
Oleh : Perdana Wahyu Santosa*
REPUBLIKA.CO.ID, Peluncuran Program Paket Ekonomi 2025 datang pada saat politik nasional masih diwarnai gejolak transisi pemerintahan. Pemerintah Prabowo Subianto menggunakan instrumen kebijakan fiskal, sosial, dan deregulasi untuk meredakan ketidakpastian. Pendekatan ini sejalan dengan teori counter-cyclical fiscal policy Keynesian, di mana intervensi pemerintah dapat menstabilkan ekonomi saat terjadi guncangan (Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, 1936). Dengan paket senilai Rp16,23 triliun untuk 2025, pemerintah berupaya mengembalikan kepercayaan publik dalam jangka pendek, biasanya dalam horizon 3-6 bulan sejak program diluncurkan.
Program bantuan pangan, padat karya, serta diskon iuran BPJS diarahkan langsung ke kelompok rentan. Riset World Bank (2022) tentang social protection in Southeast Asia menegaskan bahwa bantuan tunai atau pangan bersifat efektif meredam keresahan sosial dalam jangka sangat singkat (1-3 bulan), meski menimbulkan dampak produktivitasnya terbatas. Diharapkan intervensi paket ekonomi ini bukanlah shock absorber gejolak sosial-politik namun menjadi motor penggerak ekonomi berkelanjutan yang terarah.
Akselerasi Paket Ekonomi: 8+4+5
Delapan program akselerasi—magang sarjana, insentif pajak PPh 21 sektor pariwisata, bantuan pangan, subsidi perumahan, hingga deregulasi—mencerminkan kombinasi demand side policy dan supply side reform. Penelitian IMF (2019) tentang fiscal multipliers in emerging markets menunjukkan bahwa stimulus fiskal konsumsi biasanya terasa dalam 6-12 bulan, sedangkan reformasi struktural seperti deregulasi baru berdampak penuh setelah 2-3 tahun. Artinya, masyarakat akan lebih cepat merasakan bantuan langsung (beras, subsidi pajak), sementara manfaat deregulasi dan pembangunan perumahan baru akan terlihat setelah 2027.
Empat program lanjutan, termasuk perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga 2029, merupakan insentif fiskal jangka panjang. Menurut penelitian OECD (2020) mengenai UMKM, insentif pajak dapat meningkatkan kepatuhan dan formalisasi usaha, tetapi dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja biasanya memerlukan waktu 2-4 tahun. Dengan demikian, langkah ini lebih merupakan long-term investment in institutional trust daripada kebijakan instan.
Lima program penyerapan tenaga kerja melalui Koperasi Merah Putih, revitalisasi tambak, modernisasi kapal, dan replanting perkebunan rakyat menyasar sektor padat karya. Studi ILO (2021) menyatakan bahwa proyek cash-for-work dan investasi agraria biasanya membutuhkan 1 tahun untuk menunjukkan penyerapan kerja nyata, tetapi hasil maksimal (misalnya panen kakao atau tebu) baru terlihat setelah 2-5 tahun. Oleh karena itu, meskipun tenaga kerja dapat segera terserap di tahap awal, peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan dan petani baru akan signifikan setelah siklus produksi penuh.
Penempatan dana Rp200 triliun melalui KUR Perumahan dan sektor kelautan-perikanan berpotensi besar menstimulasi pertumbuhan. Mengacu riset Asian Development Bank (2023) menunjukkan bahwa program kredit bersubsidi dapat meningkatkan akses perumahan dan produktivitas dalam periode 12-24 bulan, tergantung sejauh mana realisasi distribusi kreditnya. Namun, risiko credit misallocation juga besar jika tata kelola dan monitoring lemah. Masyarakat kelas menengah ke bawah akan cepat merasakan dampaknya melalui akses rumah murah, sedangkan sektor perikanan baru akan optimal setelah 2-3 tahun.
Pembentukan Tim Akselerasi Program Prioritas penting untuk mengurangi fragmentasi. Studi Rodrik (2007) tentang growth diagnostics menunjukkan bahwa koordinasi lintas lembaga sering menjadi faktor penentu apakah stimulus berhasil atau sebaliknya gagal. Dampak kelembagaan seperti ini biasanya terasa lambat, yakni 3-5 tahun, karena memerlukan perubahan budaya birokrasi dan efektivitas monitoring. Namun, tanpa tata kelola yang baik, seluruh program rentan menjadi proyek jangka pendek tanpa daya dorong berkelanjutan.
Pertumbuhan Ekonomi Jangka Pendek?
Dengan kombinasi bantuan konsumsi, padat karya, dan kredit murah, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan PDB sebesar 0,3–0,5% dalam jangka 1 tahun (mengacu pada multiplier fiskal Indonesia menurut Bank Indonesia, 2022). Namun, kontribusi struktural terhadap produktivitas hanya akan terlihat bila program ini diintegrasikan dengan agenda hilirisasi dan digitalisasi. Artinya, rakyat mungkin cepat merasakan relief harga pangan atau pekerjaan sementara, tetapi dampak terhadap daya saing nasional baru terlihat setelah 2027 ke atas.
Bantuan pangan dan subsidi BPJS akan langsung populer di masyarakat. Penelitian Barrientos (2013) tentang social assistance in developing countries menunjukkan bahwa legitimasi politik dari program bantuan langsung biasanya muncul dalam 1-2 bulan. Namun, jika tidak dikaitkan dengan program pemberdayaan, masyarakat berisiko mengembangkan dependency syndrome. Pemerintah harus secara aktif mengkomunikasikan bahwa program ini bersifat transisi menuju kemandirian.
Paket Ekonomi 2025 ini jelas merupakan upaya untuk meredakan tensi politik dengan memberi sinyal keberpihakan pada masyarakat. Studi Acemoglu dan Robinson (Why Nations Fail, 2012) menekankan pentingnya institusi inklusif agar kebijakan tidak hanya menjadi alat survival politik. Dampak stabilitas politik dari paket ekonomi semacam ini biasanya terasa dalam 6-12 bulan, terutama jika berhasil menurunkan potensi protes sosial. Namun, jika hanya bersifat kosmetik, kepercayaan publik akan kembali rapuh setelah program berakhir.
Rekomendasi Konstruktif
Untuk memaksimalkan dampak, pemerintah perlu: (1) menggunakan big data dan integrasi NIK agar program tepat sasaran; (2) memastikan kredit produktif benar-benar tersalur ke nelayan, petani, dan UMKM, bukan ke spekulasi perumahan; (3) mengintegrasikan paket ekonomi dengan visi industrial upgrading agar multiplier effect lebih panjang; (4) membangun mekanisme impact evaluation independen. Dengan begitu, dampak jangka pendek (1 tahun) dapat dikunci menjadi fondasi pertumbuhan jangka menengah (3-5 tahun).
Antara Peluang dan Tantangan
Secara keseluruhan, Program Paket Ekonomi 2025 merupakan kombinasi antara stimulus darurat dan strategi pembangunan. Rakyat akan merasakan manfaat cepat dalam bentuk bantuan pangan, subsidi iuran, dan lapangan kerja sementara dalam 3-6 bulan. Manfaat menengah, seperti peningkatan produksi nelayan dan petani, muncul dalam 1-3 tahun. Sedangkan manfaat struktural, seperti penguatan koperasi, deregulasi, dan hilirisasi, baru terlihat dalam horizon 3-5 tahun. Inilah tantangan terbesar: memastikan bahwa momentum politik tidak hanya sekadar menghasilkan kebijakan instan, melainkan desain keberlanjutan ekonomi yang solid.
*) Penulis adalah Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute