Rabu 01 Oct 2025 11:11 WIB

Rencana Trump–Netanyahu; Apakah Adil bagi Perjuangan Palestina?

Rencana Trump–Netanyahu bukanlah peta jalan menuju perdamaian.

Presiden Donald Trump berbicara setelah konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden Donald Trump berbicara setelah konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Donald Trump bersama ‘Bibi’ Netanyahu mengumumkan “21 Poin Rencana Gaza” pada 30/9/2025, mereka menyebutnya sebagai jalan keluar dari konflik yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa dan menghancurkan Gaza.

‘Bibi’ menyatakan ‘Rencana Trump’ ini akan menghidupkan kembali proyek Abraham Accord 2020, yang sudah kehilangan pamor. Dengan enteng dia mengatakan, bahwa kehancuran yang dialami rakyat Gaza adalah nubuat dari Al-Kitab Kejadian 12:3 "Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau (Abraham), dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau; dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."

Baca Juga

Ayat Bible yang sering dijadikan dasar teologis oleh kelompok Kristen Zionis yang mendominasi politik AS untuk mendukung Israel modern tanpa syarat.

Rencana ini dipromosikan sebagai formula pragmatis yang akan menghentikan perang, membebaskan sandera, mengalirkan bantuan, serta memulai tahapan rekonstruksi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, “Rencana Trump–Netanyahu” bukanlah peta jalan menuju perdamaian.

Ia lebih menyerupai proyek politik yang menormalkan pendudukan, melucuti perlawanan, dan menghapus kedaulatan Palestina. Apa yang diklaim sebagai “hal positif” hanyalah ilusi; sementara substansi rencana justru memperkuat posisi Israel dan memperlemah perjuangan rakyat Palestina.

Ilusi Kemanusiaan

Beberapa poin dalam ‘Gaza Plan’ tampak memberi harapan: penghentian operasi militer Israel bila kesepakatan diterima, pembebasan ribuan tahanan Palestina, serta arus bantuan internasional untuk rekonstruksi. Jika benar terwujud, hal ini tentu membawa manfaat kemanusiaan jangka pendek: nyawa bisa terselamatkan, keluarga dipertemukan, dan rumah-rumah bisa dibangun kembali.

Tetapi kita perlu berhati-hati. Janji kemanusiaan itu tidak disertai jaminan politik yang jelas. Tidak ada komitmen eksplisit tentang penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, “After all people constantly say the IDF should withdraw.. No way, that’s not happening,” ketus ‘Bibi’. Tidak ada jaminan pembentukan negara Palestina berdaulat.

Tidak ada mekanisme hukum yang melindungi rakyat Palestina dari serangan berikutnya. Dengan kata lain, rencana ini mengubah penderitaan Gaza menjadi komoditas politik, sambil menghindar dari isu inti: hak bangsa Palestina atas tanah, kemerdekaan, dan kedaulatan.

Tiga Tujuan Utama Israel

Membaca naskah rencana Trump secara kritis, terlihat jelas tiga kepentingan Israel yang difasilitasi Trump:

1. Pengembalian sandera – inilah prioritas utama pemerintah Israel, dan rencana ini memastikan kebutuhan itu dipenuhi.

2. Penghancuran perlawanan – infrastruktur militer Hamas dibongkar, terowongan dihancurkan, dan para pejuang dilucuti. Rakyat Gaza dipaksa menerima status sebagai komunitas sipil tak bersenjata tanpa jaminan perlindungan. (Al Jazeera. (2025). Full text of Trump’s 21-point Gaza plan.)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement