
Oleh : Ismail Suardi Wekke, Peneliti CIDES ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelayanan haji Indonesia memasuki babak baru. Langkah terobosan diambil pemerintah dengan melantik seorang menteri khusus yang bertugas mengurus haji. Hal ini menandai komitmen serius pemerintah untuk membenahi dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, menjawab berbagai persoalan pelik yang selama ini membelit.
Pelantikan Menteri Haji yang secara khusus menangani urusan haji ini disambut pro dan kontra berbagai kalangan. Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi tumpang tindih kewenangan dan birokrasi yang rumit, yang seringkali menjadi kendala dalam pelayanan haji.
Dengan adanya menteri yang fokus, koordinasi antar instansi terkait, mulai dari Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Luar Negeri, diharapkan bisa berjalan lebih efektif dan efisien. Di atas semua itu adalah layanan bagi jamaah dan juga kemudahan menunaikan haji dan umrah.
Terobosan ini juga sejalan dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang kemudian diubah dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 2019 pada Agustus 2025
Revisi UU ini bertujuan untuk memperkuat landasan hukum dan tata kelola penyelenggaraan haji agar lebih transparan, akuntabel, dan profesional. Salah satu poin krusial dalam revisi UU ini adalah penekanan pada perlindungan jamaah dan pencegahan praktik-praktik ilegal yang merugikan.
Namun, langkah-langkah positif ini diiringi oleh tantangan besar. Praktik jual beli kuota haji yang telah lama menjadi rahasia umum kini menjadi sorotan utama. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara serius memulai penyelidikan terhadap dugaan praktik korupsi ini.
Penyelidikan ini diharapkan dapat membongkar jaringan mafia haji yang selama ini mempermainkan nasib calon jamaah yang sudah lama menanti. Jual beli kuota haji tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mencederai rasa keadilan.
Studi Kasus: Tabungan Haji Malaysia
Sistem penyelenggaraan haji Malaysia seringkali menjadi contoh ideal atau best practice bagi negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia. Kunci sukses mereka terletak pada Tabung Haji (Lembaga Tabung Haji), sebuah lembaga keuangan yang mengelola tabungan haji jamaah sejak dini.
Tabung Haji tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan, tetapi juga sebagai manajer investasi. Uang yang disetorkan jamaah diinvestasikan dalam berbagai portofolio yang halal, seperti properti, perkebunan, dan instrumen keuangan syariah, sehingga menghasilkan keuntungan yang signifikan.
Keuntungan dari investasi ini digunakan untuk mensubsidi biaya haji bagi setiap jamaah. Dengan demikian, meskipun biaya haji secara global meningkat, beban yang ditanggung jamaah tidak melonjak drastis. Hal ini membuat biaya haji di Malaysia lebih terjangkau dan stabil.
Tabung Haji juga memastikan bahwa seluruh proses, mulai dari pendaftaran, penentuan giliran, hingga keberangkatan, dilakukan secara sistematis dan transparan. Tidak ada celah untuk praktik jual beli kuota karena sistem antrean yang sudah baku.
Selain aspek finansial, Tabung Haji juga sangat fokus pada persiapan fisik dan mental jamaah. Mereka menyelenggarakan kursus manasik haji yang komprehensif, tidak hanya di tingkat teori tetapi juga praktis.
Jamaah dilatih secara intensif tentang rukun, wajib, sunah, dan etika haji, serta diberikan panduan praktis untuk menghadapi kondisi di Tanah Suci. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan terstruktur, memastikan setiap jamaah siap secara fisik dan spiritual.
Pemerintah Malaysia juga memberikan dukungan penuh. Koordinasi antara Tabung Haji, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Kesehatan berjalan mulus. Di Tanah Suci, tim medis, petugas bimbingan, dan staf pendukung dari Tabung Haji bekerja secara sinergis untuk melayani jamaah. Mereka memiliki posko-posko pelayanan yang tersebar di Makkah dan Madinah, siap membantu jamaah dalam setiap urusan, mulai dari kesehatan hingga bimbingan ibadah.
Sistem kuota di Malaysia juga diatur dengan ketat. Kuota haji ditentukan berdasarkan antrean yang adil, tidak bisa diperjualbelikan. Calon jamaah yang ingin mendaftar harus membuka rekening di Tabung Haji dan menabung secara rutin.
Mereka akan mendapatkan nomor antrean yang menjadi dasar keberangkatan. Sistem ini meminimalisir intervensi pihak luar dan mencegah praktik percaloan yang merugikan.
Keberhasilan Tabung Haji adalah bukti bahwa dengan manajemen yang profesional, akuntabel, dan terintegrasi, pelayanan haji bisa berjalan efektif. Model ini menunjukkan bahwa haji bukan sekadar urusan ritual, tetapi juga melibatkan manajemen keuangan dan logistik yang matang.
Mereka berhasil menjaga kepercayaan publik dengan transparansi dan pelayanan prima, menjadikan ibadah haji sebagai pengalaman yang damai dan bermartabat. Bahkan menjadikan ini sebagai sebuah badan yang bukan hanya badan usaha, tetapi badan amal.
Sinergi antara pemerintah dan lembaga swasta (dalam hal ini, Tabung Haji sebagai badan otonom) juga menjadi kunci. Pemerintah memberikan dukungan regulasi, sementara Tabung Haji menjalankan operasional dengan profesional. Model ini menawarkan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk membangun sistem yang serupa, di mana pengelolaan dana haji tidak hanya transparan, tetapi juga produktif untuk kemaslahatan jamaah.
Masa Depan Pelayanan Haji di Tanah Air
Langkah pemerintah Indonesia membentuk kementerian khusus dan merevisi UU Haji adalah permulaan yang menjanjikan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip terbaik dari negara lain, seperti Malaysia, Indonesia memiliki peluang besar untuk merevolusi pelayanan haji.
Fokus utama harus pada tata kelola dana haji yang transparan dan produktif, serta pemberantasan total praktik ilegal. Pemerintah harus membangun sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga tahan terhadap korupsi.
Masa depan pelayanan haji di Indonesia tidak hanya tentang keberangkatan dan kepulangan jamaah. Ini adalah tentang memberikan perlindungan menyeluruh dan memastikan setiap jamaah mendapatkan haknya.
Dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), dan seluruh elemen masyarakat. Pelibatan teknologi juga krusial untuk menciptakan sistem antrean yang adil dan terbuka, sehingga setiap calon jamaah bisa memantau statusnya tanpa kekhawatiran.
Pada akhirnya, tujuan utama dari era baru ini adalah mengembalikan kehormatan ibadah haji. Memastikan bahwa perjalanan spiritual ini bebas dari segala bentuk praktik kotor dan komersialisasi. Dengan perbaikan sistematis dan penegakan hukum yang tegas, Indonesia bisa menjadi contoh dalam penyelenggaraan haji yang adil, modern, dan bermartabat.
Ini adalah tantangan besar, tetapi dengan komitmen yang kuat, harapan untuk mewujudkan pelayanan haji yang lebih baik bagi seluruh umat Islam di Indonesia bukanlah sekadar mimpi.