Ahad 15 Jun 2025 18:25 WIB

Raja Ampat, Surga Dunia, dan Komitmen Penegakkan Hukum

Aktivitas tambang di Raja Ampat merusak lingkungan.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Papua Maluku Utara melakukan aksi solidaritas menolak penambangan nikel di Ternate, Maluku Utara, Kamis (12/6/2025). Aksi tersebut untuk mendesak pemerintah pusat mencabut semua izin tambang nikel di Raja Ampat.
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Papua Maluku Utara melakukan aksi solidaritas menolak penambangan nikel di Ternate, Maluku Utara, Kamis (12/6/2025). Aksi tersebut untuk mendesak pemerintah pusat mencabut semua izin tambang nikel di Raja Ampat.

Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Belakangan perhatian bangsa tertuju pada kerusakan lingkungan di Raja Ampat yang ramai di media massa terutama di media sosial terkait dengan unggahan Greenpeace terkait kekhawatiran kerusakan lingkungan.

Polemik tersebut sangat mengagetkan masyarakat dimana Raja Ampat merupakan kawasan wisata utama internasional (Global Geopark) dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional Konservasi (KSKK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat.

Baca Juga

Seperti diketahui bahwa terdapat gerakan atau diskursus mengenai upaya pelestarian kawasan pariwisata Raja Ampat, Papua Barat Daya yang merupakan rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies endemik melalui gerakan seperti #save raja ampat.

Polemik terjadi ketika banyak aktivis lingkungan dan konservasi seperti salah satunya Greenpeace menyatakan kekhawatirannya yakni bahwa terhadap eksplorasi dan pertambangan nikel di kawasan tersebut yang kemudian merusak kecantikan kawasan wisata di Raja Ampat yang sangat terkenal dan diakui dunia.

Pemerintah selanjutnya memberi penjelasan kontra-naratif bahwa kegiatan pertambangan yang ada sebenarnya bukan berada di daerah wisata atau konservasi seperti Pianemo yang menjadi ikon wisata Raja Ampat atau berada jauh dari lokasi pertambangan.

Namun kemudian Pemerintah (melalui beberapa Kementerian, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup) juga mempertimbangkan polemik ini, sebelum akhirnya Presiden Prabowo mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari empat dari lima perusahaan yang memiliki IUP di kawasan tersebut.

Langkah cepat pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebenarnya merupakan sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi semata.

Di tengah meningkatnya kesadaran publik terhadap pelestarian lingkungan dan ekologi, keputusan ini menjadi bukti bahwa Pemerintah bersedia meninjau ulang kebijakan yang berpotensi merusak keanekaragaman hayati.

Namun demikian, langkah korektif ini menyimpan sejumlah persoalan serius terkait tata kelola perizinan, kejelasan langkah hukum, hingga kepastian berinvestasi.

Jika tidak dibenahi secara sistemik, keputusan pencabutan izin bisa menciptakan preseden yang kontra-produktif bagi pembangunan jangka panjang dan menurunkan kepercayaan terhadap institusi negara.

Publik juga bertanya-tanya apa yang kemudian menjadi ketegasan sikap negara terhadap permasalahan ini.

Raja Ampat: Surga Ekologi Dunia

Seperti telah banyak digali di berbagai sumber, Raja Ampat merupakan kawasan strategis nasional yang memiliki posisi ekologis dan geopolitik penting. Kawasan ini berada di jantung segitiga terumbu karang dunia, dengan keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di muka bumi

Tercatat lebih dari 1.600 spesies ikan karang, 540 jenis karang keras, dan ratusan spesies moluska dan biota laut lainnya hidup di kawasan ini. Tidak heran jika Raja Ampat dianggap sebagai laboratorium alam dunia yang harus dijaga bersama.

BACA JUGA: Iran Seakan Berperang Sendirian Hajar Israel, Ingat Nubuat Rasulullah SAW Ini Terbukti Kini 

Penting pula dicatat, wilayah ini bukan hanya rumah bagi kekayaan ekosistem laut, tetapi juga habitat penting bagi satwa endemik darat seperti cendrawasih, kuskus, dan berbagai jenis mamalia langka.

Dengan demikian, ketika aktivitas tambang mulai merambah wilayah ini, kekhawatiran publik pun mengemuka. Tidak hanya karena dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga potensi rusaknya sumber mata pencaharian masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada pariwisata berkelanjutan dan perikanan tradisional.

photo
Warga memberi makan Ikan di tepi pantai wisata Pulau Wayag di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Jumat (13/6/2025). Masyarakat adat yang terdiri dari 4 marga yaitu marga Arampele, Ayelo, Daat dan Ayei menutup tujuan wisata Pulau Wayag akibat imbas pencabutan ijin usaha tambang perusahaan PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) oleh pemerintah yang dianggap merusak lingkungan termasuk tempat wisata Wayag. - (ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement