Senin 03 Nov 2025 04:31 WIB

Gugatan Amran dan Cermin Retak Jurnalisme Indonesia

Kebebasan pers bukan hanya soal berani menulis, tapi juga berani bertanggung jawab.

Sejumlah orang yang terdiri dari organisasi profesi wartawan, pekerja kreatif dan pers mahasiswa melakukan aksi damai menolak revisi Undang-Undang Penyiaran di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Dalam aksinya mereka menolak pasal-pasal bermasalah dalam revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI. Pasal-pasal tersebut akan membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah orang yang terdiri dari organisasi profesi wartawan, pekerja kreatif dan pers mahasiswa melakukan aksi damai menolak revisi Undang-Undang Penyiaran di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Dalam aksinya mereka menolak pasal-pasal bermasalah dalam revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI. Pasal-pasal tersebut akan membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh Jafar G Bua*

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menggugat PT Tempo Inti Media Tbk atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait berita berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang tayang di Tempo.co pada 16 Mei 2025.

Dalam gugatannya, Amran melalui kuasa hukum Chandra Muliawan menilai pemberitaan tersebut tidak berimbang dan cenderung menghakimi karena tidak didukung data yang kuat. Tempo dianggap menyudutkan Kementerian Pertanian dan Bulog dengan narasi bahwa cadangan beras pemerintah berlimpah namun berkualitas buruk. Sengketa ini sempat dibawa ke Dewan Pers, yang menyatakan berita tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 dan 3 karena tidak akurat serta mencampur fakta dan opini menghakimi.

Dan seperti biasanya, riuh pun tak terelakkan dan berkepanjangan setelah gugatan itu. Dalam sekejap, diskusinya bergeser tajuk: bukan lagi soal akurasi berita, tapi tentang nasib kebebasan pers, bahkan tentang cara pandang Presiden Prabowo Subianto melihat pers Indonesia. Satu surat hukum yang lazim berubah jadi simbol politik.

Padahal, boleh jadi gugatan ini hanyalah perkara sederhana, pejabat merasa dirugikan, media merasa benar. Di negara hukum, dua-duanya sah. Kalau Tempo yakin laporannya berdiri di atas kebenaran, bukankah seharusnya mereka tidak perlu takut? Di pengadilanlah kebenaran diuji, bukan di halaman depan majalah, bukan di panggung solidaritas yang ramai.

Kita sering lupa, gugatan terhadap media bukanlah hal baru. Ia sudah setua sejarah kebebasan pers itu sendiri. Dunia mengenal salah satu kasus paling awal di New York pada 1735, ketika seorang penerbit kecil bernama John Peter Zenger diseret ke pengadilan karena menulis kritik terhadap Gubernur Koloni Inggris. William Cosby, Zenger dituduh mencemarkan nama baik pemerintah. Tapi di ruang sidang itulah, untuk pertama kalinya, seorang juri menyimpulkan: menulis kebenaran bukanlah kejahatan.

Dan pengacara Zenger, Andrew Hamilton, mengemukakan argumen bahwa kebenaran adalah pembelaan terhadap tuduhan pencemaran nama baik dan bahwa pers memiliki hak untuk mengkritik penyalahgunaan kekuasaan.

Dari sanalah gagasan kebebasan pers modern lahir. Bahwa media boleh mengkritik kekuasaan, tapi juga harus siap mempertanggungjawabkan kebenarannya di depan hukum. Kebebasan dan tanggung jawab berjalan beriringan, seperti dua sisi uang koin.

Itu sebabnya, gugatan Amran terhadap Tempo semestinya dilihat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai ruang uji. Kalau benar, buktikanlah. Kalau salah, akuilah. Sederhana, tapi itulah inti dari demokrasi.

Sayangnya, reaksi kalangan pers kita sering kali berlebihan. Setiap kali ada gugatan, langsung disimpulkan: pemerintah sedang menekan kebebasan pers, penguasa sedang anti-kritik. Beragam kritik bergambar sudah dicuitkan di X. Juga dibagikan di status Whatsapp. Padahal gugatan pada pers tidak mesti selalu dibaca begitu. Di banyak negara maju, dari Amerika hingga Inggris, media besar pun berkali-kali digugat, dan banyak di antaranya justru menang, karena bisa membuktikan bahwa berita mereka yang mereka tulis berdasar fakta.

Mengapa di Indonesia gugatan semacam itu selalu dianggap ancaman? Mungkin karena kita masih terbiasa melihat kebebasan sebagai hak yang mutlak, bukan tanggung jawab yang harus diuji.

Indonesia, bagaimanapun, punya pers paling bebas di Asia Tenggara. Di Malaysia, jurnalis masih dibayangi undang-undang hasutan; di Singapura, kebebasan diatur seketat lalu lintas di Orchard Road; di Thailand, kritik bisa berujung penjara yang senyap; di Brunei, bahkan bisikan pun bisa salah tafsir melawan keluarga kerajaan. Hanya di Indonesia, kata-kata bisa bergerak sebebas angin, bahkan mungkin badai, meski kadang juga tanpa arah.

Tapi kebebasan tanpa kesadaran mudah berubah jadi arogansi. Jika media bisa mengoreksi pejabat, pejabat pun dapat mengoreksi media. Gugatan bukan berarti pembungkaman, melainkan bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat.

Kita lupa bahwa Zenger, tiga abad lalu, tidak melawan untuk menang, tapi untuk membuktikan. Ia percaya, kebenaran akan membela dirinya sendiri, asal dibawa ke tempat yang benar: Pengadilan.

Mungkin di sinilah Tempo dan seluruh jurnalisme Indonesia diuji: apakah kita masih percaya pada proses itu, atau lebih suka berpihak pada drama? Sebab di ujungnya, kebebasan pers bukan hanya soal berani menulis, tapi juga berani bertanggung jawab.

Dan di ruang pengadilan yang kerap riuh dan kadang sunyi, di antara berkas dan bukti, kebenaran itu akan berbicara. Pelan, tapi jernih, seperti gaung dari 1735, ketika seorang penerbit kecil di New York membuktikan bahwa pena dan pengadilan, jika sama-sama jujur, bisa melahirkan sejarah. *

*Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, eks Produser Lapangan CNN Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement