisnya sebagai pusat ekonomi umat—sebagaimana praktik Nabi ﷺ di Madinah. Koperasi semacam ini dapat membeli hasil panen petani desa dengan harga yang adil, mengatur distribusi pangan bagi jamaah, serta membuka akses ke pasar regional dan nasional tanpa perlu melalui rantai distribusi spekulatif.

Akan tetapi, semua elemen ini tidak akan bergerak tanpa adanya generasi yang mampu menjembatani tradisi dengan teknologi. Di sinilah pemuda memegang peranan yang tak tergantikan. Pemuda hari ini hidup dalam dunia kecerdasan buatan, pemetaan drone, Internet of Things pertanian, big data cuaca, dan marketplace digital. Mereka memiliki kemampuan teknologi yang dapat menghubungkan petani tradisional dengan sistem pertanian presisi dan pasar modern. Mereka tidak menggantikan petani tua, tetapi memperkuat posisi dan nilai kerja petani melalui inovasi dan literasi baru. Maka, kolaborasi antara kearifan lokal dan kecerdasan digital adalah kunci masa depan kedaulatan pangan.

Penutup: Satu Benih Seratus Peradaban

Kini kita berdiri di persimpangan sejarah. Dunia sedang menuju krisis pangan, tetapi Indonesia justru memiliki peluang besar untuk menjadi bangsa pelopor ketahanan pangan regional—bahkan global. Kita memiliki tanah yang subur, masyarakat yang beriman, struktur komunitas yang kuat, serta generasi muda yang berwawasan teknologi. Yang kita butuhkan bukan sekadar kebijakan, melainkan tekad kolektif dan arah strategi yang jelas.

Swasembada pangan bukan hanya target pemerintah—ia adalah amanah keagamaan, tugas kebangsaan, dan strategi peradaban. Dan sebagaimana sejarah mengajarkan, setiap peradaban besar dimulai bukan dari gedung-gedung megah, tetapi dari tanah, benih, dan kerja keras masyarakatnya.

Rasulullah ﷺ memberi pesan yang begitu kuat tentang optimisme dan tanggung jawab produksi ketika beliau bersabda:

“Jika Kiamat tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka jika ia mampu untuk tidak beranjak hingga menanamnya, hendaklah ia melakukannya.” (HR. Ahmad)

Hadis ini bukan sekadar perintah menanam, tetapi seruan untuk terus membangun, berkontribusi, dan menjaga amanah bumi bahkan dalam situasi paling genting.

Karena itu, mari kita mulai dari tanah yang kita injak. Mari kita mulai dari desa. Mari kita mulai dari satu benih—sebab dari satu benih, lahir sumber kehidupan, ketahanan bangsa, dan masa depan yang bermartabat.

Saat desa bangkit, umat bangkit. Saat pemuda bergerak, sejarah bergerak. Dan ketika pangan ada di tangan kita sendiri, Indonesia berdiri sebagai bangsa yang merdeka—berdaulat dalam iman, kuat dalam ekonomi, dan terhormat di hadapan dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement