
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara mengejutkan pada 29 September 2025 pukul 03.00 petang waktu AS atau 30/9/2025 pukul 03.00 dini hari WIB, Donald Trump mengumumkan 21 Poin Rencana Gaza yang ia klaim sebagai jalan keluar dari perang berkepanjangan antara Israel dan Hamas.
Rencana ini menekankan demilitarisasi Gaza, pengembalian sandera, pembebasan sebagian tahanan Palestina, serta pembentukan pemerintahan transisi yang diawasi badan internasional baru yang digagas Amerika Serikat.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, “Rencana Trump–Netanyahu” bukanlah peta jalan menuju perdamaian. Ia lebih menyerupai proyek politik yang menormalkan pendudukan, melucuti perlawanan, dan menghapus kedaulatan Palestina. Apa yang diklaim sebagai “hal positif” hanyalah ilusi; sementara substansi rencana justru memperkuat posisi Israel dan memperlemah perjuangan rakyat Palestina.
Rencana tersebut langsung memicu perdebatan global: apakah ia sungguh menawarkan jalan damai, atau sekadar memperkuat kepentingan keamanan Israel dan pengaruh politik AS di Timur Tengah? Bagi Indonesia—sebagai negara dengan politik luar negeri bebas-aktif dan salah satu pendukung paling konsisten perjuangan Palestina—pertanyaan kuncinya adalah: bagaimana respon yang tepat terhadap rencana tersebut?
Potensi Manfaat bagi Gaza dan Palestina
Beberapa poin dalam rencana itu tampak memberi keuntungan bagi rakyat Gaza. Di antaranya: penghentian operasi militer Israel jika kesepakatan diterima, pengembalian sandera dalam waktu cepat, pembebasan ribuan tahanan Palestina, serta aliran bantuan dan rekonstruksi berskala besar.
Jika benar terealisasi, poin-poin ini berpotensi menyelamatkan ribuan nyawa, meringankan penderitaan keluarga korban, dan membuka kesempatan bagi Gaza untuk mulai membangun kembali setelah kehancuran. Jaminan bahwa tidak ada pemindahan paksa juga penting untuk menolak skenario eksodus massal warga Gaza.
Dominasi Kepentingan Israel
Namun, jika dianalisis lebih dalam, rencana ini tetap sangat menguntungkan Israel secara struktural. Pertama, Hamas sepenuhnya dikeluarkan dari pemerintahan Gaza, sementara infrastruktur militernya dihancurkan.
Kedua, keamanan Gaza akan diawasi pasukan stabilisasi internasional dengan mandat kuat dari AS dan mitra regionalnya.
Ketiga, pemerintahan transisi teknokrat Palestina ditempatkan di bawah pengawasan Board of Peace yang dibentuk Washington, sehingga kedaulatan politik Palestina berpotensi tereduksi.
Lebih jauh, rencana hanya membuka “kemungkinan” menuju negara Palestina—tanpa jaminan jelas, dan dengan syarat berat seperti reformasi Otoritas Palestina serta keberhasilan deradikalisasi. Dengan demikian, hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina tetap belum dijamin.