Selasa 14 Oct 2025 20:54 WIB

Layar yang Retak di Bulan Santri

Trans7 membuat marah publik karena videonya yang dianggap merendahkan santri dan kiai

Trans7
Foto: Dok Istimewa
Trans7

Oleh : Ady Amar, Kolumnis

REPUBLIKA.CO.ID, Ada luka yang tak berdarah, tapi terasa dalam: luka di layar televisi, yang menggores perasaan orang-orang yang hidup dengan adab.

Menjelang Hari Santri Nasional, ketika bangsa mestinya menunduk hormat pada para penjaga ilmu, Trans7 justru menayangkan program yang memicu gelombang marah. Tayangan itu menggambarkan kehidupan pesantren dengan nada yang dianggap sinis dan merendahkan.

Baca Juga

Nama besar Pondok Pesantren Lirboyo ikut terseret, juga sosok sepuh KH Anwar Manshur — ulama yang sederhana dan tulus mengajar hingga usia senja. Di bulan yang seharusnya menjadi perayaan keteladanan, luka justru muncul dari layar kaca.

Di media sosial, seruan boikot dan kecaman bergema. Ada yang menangis karena sedih, ada yang menulis dengan getir, ada pula yang menuntut tanggung jawab moral dari stasiun televisi.

Semuanya lahir dari cinta: cinta pada guru, pada pesantren, pada kehormatan yang dijaga turun-temurun. Namun di sisi lain, dunia media berdiri dengan argumen kebebasan pers. Bahwa jurnalisme tak boleh dibungkam oleh sentimen.

Di titik inilah dua nilai besar beradu — adab dan kebebasan, kehormatan dan kritik. Dan bangsa ini berdiri di antara keduanya, di persimpangan antara rasa hormat dan hak berekspresi.

Media sejatinya bukan hanya cermin yang memantulkan kenyataan, tapi juga tangan yang membentuknya.

Satu kalimat bisa menjadi lentera, tapi bisa pula menjadi luka.

Dalam masyarakat yang tumbuh dari tradisi sopan santun, cara berbicara sering kali lebih bermakna dari isi pembicaraan. Kata yang benar pun bisa menjadi pisau bila diucapkan dengan nada yang salah.

Pesantren bukan ruang glamor yang perlu disorot dengan eksotika. Ia rumah bagi nilai: kesederhanaan, ketulusan, dan penghormatan. Di sana, kiai bukan bintang televisi, melainkan mata air kebijaksanaan. Maka, ketika sorotan kamera menampilkan sebaliknya — seolah ada kemewahan, seolah ada kepura-puraan — yang tersinggung bukan sekadar individu, tapi seluruh ekosistem moral yang menjaga keseimbangan batin bangsa.

Namun, marah karena cinta tetaplah marah. Dan bila cinta tidak dijaga oleh kebijaksanaan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar semuanya.

Barangkali inilah ujian sejati di bulan santri: mampukah kita menenangkan amarah dengan kebeningan hati?

Kemarahan publik adalah tanda cinta, tapi cinta yang tak disertai hikmah bisa kehilangan arah.

Media perlu belajar kembali makna empati. Kebebasan tidak berarti bebas dari tanggung jawab moral.

Setiap tayangan yang lahir di negeri religius seperti Indonesia harus peka terhadap nilai dan perasaan umat. Sementara dunia pesantren pun perlu terbuka, agar kritik yang jernih tak selalu terbaca sebagai penghinaan.

Sesungguhnya, kebebasan pers dan marwah pesantren tidak saling meniadakan. Keduanya justru dua tiang yang menopang rumah yang sama: rumah kebangsaan.

Media menjaga nalar publik, pesantren menjaga nurani bangsa. Bila keduanya saling menghormati, Indonesia akan berdiri di atas keseimbangan yang kokoh.

Permintaan maaf mungkin menjadi awal, tapi tidak cukup. Yang lebih penting adalah keberanian untuk memperbaiki.

Jika Trans7 berkenan menayangkan ulang kisah pesantren dengan riset, empati, dan penghormatan, luka ini bisa sembuh. Dan bagi para santri, inilah waktu terbaik untuk menunjukkan kelas spiritualnya: menjawab hujatan dengan ketenangan, menegakkan kehormatan tanpa kehilangan adab.

Marwah pesantren tidak akan runtuh hanya karena satu tayangan. Ia telah berdiri berabad-abad di atas doa dan kesetiaan.

KH Anwar Manshur mungkin tak menonton tayangan itu. Tapi beliau “ditonton” setiap hari oleh murid-muridnya — lewat tutur lembut, lewat sabar yang panjang.

Barangkali, jika beliau bicara, kalimatnya hanya satu: “Biar mereka belajar tentang adab, seperti kita belajar tentang sabar.”

Media mungkin menguasai layar, tapi pesantren menguasai hati. Dan yang menguasai hati, tak akan kalah oleh gaduh dunia.

Maka di bulan santri ini, biarlah kita menatap layar yang retak itu bukan dengan amarah, melainkan dengan kebijaksanaan. Sebab retak tak selalu berarti hancur — kadang ia justru menjadi celah bagi cahaya untuk masuk.

Dan dari cahaya itulah, semoga lahir bangsa yang lebih matang: yang tahu cara menghormati, tahu cara berbicara, dan tahu kapan harus diam untuk menjaga martabat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement