
Oleh : Awalil Rizky, ekonom Bright Institute
REPUBLIKA.CO.ID, Tingkat pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2025 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 4,85 persen, turun dibanding setahun lalu yang sebesar 4,91 persen. Akan tetapi jumlah penganggur relatif setara, hanya berkurang 4 ribu orang, menjadi 7,46 juta orang. Artinya, penurunan TPT lebih disebabkan jumlah angkatan kerja yang meningkat.
Informasi BPS tentang keadaan ketenagakerjaan Agustus 2025 mencakup berbagai karakteristik. Tidak hanya soal jumlah dan persentase pengangguran. Disajikan pula data seperti jam kerja, sektor atau lapangan usaha, status pekerjaan, setengah pengangguran, pengangguran usia muda, dan lain sebagainya.
Pencermatan atas berbagai data tersebut mengindikasikan kondisi yang sebenarnya tidak membaik, bahkan cenderung memburuk. Berbeda jika yang dikemukakan hanya jumlah pengangguran dan persentase pengangguran.
Berbagai kajian internasional menemukan fenomena paradoks tingkat pengangguran yang rendah di banyak negara berkembang dan negara berpendapatan rendah. Di negara industri maju, tingkat pengangguran yang rendah disertai pula oleh tingkat kemiskinan yang rendah. Sedangkan di negara berkembang, justeru sering menyamarkan kondisi kemiskinan yang substansial.
Di kebanyakan negara berkembang dan berpendapatan rendah, tidak tersedia jaminan perlindungan sosial. Contohnya asuransi pengangguran dan tunjangan kesejahteraan. Akibat kondisi itu, hanya mereka yang relatif kaya yang mampu menganggur.
Bahkan, pengangguran merupakan kondisi mewah, karena hanya mereka yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan (non labor income) yang bisa menganggur. Sementara mereka yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed).
Hipotesa umum di atas tampak terjadi di Indonesia dilihat dari berbagai data yang disajikan oleh BPS. Salah satunya berupa persentase dari angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK bisa dianalisis sebagai salah satu potensi pertumbuhan ekonomi, namun kondisi terkini menggambarkan keterpaksaan ekonomi untuk mencari pekerjaan.
TPAK pada Agustus 2025 sebesar 70,59 persen, merupakan yang tertinggi kedua belasan tahun ini untuk kondisi Agustus, hanya sedikit di bawah Agustus 2024 yang 70,60 persen. Terdapat indikasi keterpaksaan banyak penduduk usia kerja memasuki pasar tenaga kerja selama beberapa tahun ini. Meskipun mulai terjadi perlambatan lajunya pada 2025 ini.
Dilihat secara sektoral, pekerja terbanyak bekerja di sektor pertanian yang mencapai 41,25 juta orang pada Agustus 2025. Merupakan jumlah terbanyak selama dua dekade terakhir untuk kondisi Agustus. Bisa dikatakan, sektor ini terpaksa menampung banyak tenaga kerja melampaui kapasitasnya untuk memberi imbalan kerja yang wajar.
Dilihat dari status pekerjaan, pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar masih sangat banyak dan cenderung bertambah. Jumlahnya mencapai 18,99 juta orang pada Agustus 2025 merupakan yang terbanyak kedua selama ini. Sempat cenderung menurun selama era 2013-2019, dan hanya sebanyak 14,76 juta orang pada 2019.
Kondisi pekerja keluarga dalam kehidupan sehari-hari serupa pengangguran. Namun dalam definisi bekerja dari BPS, mereka tercatat sebagai telah bekerja, karena membantu orang lain memperoleh penghasilan atau keuntungan. Bahkan jika hanya beberapa jam dalam seminggu.
Sementara itu, persentase setengah pengangguran pada Agustus 2025 yang sebesar 7,91 persen memang menurun dari tahun lalu. Akan tetapi terbilang cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya lagi. Mereka bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu) dan masih mencari tambahan jam kerja atau pindah pekerjaan.
Secara lebih khusus, persentase setengah pengangguran laki-laki justeru masih meningkat. Besaran totalnya terkompensasi dari setengah pengangguran perempuan yang menurun signifikan. Kondisi ini memerlukan kajian lebih jauh, karena mungkin saja perempuan yang bekerja tidak penuh memang tidak berupaya menambah jam kerja atau mencari pekerjaan baru.
Keadaan ketenagakerjaan Indonesia dicirikan pula oleh tingkat pengangguran yang lebih rendah terjadi pada pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 2,30 persen pada Agustus 2025. Disusul pendidikan SMP yang tercatat 3,80 persen.
Tingkat pengangguran justru meningkat signifikan pada mereka yang berpendidikan tinggi (Diploma IV, S1, S2, S3). Mencapai 5,39 persen pada Agustus 2025 yang justeru bertambah 0,14 persen poin dari Agustus 2025 yang sebesar 5,25 persen.
Perlu diperhatikan pula informasi BPS tentang rata-rata upah buruh dari Agustus 2024 ke Agustus 2025 yang tumbuh 1,94 persen dari Rp3,27 juta menjadi Rp3,33 juta per bulan. Akan tetapi, pada kurun bersamaan tercatat inflasi Agustus 2025 (y-on-y) sebesar 2,31 persen. Secara lebih khusus lagi, inflasi kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau mencapai 3,99 persen.
Dapat diartikan bahwa sebagian pekerjaan yang tersedia kurang layak dan memang lebih untuk yang berpendidikan rendah. Diperburuk fenomena banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Akan tetapi lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun masih belum sesuai dengan harapan.
Secara umum bisa disimpulkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tidak cukup mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya memburuk. Banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya belum mempunyai pekerjaan yang layak. Sebagian cukup besar dari mereka harus bekerja apa saja untuk dapat bertahan hidup.