Rabu 25 Jun 2025 11:57 WIB

Quwwatul Maal, Kekuatan Ekonomi dalam Narasi Peradaban Islam

Narasi tentang kekuatan harta dalam Islam kerap direduksi dalam dua kutub ekstrem.

Suasana zaman keemasan peradaban Islam.
Foto: google.com
Suasana zaman keemasan peradaban Islam.

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dinamika global yang bergerak cepat, kekuatan suatu bangsa dan umat tidak lagi semata ditentukan oleh jumlah penduduk atau kekuatan militer, tetapi oleh kemampuan mereka mengelola sumber daya ekonomi secara strategis, adil, dan berkelanjutan. Dunia Muslim hari ini menghadapi ironi besar, kaya akan sumber daya, namun banyak umatnya masih terjebak dalam ketergantungan ekonomi dan kemiskinan struktural. Padahal, Islam—dengan seluruh sistem nilai dan panduan kehidupannya—telah meletakkan fondasi ekonomi yang kokoh jauh sebelum istilah "ekonomi pembangunan" dikenalkan.

Salah satu konsep paling mendasar namun sering dilupakan adalah Quwwatul Maal—kekuatan harta. Konsep ini bukan sekadar terminologi klasik dalam fikih jihad, tetapi mencerminkan pandangan Islam yang utuh tentang peran strategis kekayaan dalam membangun peradaban.

Dalam Surah Al-Anfal ayat 60, Allah memerintahkan: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka segala kekuatan yang kalian sanggupi…”. Ayat ini sering dikutip dalam konteks militer, padahal tafsirnya lebih luas. “Quwwah” di sini juga mencakup kekuatan finansial, logistik, intelektual, dan teknologi. Karena setiap perjuangan yang besar—termasuk dakwah, pendidikan, kesehatan, dan pembelaan terhadap kaum tertindas—membutuhkan modal ekonomi yang kuat. Tanpa Quwwatul Maal, niat baik sering terhenti menjadi seruan moral tanpa eksekusi nyata.

Sayangnya, narasi tentang kekuatan harta dalam Islam kerap direduksi dalam dua kutub ekstrem. Di satu sisi, sebagian umat terjebak pada glorifikasi kemiskinan yang keliru—menganggap miskin sebagai tanda ketaatan dan zuhud sebagai kewajiban yang menafikan kepemilikan. Di sisi lain, ada kelompok yang memburu harta tanpa etika, menjadikan dunia sebagai tujuan, bukan sarana. Keduanya sama-sama menjauh dari semangat Islam yang menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.

Padahal, sejarah Islam memberikan teladan ekonomi yang sangat progresif. Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela kekayaan, bahkan mendorong para sahabat untuk menjadi pelaku ekonomi yang mandiri dan produktif. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan. Utsman bin Affan membiayai ekspedisi perang dengan kekayaan pribadi. Abdul Rahman bin Auf tetap menjadi pengusaha sukses tanpa melepaskan tanggung jawab sosialnya. Mereka kaya bukan karena ingin pamer, tapi karena paham bahwa kekuatan ekonomi adalah bagian dari ibadah sosial yang strategis.

Dalam konteks kekinian, Quwwatul Maal dapat dimaknai sebagai kemampuan kolektif umat Islam untuk menguasai, mengelola, dan mengarahkan kekuatan ekonomi untuk kemaslahatan umat dan kemajuan peradaban. Artinya, kita bukan hanya bicara tentang zakat dan sedekah, tetapi juga tentang produksi, distribusi, inovasi keuangan syariah, wakaf produktif, digitalisasi ekonomi umat, penguasaan teknologi dan inovasi dan kedaulatan fiskal negara-negara Muslim.

Data menunjukkan bahwa umat Islam saat ini menguasai sekitar 25 persen populasi dunia, namun kontribusinya terhadap ekonomi global masih tertinggal. Sebagian besar negara dengan mayoritas Muslim masih bergantung pada sektor primer dan ekspor bahan mentah. Ketika terjadi krisis pangan atau geopolitik, kita masih melihat antrean panjang bantuan dari negara-negara non-Muslim yang secara ironis justru mendapatkan keuntungan dari pasar Muslim itu sendiri.

Inilah mengapa kita membutuhkan renaisans pemikiran ekonomi Islam yang tidak berhenti pada regulasi perbankan syariah, tetapi masuk lebih dalam ke arah reformasi struktural dan penguatan institusi ekonomi umat. Quwwatul Maal harus diterjemahkan menjadi program-program nyata, inkubasi bisnis syariah, jaringan koperasi modern berbasis masjid, dana sosial Islam yang terintegrasi digital, korporasi konglomerat muslim dan pendidikan ekonomi yang menginternalisasi nilai-nilai amanah, produktivitas, dan distribusi yang adil.

Salah satu tantangan utama kita hari ini adalah fragmentasi kekuatan ekonomi umat. Banyak inisiatif sosial dan ekonomi berjalan sendiri-sendiri, tanpa skala dan keberlanjutan. Padahal, sejarah mencatat bahwa Islam berkembang pesat bukan hanya karena kekuatan militer, tapi juga karena jaringan niaga yang luas dan kemampuan mengelola kekayaan untuk kemaslahatan. Para pedagang Muslim di Nusantara, Gujarat, hingga Afrika Utara tidak datang membawa senjata, melainkan kepercayaan dan integritas ekonomi. Itulah wajah Islam yang berkemajuan.

Untuk itu, kita memerlukan narasi baru tentang kekayaan—yang tidak didominasi oleh logika konsumerisme, tapi juga tidak jatuh pada glorifikasi kemiskinan. Zuhud tidak berarti menolak harta, tetapi tidak diperbudak oleh harta. Seorang Muslim idealnya kuat dalam iman, cerdas dalam ilmu, dan tangguh dalam ekonomi. Karena tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan dakwah, pendidikan, dan advokasi hanya menjadi gema di ruang hampa.

Islam telah membekali kita dengan perangkat lengkap, dari etika usaha (muamalah), model distribusi (zakat, infaq, sedekah, wakaf), sistem keuangan (musyarakah, mudharabah, murabahah, qard), hingga filosofi kekayaan itu sendiri. Namun, semua itu akan menjadi teori jika umat tidak membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya Quwwatul Maal sebagai bagian dari strategi kebangkitan.

Sebagai pengamat ekonomi syariah dan pendidik, saya menyaksikan langsung potensi luar biasa yang dimiliki umat ini—terutama generasi muda Muslim—yang mulai menapaki dunia bisnis digital, teknologi dan inovasi keuangan syariah, hingga kreativitas gerakan ekonomi sosial. Namun, potensi ini membutuhkan arah, jejaring, dan narasi besar. Narasi bahwa kekayaan dalam Islam bukan untuk ditumpuk, tetapi untuk digunakan. Bukan untuk pribadi, tapi untuk umat. Bukan untuk pamer, tapi untuk pengaruh. Bukan untuk sekadar hidup mewah, tapi untuk menghidupkan nilai-nilai luhur Islam di tengah dunia yang kering akan keadilan.

Quwwatul Maal bukan hanya soal uang, tetapi juga soal keberanian, akhlak, dan visi. Dan di zaman ketika umat Islam sering kali menjadi korban sistem global yang tidak adil, saatnya kita berhenti meminta dan mulai membangun. Kita tidak sedang kekurangan sumber daya, tetapi sering kekurangan kesadaran. Maka, kebangkitan umat tidak cukup hanya dengan retorika atau doa, melainkan juga dengan kerja ekonomi yang terencana, terorganisir, dan terarah.

Akhirnya, mari kita renungkan, apakah kita ingin terus menjadi pasar tanpa produsen, konsumen tanpa inovator, penerima tanpa pemberi? Ataukah kita siap menjadi umat yang memiliki kekuatan ekonomi yang bersujud kepada Allah, dan memberdayakan sesama sebagai bentuk penghambaan yang sejati? Inilah saatnya, menjadikan Quwwatul Maal sebagai pilar utama dari renaisans peradaban Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement