Senin 28 Jul 2025 15:46 WIB

Ketimpangan Pendidikan dan Amanah Kekuasaan: Tinjauan dari Perspektif Islam

Semestinya anggaran pendidikan dikelola dengan mengedepankan keadilan, kesetaraan.

Sejumlah siswa kelas empat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lesehan di ruang kantin SD Negeri Suci, Kota Serang, Banten, Rabu (7/8/2024). Pihak sekolah menyebutkan, dalam sewindu terakhir sebanyak tujuh ruang kelas rusak bagian dinding, atap dan lantai sehingga sekolah terpaksa menggunakan salah satu ruangan kantin menjadi ruang belajar siswa.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Sejumlah siswa kelas empat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lesehan di ruang kantin SD Negeri Suci, Kota Serang, Banten, Rabu (7/8/2024). Pihak sekolah menyebutkan, dalam sewindu terakhir sebanyak tujuh ruang kelas rusak bagian dinding, atap dan lantai sehingga sekolah terpaksa menggunakan salah satu ruangan kantin menjadi ruang belajar siswa.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Eko Saputra, Garamatan Foundation

Keadilan adalah inti ajaran Islam dan menjadi salah satu maqashid utama dalam syariah. Namun dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, tampak adanya ketimpangan dalam distribusi anggaran negara, khususnya antara sekolah kedinasan dan lembaga pendidikan umum.

Artikel ini mengkaji fenomena tersebut dari sudut pandang Islam, dengan melihatnya dari aspek prinsip ‘adalah (keadilan), maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum), dan amanah kekuasaan. Ketika 13.000 mahasiswa sekolah kedinasan mendapatkan alokasi anggaran Rp 104 triliun, dan 62 juta pelajar umum harus berbagi Rp 92 triliun, maka hal itu mencerminkan bentuk ketidakadilan struktural yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Ilmu, Amanah, dan Keadilan

Dalam Islam, pendidikan adalah jalan untuk menegakkan akhlak, ilmu, dan peradaban. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah.” (HR Ibnu Majah)

Namun, kewajiban ini tidak akan terlaksana jika negara sebagai pihak yang diberi amanah justru bersikap diskriminatif dalam mengalokasikan sarana dan dukungan terhadap rakyatnya. Ketika pendidikan hanya diakses oleh kelompok tertentu dengan anggaran berlimpah, sementara mayoritas rakyat dibiarkan bertarung dengan keterbatasan, maka negara telah mencederai prinsip keadilan yang menjadi poros utama dalam ajaran Islam.

Konstitusi Indonesia secara eksplisit menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan kewajiban negara untuk memenuhinya (UUD 1945, Pasal 31). Namun dalam implementasinya, kebijakan pendidikan masih sangat bias terhadap kelompok tertentu. Salah satu bentuk paling mencolok dari bias ini adalah alokasi anggaran yang sangat tidak proporsional antara lembaga pendidikan umum dan sekolah kedinasan.

Sekolah kedinasan rupanya didesain untuk mencetak kader birokrasi. Dengan berbagai fasilitas seperti pembiayaan penuh, jaminan pekerjaan, asrama, makan, bahkan uang saku, institusi ini seperti menjadi "anak emas" dalam sistem pendidikan nasional. Data APBN 2024 menunjukkan bahwa sebanyak Rp 104 triliun dialokasikan untuk hanya sekitar 13.000 mahasiswa kedinasan. Artinya, rata-rata alokasi per individu mencapai Rp 8 miliar.

Bandingkan dengan Rp 92 triliun untuk 62 juta siswa dan mahasiswa di jalur umum, yang berarti rata-rata hanya Rp 1,48 juta per orang per tahun. Ketimpangan ini tidak hanya mencolok secara kuantitatif, tetapi juga menyiratkan adanya hierarki nilai terhadap siapa yang dianggap "layak" untuk mendapat dukungan negara.

Ketimpangan ini merupakan bentuk penyalahgunaan amanah (khianat al-amanah). Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak beriman seseorang yang tidak menunaikan amanah.” (HR. Ahmad)

Dalam konteks negara, amanah itu mencakup pengelolaan harta publik (al-mal al-‘ammah), yang seharusnya diarahkan pada kemaslahatan umat secara menyeluruh.

Prinsip Maqashid Syariah dan Distribusi Keadilan

Salah satu tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syariah) adalah hifz al-‘aql (menjaga akal) dan hifz al-nasl (menjaga generasi). Pendidikan adalah sarana untuk menjaga keduanya. Maka negara berkewajiban memastikan bahwa seluruh warga, terutama generasi muda, mendapatkan akses pendidikan yang adil dan merata.

Al-Qur’an mengecam keras segala bentuk kezaliman:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 57)

Kebijakan anggaran yang timpang adalah bentuk nyata kezaliman struktural yang berpotensi memperkuat elitisme, menambah jurang kemiskinan, dan melanggengkan marginalisasi rakyat kecil.

Menata Ulang Prioritas: Pendidikan untuk Semua

Islam mengajarkan bahwa kekuasaan adalah sarana untuk melayani, bukan memprioritaskan kepentingan segelintir golongan. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab adalah teladan dalam pemerataan distribusi, termasuk dalam sektor pendidikan dan bantuan sosial. Beliau dikenal sering menyamar di malam hari untuk melihat langsung keadaan rakyatnya, agar kebijakan tidak lahir dari balik meja kekuasaan yang jauh dari realitas.

Negara hari ini perlu meneladani semangat itu: turun ke pelosok, dengarkan suara rakyat, dan alokasikan anggaran sesuai kebutuhan mayoritas, bukan kemewahan minoritas.

Pesan dari Anak Desa

Jika Islam menjunjung keadilan sebagai asas utama dalam kekuasaan, maka sudah semestinya anggaran pendidikan dikelola dengan mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan. Ketika 13 ribu anak mendapatkan perlakuan istimewa dengan alokasi miliaran rupiah, dan 62 juta lainnya dibiarkan berjuang sendiri, maka itu bukan hanya ketimpangan kebijakan—tetapi pengingkaran terhadap amanat keadilan.

"Ya Allah, sampaikan salam kami dari pelosok negeri — dari anak-anak yang belajar di ruang tanpa papan tulis, tanpa atap, tanpa akses, malah bertarung nyawa sehari-hari — kepada para penguasa yang mengelola anggaran pendidikan bahwa kami pun ingin pintar, kami pun anak bangsa, kami punya hak yang sama.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement