
Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era digital telah mengubah wajah dunia dengan sangat cepat. Di tengah penetrasi teknologi yang meluas ke seluruh aspek kehidupan, terjadi satu fenomena menarik yang patut dicermati secara lebih dalam, khususnya dalam konteks masyarakat Muslim, tumbuhnya kesadaran spiritual yang justru menyatu dengan teknologi. Inilah yang kemudian melahirkan fenomena gaya hidup baru yang disebut sebagai halal digital lifestyle—sebuah kecenderungan masyarakat, terutama generasi muda Muslim, untuk menautkan nilai-nilai syariah dalam aktivitas digital mereka, mulai dari belanja daring, transaksi keuangan, konsumsi media, hingga perjalanan wisata.
Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dalam perkembangan ini. Dengan populasi Muslim besar di dunia, ditambah kemajuan infrastruktur digital yang relatif pesat, Indonesia tidak hanya menjadi pasar utama produk dan layanan halal, tetapi juga punya peluang besar untuk menjadi pusat inovasi dan kepemimpinan global dalam industri halal digital. Data dari State of the Global Islamic Economy Report (SGIE) 2024/2025 menunjukkan bahwa Indonesia kini berada di posisi kedua dunia dalam indeks ekonomi Islam global, setelah sebelumnya bertahan di posisi ketiga selama tiga tahun berturut-turut. Secara lebih spesifik, Indonesia berada di peringkat dua dunia untuk sektor makanan halal dan modest fashion, serta berada di lima besar untuk sektor farmasi, kosmetik, media, dan keuangan syariah.
Keunggulan ini bukan semata klaim, tetapi didukung oleh data konkret. Terdapat lebih dari 123.000 industri makanan halal di Indonesia dengan lebih dari 140.000 produk bersertifikat halal aktif. Pada sektor minuman, hampir 10.000 industri telah masuk dalam sistem sertifikasi halal nasional. Secara nilai, ekspor dan impor makanan-minuman halal Indonesia mencapai USD 40,5 miliar dan USD 22,5 miliar. Artinya, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD 18 miliar, dengan posisi sebagai eksportir halal ke-5 dunia dalam sektor makanan ke negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Sementara itu, sektor modest fashion juga menunjukkan peran ganda Indonesia sebagai eksportir ke-9 dunia sekaligus importir ke-9, yang menunjukkan potensi besar namun juga tantangan dalam daya saing produk domestik di pasar global.
Namun, potensi itu tak serta merta menjadikan Indonesia dominan. Di sektor kosmetik halal, Indonesia justru masih menjadi importir keempat terbesar di dunia, dan importir keempat pula dalam farmasi halal. Meskipun beberapa perusahaan lokal seperti Paragon, Wardah, Biofarma, Kalbe, dan Soho telah masuk jajaran top 30 produsen halal global, pangsa pasar domestik masih belum mampu mengimbangi derasnya produk luar yang masuk. Inilah tantangan yang harus segera dijawab, bagaimana menjadikan industri halal Indonesia tidak hanya tumbuh dari sisi konsumsi, tetapi juga dari sisi produksi, inovasi, dan ekspor.
Pemerintah Indonesia telah menempuh langkah yang patut diapresiasi dalam mempercepat sertifikasi halal melalui program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis untuk UMK). Sampai 30 September 2024, terdapat 1,98 juta produk bersertifikat halal, dengan 60 persen diantaranya melalui skema self-declare. Di sisi lain, jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) juga terus bertambah dari hanya 3 lembaga pada 2021 menjadi 77 lembaga di 2024. Namun, proses sertifikasi halal tidak boleh berhenti pada kuantitas. Tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga integritas sertifikasi tersebut, memperluasnya ke sektor logistik (pengemasan dan penyimpanan), serta mengadopsi teknologi seperti blockchain dan AI untuk menjamin transparansi dan keterlacakan halal secara digital.
Konvergensi antara teknologi dan syariah menjadi faktor kunci dalam memperkuat ekosistem halal digital. Inovasi seperti smart contract syariah, robo-advisor investasi halal, serta platform traceability berbasis blockchain sudah mulai diadopsi oleh startup di Indonesia dan negara-negara OKI lainnya. Beberapa platform digital lokal yang berbasis pada nilai-nilai Islam harus mulai menembus pasar global. Namun, jika dibandingkan dengan ekosistem digital konvensional, UX (user experience), literasi akad digital, serta keterhubungan dengan fatwa dan lembaga keuangan syariah masih jauh dari optimal.
Tidak kalah pentingnya adalah sektor pariwisata halal. Indonesia berhasil mempertahankan posisi sebagai destinasi Muslim-friendly terbaik di dunia selama dua tahun berturut-turut (2023 dan 2024) versi Global Muslim Travel Index. Provinsi seperti Lombok, Aceh, dan Sumatera Barat konsisten menjadi pilihan utama wisatawan Muslim dunia. Kunjungan wisatawan dari negara OKI meningkat dari 1,3 juta orang (2021) menjadi lebih dari 2,2 juta orang (2023). Tetapi tantangan berikutnya adalah bagaimana mengintegrasikan layanan wisata ini ke dalam ekosistem digital halal, mulai dari pembayaran syariah, review halal destinasi, hingga itinerary Islami yang bisa diakses dari aplikasi ponsel.
Sementara itu, data dari Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) memperkirakan potensi pasar industri halal Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai USD 204 miliar untuk sektor makanan dan minuman halal, USD 23,28 miliar untuk modest fashion, USD 8,03 miliar untuk pariwisata ramah Muslim, USD 6,81 miliar untuk farmasi, dan USD 7,59 miliar untuk kosmetik. Pertumbuhan tertinggi secara tahunan bahkan tercatat di sektor pariwisata ramah Muslim, yaitu sebesar 18,96 persen per tahun, disusul kosmetik dan makanan-minuman.
Namun, angka tersebut hanyalah potensi—ia tidak akan berarti bila tidak ditopang oleh kebijakan yang progresif, infrastruktur yang mendukung, serta keterlibatan generasi muda Muslim sebagai pelaku perubahan. Gen-Z dan milenial Muslim Indonesia adalah segmen yang sangat digital-native sekaligus spiritual-aware. Mereka tidak hanya memiliki preferensi untuk konsumsi produk halal, tetapi juga peluang besar untuk menjadi inovator dalam ekosistem halal digital. Peran mereka penting untuk membangun startup berbasis syariah, menyebarkan literasi digital syariah, hingga memimpin transformasi teknologi keuangan Islami di masa depan.
Halal digital lifestyle bukan semata simbol atau tren konsumsi. Ia adalah fondasi bagi peradaban Islam yang baru, sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang mengedepankan kehalalan, keberlanjutan, transparansi, dan etika. Indonesia tidak boleh sekadar puas menjadi pasar, tetapi harus bertransformasi menjadi produsen, inovator, dan penggerak utama. Kepemimpinan Indonesia dalam ekonomi syariah digital global hanya bisa dicapai bila ada sinergi utuh antara regulator, pelaku industri, ulama, dan generasi muda. Teknologi harus digunakan bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai infrastruktur nilai.
Kini, semua elemen sudah tersedia, pasar, regulasi, pelaku usaha, dan sumber daya manusia. Tantangannya adalah memastikan semua unsur tersebut bekerja dalam satu arah. Jika momentum ini dapat dijaga dan diarahkan dengan benar, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat gravitasi baru dalam peta ekonomi syariah global—sebuah poros halal digital dunia yang dibangun oleh nilai, inovasi, dan kolaborasi.