
Oleh : Ahmad Dumyathi Bashori*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prosesi puncak haji 1446 H ini telah selesai dengan ‘sukses’ dan kini sebagian jamaah gelombang pertama sudah kembali ke tanah air dan jamaah gelombang dua masih di tanah suci. Dari perjalanan haji tahun ini, perlu dicatat bahwa ratusan calon jamaah Warga Negara Indonesia yang ‘gagal’ berhaji walau sudah mengantongi visa masuk Saudi Arabia walau secara non-formal atau illegal.
Salah satu dari mereka adalah seorang dosen al-marhum, Syukron Mahbub (SM) yang ditemukan wafat pada 27 Mei 2025 lalu di gurun pasir wilayah Jumum dekat pintu masuk Makkah. Kewafatan SM merupakan peristiwa tragis dan memilukan. Ia ditemukan meninggal dunia oleh pesawat drone aparat keamanan Kerajaan Saudi Arabia (KSA) akibat dehidrasi. Dua orang teman yang menemaninya, berhasil diselamatkan apparat keamanan KSA walau alami dehidrasi yang sama dan telah ke rumah sakit Makkah guna mendapatkan pertolongan.
SM dan dua rekannya di atas, adalah bagian dari ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah mengorbankan jiwa-raga dan harta benda untuk menunaikan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Menurut berita, pada tanggal 14-15 Mei 2025, aparat Saudi Arabia pada menahan 117 orang Indonesia di bandara internasional Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz di Madinah dengan tuduhan akan berhaji dengan menggunakan visa kerja dan semuanya telah dideportasi ke Indonesia. Ini hanya sebagian data, mungkin sesungguhnya jumlah mereka yang alami nasib serupa lebih besar lagi.
Akar masalah
Ratusan warga negara Indonesia yang gagal haji tersebut bukan pergi dengan gratis, tetapi mereka membeli visa yang tidak murah sekitar $2000-$2500,-. Biaya ini ditambah dengan akomodasi, transportasi udara dan darat, catering, dan paket pelayanan Arafah, Muzdalifah dan Mina serta biaya-biaya lainnya termasuk koordinasi dengan oknum di bandara. Kerugian yang mereka derita tidak saja material tetapi immaterial yang bisa jadi lebih besar. Pertanyaannya, kenapa hal yang merugikan rakyat demikian berat terus terjadi setiap tahun tanpa ada yang peduli mencarikan solusi?
Diakui bahwa kuota haji resmi pemerintah Indonesia tahun 2025 ini adalah 221.000 jamaah, tidak dapat memenuhi seluruh minat rakyat Indonesia untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima ini. Menurut data Kemenag bahwa total pendaftar calon haji di Indonesia sekarang sudah mencapai 5,4 juta calon dengan antrian tercepat 16 tahun (Sulawesi Utara) dan terlama adalah 38 tahun (Kalimantan Selatan). Oleh karena antrian yang demikian lama, maka hukum ekonomi pasar demand and supply berlaku di mana tawaran menunaikan haji cepat tanpa antri ramai dipasarkan. Hampir semua bentuk visa tersedia, dari visa mujamalah (courtesy visa), visa ziarah (visit), visa ‘amil (working visa), furada visa (individual visa), dan lain-lain ramai dijajakan di pasar via oknum travel.
Jauh sebelum musim haji tiba, para oknum vendor perusahaan di Saudi menawarkan kepada para oknum travel dengan skema B-to-C atau B-to-B-to-C dengan iming-iming bisa masuk Makkah menunaikan ibadah haji walau tanpa tashrih (permit). Semua transaksi berjalan nyaris tanpa ketentuan dan jaminan yang mengikat kedua belah pihak.
Tanggung Jawab Saudi Arabia
Dengan semangat visi 2030, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) terus berbenah dan merevolusi banyak hal termasuk aspek pelayanan Haji dan Umrah. Dari program Road-to-Makkah di mana jamaah haji luar negeri diperlakukan seperti kedatangan dalam negeri. Para penjaga counter kedatangan di setiap Bandara Internasional yang dulu didominasi kaum Pria, sekarang didominasi kaum Perempuan. Dulu applikasi visa dilakukan secara manual sekarang dilakukan secara online, lebih cepat dan transparan.
Saudi Arabia, memaksimalkan penyelenggaraan haji berlangsung aman dan nyaman. Oleh karenanya, sejak lama KSA mensosialisasi haji harus dengan izin resmi. Ketetapan tidak ada haji tanpa izin atau ‘la Hajj bila Tashrih’ dapat ditemukan di banyak tempat, apalagi sebelum memasuki gerbang check-point antara Jeddah dan Makkah. Larangan tersebut dapat juga ditemukan di laman facebook Kantor Imigrasi Saudi (al-Jawazat al-Suudiyyah) menegaskan bahwa visa ziarah dengan seluruh penyebutannya tidak dapat dirubah untuk melaksanakan ibadah haji.
Tidak hanya itu saja, negara Kerajaan dengan cadangan minyak fosil terbesar di dunia ini pada tanggal 30 Syawwal 1446 H/ 28 April 2025 lalu telah menetapkan denda besar kepada pelaku pelanggaran seperti termaktub pada laman Kementerian Dalam Negeri Saudi Arabia menyebutkan dua besaran denda sebagai berikut : Pertama, SAR.20.000 bagi pemegang visa ziarah yang tertangkap melaksanakan atau mencoba melaksanakan haji tanpa izin, atau memasuki atau mencoba memasuki atau tetap berada di kota Makkah mulai 1 Zulqa’dah hingga 14 Zulhijjah 1446 H. Kedua, denda SAR. 100.000 ($26,600) kepada orang Saudi atau siapapun yang mengajukan visa ziarah dengan berusaha melakukan haji, mencoba atau berada di Makkah antara tanggal di atas dan dikali jumlah orang yang dibantu lakukan haji.
Sanksi ini tidak saja diberikan kepada calon jamaah haji ilegal, tetapi juga mereka yang melindungi/menampung di rumah/hotel/apartemen dan sebagainya dengan dikalikan jumlah calon jamaah pelanggar yang dilindungi, disembunyikan atau dibantu. Ketiga, mendeportasi calon jamaah haji ke negara asal dan mencegah mereka masuk ke Saudi selama 10 tahun. Dan Keempat, meminta pengadilan menetapkan dan menyita semua saran angkutan darat yang berukti digunakan mengangkut calon jamaah memasuki kota Makkah/tempat-tempat suci lainnya di antara 1 Dzulqa’dah-14 Zulhijjah (www.moi.gov.sa).
Tanggung Jawab Pemerintah Indonesia
Kalau memang demikian tindakan tegas yang diberlakukan Saudi Arabia baik penangkapan di bandara dan deportasi, tetap saja hal demikian bersifat remedial sama seperti kebijakan pemerintah Indonesia. Tindakan dijalankan setelah ratusan orang jamaah yang dianggap ilegal menguras ratusan juta Rupiah untuk visa, tiket pesawat, booking akomodasi, transportasi darat dan seluruh pelayanan lain yang biasanya sudah dilakukan sebelum visa diterbitkan. Kebijakan tersebut ditengarai kurang bijak dan fair, kata orang bagai ‘jebakan batman’. Kenapa kebijakan dua negara ini tidak bersifat preventif dan mencegah kejadian di hulu dan tidak di hilirnya, setelah masyarakat membayar seluruh biaya yang dikenakan.
Sekali lagi, berapa kerugiaan secara materil dan ekonomis yang diderita ratusan orang jamaah yang akhirnya tertahan di bandara Indonesia atau di bandara Saudi Arabia, dan bahkan calon jamaah haji dengan visa furada yang tersistem di syarikah-syarikah pun tahun ini tidak kunjung terbit. Visa jenis ini sangat mahal dengan paket Masyair (Arafah, Muzdalifah dan Mina) ditaksir berkisar $13.000-14.500,-. dan bisa saja ada angka transaksinya lebih besar lagi.
Semua bisa memahami, tugas Saudi Arabia selaku host perhelatan religi akbar di dunia ini bukan mudah tetapi maha sulit luar biasa. Melayani masyarakat Muslim dunia dengan beragam budaya, Bahasa, tingkah laku, dan lain sebagainya. Sangat komplek sekali, dan itu dimaklumi. Dalam konteks ini, Saudi sekali lagi selalu maksimal melayani dan mereformasi layananannya dari waktu ke waktu kepada para tamu Allah (dhuyufurrahman. Oleh karenanya slogan membanggakan Saudi Arabia adalah ‘Khidmatul al-Hujjaj, Syarafun lana” (Pelayanan kepada jamaah haji adalah kemuliaan kami).
Menurut penulis, pemerintah atau Badan Penyelenggaraan Haji (BPH) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi 8 dalam konteks haji illegal ini harus bergerak mencari tahu di mana akar masalahnya? Bila dipandang masalahnya pada aspek supply, seyogyanya pemerintah mengagendakan hal ini urgen dalam pertemuan bilateral Indonesia-Saudi Arabia agar ‘proyek tahunan’ penjualan beragam visa apapun itu tidak diizinkan. Bila visa tertentu diizinkan misalnya visa furada, harus ada garansi visa pasti terbit setelah proses by system dilakukan. Demikian juga dengan visa mujamalah yang biasa diterbitkan atas kewenangan instansi pemerintah Saudi untuk mitra-mitra mereka di Indonesia guna memperkuat diplomasi kedua negara seperti military diplomacy/police diplomacy adalah sebuah kelaziman, namun sayang tidak sedikit dari volume yang ada ‘rembes’ juga di pasar pemburu visa haji non-kuota dengan harga fantastis sekitar $7.500 dengan skema B-to-C. Hal ini juga perlu menjadi objek pembahasan sehingga jual-beli visa ‘ilega’ dapat dikontrol, mengingat demand-nya yang sangat tinggi.
Sanksi tegas dan law-enforcement yang demikian ketat oleh Saudi tahun ini terbukti efektif memaksa siapapun di Saudi akhirnya ‘menelantarkan’ calon jamaah haji illegal di kota Jeddah seperti kita saksikan di banyak media social belakangan ini, bahkan sebagian besar operator haji illegal di Saudi berhasil ditangkap. Saudi tahun ini serius tangani masalah haji illegal.
Ketegasan penegakan hukum Saudi, harus diikuti Indonesia agar juga menjatuhkan sanksi berat kepada siapapun yang terlibat dalam jual-beli beragam visa tanpa jaminan yang kemudian hanya merugikan calon jamaah haji Indonesia. Derita dan nestapa calon jamaah haji Indonesia bagai mengamini untaian bait lagu Bang Haji Rhoma Irama “Banyak Jalan Menuju Roma (Makkah)”, seharusnya segera diakhiri. No More Tears (Enough is enough). Wallahu a’lam bisshawab!