
Oleh : Iman Fachruliansyah, Antropolog Universitas Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak spesies manusia modern, homo sapiens, menjelajahi Afrika ratusan ribu tahun lalu, ada tiga pilar utama yang menopang keberhasilan evolusi kita: pola makan pangan berkualitas tinggi, kerja sama dalam kelompok, dan investasi pada anak-anak (investasi parental dan aloparental). Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah dan ibu hamil, suka tidak suka, sadar atau tidak, beresonansi kuat dengan ketiga pilar ini.
Manusia, sejatinya, memiliki sifat senang memberi untuk sesama. Nenek moyang kita adalah makhluk sosial yang bertahan hidup dengan berbagi makanan.
Hingga kini, pada hasil perayaan kehidupan/keberhasilan tertentu, makanan (terutama protein hewani) menjadi simbol pemberian dari mereka yang “berkelebihan”. Pada kelompok pemburu peramu atau masyarakat dengan karakter kolektif kuat, daging hasil buruan atau panen hasil domestikasi bahan pakan didistribusikan kepada mereka yang juga berkontribusi secara tidak langsung.
Misalnya, seorang pemburu yang berhasil mendapatkan seekor rusa tidak akan memakannya sendiri. Dagingnya akan dibagikan ke seluruh anggota kelompok. Ini bukan persoalan sedekah atau sifat derma, melainkan bisa dilihat sebagai strategi manajemen risiko yang luar biasa.
Mengapa?, hari ini saya berbagi karena besok mungkin saya gagal mendapatkan buruan dan memerlukan pemberian hasil orang lain. Antropolog Amerika, Robert Trivers menyebut sistem ini sebagai “altruisme resiprokal”, strategi untuk mengikat komunitas dan memastikan kelangsungan hidup kolektif terus berlanjut tanpa ada yang tertinggal.
Dalam sejarah evolusi manusia, makanan tidak hanya soal mencukupi rasa lapar atau memenuhi kebutuhan nutrisi. Makan juga medium utama bagi ikatan sosial, solidaritas, dan bahkan struktur kekuasaan.
Sejak masa berburu-meramu, manusia sudah mengembangkan praktik berbagi makanan sebagai mekanisme bertahan hidup dan membentuk kohesi kelompok. Mereka yang berbagi dan mampu menjamin ketersediaan pangan bagi kelompoknya, biasanya, memperoleh kepercayaan dan posisi sosial yang tinggi.
Berbagi makanan merupakan “jantung kebudayaan”, inti berbagai acara, mulai dari perayaan kelahiran, perkawinan, hingga kematian, dan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Di banyak masyarakat, memasak makanan sewajan besar atau memastikan ketersediaan gula dan kopi atau teh untuk mengantisipasi kedatangan tamu tak diundang merupakan hal yang umum; mereka yang memiliki makanan berlebih akan berbagi, dan mereka (juga) berharap sebaliknya. Suatu penataan sosial yang dalam hal ini juga dapat dilihat sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di masyarakat.
Di sisi lain, berbagi makanan juga membangun “moral economy”, sistem nilai yang menjunjung tinggi nilai keadilan sosial dalam distribusi sumber daya. Pada masyarakat tradisional misalnya, kelaparan bukan disebabkan kurangnya makanan, melainkan rusaknya sistem berbagi. Dalam hal ini, ketika negara hadir dan menjamin distribusi makanan gratis bagi anak-anak sekolah, sejatinya, Ia mengambil peran kolektif yang dulu dijalankan oleh komunitas.
Mengapa makanan bergizi? Karena otak manusia adalah organ paling mahal secara metabolik. Evolusi membuat otak kita tumbuh besar dan kompleks, namun dengan konsekuensi: Ia memerlukan suplai energi dan nutrisi yang sangat tinggi, terutama pada masa tumbuh kembang anak.
Kurangnya gizi di masa awal kehidupan tidak hanya berdampak pada tubuh, tetapi juga pada perkembangan kognitif, kemampuan belajar, dan relasi sosial anak di masa depannya.
Pada manusia modern, evolusi membentuk tubuh dan otak kita untuk berkembang dengan diet yang kaya nutrisi (protein, lemak esensial, vitamin, dan mineral), yang didapat dari beragam tumbuhan dan hewan. Namun begitu, saat ini kita hidup di dunia yang dalam antropologi biologi disebut sebagai evolutionary mismatch (atau salah suai evolusi). Lingkungan “modern” masa kini, membanjiri kita dengan makanan olahan yang padat kalori, gula tinggi, dan lemak tidak sehat, tetapi miskin mikronutrien esensial.
Inilah paradoks tragis dari negara berkembang yang memiliki dua wajah malnutrisi, termasuk Indonesia: meningkatnya angka obesitas pada sebagian populasi terjadi bersamaan dengan tingginya angka stunting pada anak-anak. Dalam hal ini, stunting, bukan hanya persoalan tinggi badan, melainkan indikator kegagalan perkembangan kognitif akibat kurangnya “bahan bakar” berkualitas bagi otak.
Otak seorang anak, menurut National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat, setidaknya mengonsumsi hingga sekitar 60 persen dari total energi tubuhnya. Program MBG di sekolah, paling tidak, bisa sedikit mengatasi masalah “salah suai” tersebut pada periode paling kritis dalam kehidupan seseorang. Ini bukan sekedar melawan rasa lapar, tetapi memberi bahan bakar, untuk perkembangan organ yang menjadi keunggulan utama spesies kita.
Manusia memiliki masa kanak-kanak yang sangat panjang jika dibandingkan spesies mamalia lain, khususnya pada bangsa primata. Anak manusia, sebagai konsekuensi memfokuskan perkembangan otak dari pada anggota fisik lainnya, lahir tanpa daya dan membutuhkan perawatan intensif dan berkualitas selama bertahun-tahun.
Strategi evolusi kita untuk mengatasi ini adalah dengan aloparenting, yaitu pola asuh yang melibatkan individu selain ibu kandung, seperti ayah, nenek-kakek, paman-bibi, kerabat lainnya, atau bahkan tetangga sekitar rumah. Keterlibatan komunitas dalam membesarkan anak memastikan si buah hati mendapatkan sumber daya yang cukup dan juga perlindungan dari marabahaya.
Dalam konteks “modern”, MBG yang dijalankan pemerintah pada dasarnya merupakan bentuk aloparenting dalam skala makro. Negara mengambil peran sebagai “kerabat kolektif” yang membantu meringankan beban para orang tua dalam memastikan nutrisi anak terpenuhi.
Investasi ini sangat strategis, karena dari perspektif evolusi, keberhasilan suatu kelompok tidak diukur atau bukan berdasarkan dari kekuatan individu, melainkan dari kemampuannya untuk menghasilkan dan memastikan generasi penerus yang sehat, cerdas, dan mampu beradaptasi.
Dari sudut pandang antropologi biologi, saya melihat program MBG sebagai upaya memperkuat fondasi biologis dan sosial generasi mendatang. Program ini, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonomi, membantu menjamin bahwa semua anak memiliki akses terhadap nutrisi dasar yang dibutuhkan untuk berkembang sebagai manusia yang utuh.
Negara, dalam hal ini, paling tidak, memberikan kesetaraan akses terhadap pangan bergizi bagi warganya untuk bersama bersiap menghadapi tantangan masa depan. Suatu hal, yang dahulu, mungkin tidak pernah benar-benar serius diimplementasikan.
Tentu masih banyak tantangan yang perlu diatasi mulai dari: bagaimana memastikan makanan yang diberikan benar-benar bergizi, bukan sekadar pengganjal perut sarat gula? Bagaimana logistiknya menjangkau daerah 3T dan masyarakat di bawah standar kemiskinan? Bagaimana kemudian memastikan program ini tidak bocor oleh korupsi?
Namun begitu, studi antropologi biologi memberi kita jawaban mengapa program ini perlu dilaksanakan. Menurut saya program ini pengakuan implisit untuk maju sebagai bangsa, kita, mau tidak mau, harus kembali pada strategi inti yang membuat kita sukses sebagai spesies: yaitu bekerja sama untuk berbagi sumber daya, menyediakan diet berkualitas, dan berinvestasi secara kolektif pada otak generasi masa depan kita.
Untuk itu, MBG harus dijalankan secara transparan, dengan pengawasan ketat, dan disertai penyebaran pengetahuan tentang makanan sehat, strategi keberlanjutan pangan lokal, serta keterlibatan komunitas sekolah dan keluarga.