
Oleh : Ardian Perdana Putra*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai investor retail yang telah cukup lama menaruh harapan pada transformasi GOTO sebagai simbol kedaulatan digital nasional, saya menyambut wacana akuisisi GOTO oleh Grab dengan perasaan yang kompleks dan campur aduk. Di satu sisi, sinyal akuisisi ini membuka harapan bagi kenaikan harga saham GOTO yang tentu menggembirakan bagi para rekan pengoleksi saham kecil yang telah cukup lama “nyangkut”. Namun di sisi lain, muncul kecemasan bagi saya pribadi: Apakah aksi korporasi ini akan menjadi pertanda hilangnya satu lagi aset strategis bangsa ke tangan perusahaan asing dan bahkan mungkin kemunduran bagi ekosistem ekonomi digital nasional kita? Apakah kita sedang menyaksikan satu babak baru dari hilangnya kedaulatan digital Indonesia?
Asa Digital Anak Bangsa
Bagi saya, GOTO punya arti penting lebih dari sekedar komoditas yang akan saya lepas ketika harga tinggi dan saya beli kembali ketika harganya anjlok. GOTO adalah simbol dari mimpi kolektif kita untuk memiliki ekosistem digital yang dibangun oleh dan untuk anak bangsa. GOTO merupakan hasil persatuan duo raksasa ekonomi digital lokal, Gojek dan Tokopedia yang menghasilkan ‘paket komplit’ ekosistem bisnis yang memadukan layanan transportasi, lokapasar/e-commerce dan dompet digital sebagai kesatuan yang apik. Lokapasar menawarkan jaminan arus permintaan bagi jasa kurir yang pada akhirnya mendatangkan arus kas ke layanan dompet digital.
Cukup beralasan jika kemudian saya melihat paduan apik ini akan menjadi kunci menuju bisnis yang berkelanjutan di masa depan. Kombinasi ketiganya menjadi keuntungan kompetitif yang tidak dimiliki raksasa digital lainnya seperti BUKA yang melantai lebih dulu, atau BELI yang mengikutinya kemudian, bahkan bagi Grab sendiri di pasar Indonesia. Tak mengherankan jika opsi akuisisi menjadi pilihan rasional alih-alih berkompetisi dengan pesaing yang tidak dapat dilangkahi.
Karena itulah, sejak penawaran perdananya di IDX saya percaya akan prospek jangka panjang perkembangan mereka sebagai salah satu pemain kunci dalam ekosistem ekonomi digital nasional. Bahkan saat euforia pasar setelah penawaran perdana usai dan harganya terus merosot, saya tetap setia mengoleksi saham mereka, menggerus perlahan kerugian di portfolio pribadi dari harga rata-rata Rp 349/lembar di awal hingga akhirnya turun di kisaran Rp 60-75/lembar.
Itu bukanlah hal mudah bagi saya pribadi, mengingat investasi saya di saham bukan sepenuhnya menggunakan ‘uang dingin’, jadi selalu ada harap-harap cemas jika sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak yang membuat terpaksa harus melepas saham. Tapi, saham GOTO selalu menjadi opsi terakhir untuk saya lepas setelah saham-saham lainnya.
Pola Kemitraan yang Berbeda
Sebagai pengguna kedua aplikasi, saya cukup sering berbincang dengan para mitra driver Gojek dan Grab. Percakapan-percakapan itu menghadirkan narasi yang kontras. Para driver Gojek, umumnya, menunjukkan kebanggaan menjadi bagian dari sistem. Mereka merasa didengar, dihargai, bahkan terwakili. Sebaliknya, para driver Grab cenderung menyampaikan keluh kesah: tentang sistem sanksi sepihak, ketidakadilan dalam penyelesaian konflik dengan penumpang, dan absennya ruang untuk menyuarakan keberatan. Cerita-cerita ini bukan asumsi belaka. Hasil penelusuran terhadap ketentuan mitra kedua platform memang menunjukkan perbedaan mendasar: Gojek membuka ruang banding dan partisipasi, sementara Grab lebih menekankan kontrol satu arah.
Kunci dari perbedaan kontras ini berasal dari perbedaan asal muasal pendirian kedua perusahaan. Gojek lahir dari semangat awal menghubungkan para pengemudi ojek tradisional dengan konsumen secara lebih mudah, sehingga para pengemudi dapat mengurangi waktu untuk menunggu penumpang. Sebaliknya, Grab yang di awal pendiriannya di Malaysia bernama MyTeksi dibuat untuk menciptakan pengalaman yang lebih nyaman bagi penumpang dalam mencari layanan taksi.
Asal muasal ini membentuk perbedaan besar antar kedua perusahaan, dimana Gojek sejak awal melihat mitra pengemudi sebagai subyek yang perlu diberdayakan, sedang Grab fokus pada orientasi pelayanan penumpang dengan melihat pengemudi sebagai faktor pendukung di dalamnya. Hal ini berakibat pada pola pengembangan sistem kemitraan yang berbeda. Jika Gojek mengedepankan sistem yang lebih akomodatif dan memberi ruang komunikasi bagi pengemudi, Grab justru lebih membentengi sistem kemitraan mereka dengan aturan ketat dan minim ruang komunikasi dengan pengemudi.
Tentu menjadi pertanyaan, jika akuisisi ini benar terjadi manakah sistem yang akan bertahan? Dengan posisi Grab sebagai pihak yang mengakuisisi, maka ada kekhawatiran besar bahwa sistem kemitraan yang dibangun Gojek sebelumnya akan ikut digantikan oleh mekanisme yang kaku dan represif.
Disamping itu, muncul risiko akan terjadinya efisiensi dan perampingan sepihak terhadap mitra pengendara. Meski merger berpotensi meningkatkan jumlah permintaan layanan, tetapi juga membuka celah bagi efisiensi operasional dengan mengurangi jumlah mitra aktif. Ini bisa berdampak pada pengurangan pendapatan dan peluang kerja, terutama di wilayah dengan kepadatan mitra tinggi.
Berkurangnya pilihan platform yang tersedia di pasar pada akhirnya juga membuat posisi tawar mitra pengemudi dalam negosiasi insentif, tarif, dan sanksi akan semakin lemah.
Aset Nasional yang Perlu Dipertahankan
Hal ini tentu tidak hanya berdampak pada para driver, tetapi juga pada ekosistem ekonomi mikro yang selama ini didukung oleh platform-platform tersebut. Merger berpotensi mengurangi intensitas persaingan tarif, sehingga insentif dan promo untuk konsumen dapat berkurang drastis. Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada naiknya harga layanan. UMKM yang selama ini bergantung pada dua platform juga akan dipaksa melakukan adaptasi terhadap satu sistem dominan, termasuk potensi perubahan algoritma visibilitas, fee, dan syarat kolaborasi.
Lebih luas, dari kacamata persaingan usaha, aksi ini patut diwaspadai. Bayangkan jika dua pemain terbesar layanan transportasi daring dan pesan-antar makanan di Indonesia digabungkan. Kita sedang menghadapi potensi dominasi pasar yang nyaris total, dimana Grab menguasai lebih dari 85 persen pasar ride-hailing dan lebih dari 75 persen pasar layanan pesan-antar makanan di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, konsumen bisa kehilangan pilihan, UMKM kehilangan kanal distribusi alternatif, dan inovasi berisiko mandek karena tidak ada lagi kompetitor yang memacu kreativitas.
Di titik ini, saya merasa perlu mengangkat satu pertanyaan mendasar: untuk siapa transformasi digital ini ditujukan? Apakah kita rela melihat konsolidasi teknologi hanya sebagai jalan bagi akumulasi kapital oleh entitas asing? Grab, dengan segala pencapaiannya, tetaplah entitas luar yang melihat Indonesia sebagai pasar—bukan rumah. Seperti tercermin dalam pernyataan Chief Financial Officer (CFO) Grab, Peter Oey yang mengungkap bahwa Indonesia adalah negara yang penting bagi bisnis Grab.
“Kami juga terus meningkatkan margin bisnis di Indonesia, dan pasar ini sangat menguntungkan bagi kami,” ungkap Oey yang dikutip oleh CNBC Indonesia.
Sebaliknya, GOTO, dengan segala kekurangannya, lahir dari semangat lokal. Ia dibangun dari narasi tentang anak muda Indonesia yang ingin membuktikan bahwa kita bisa bersaing di level global tanpa kehilangan jati diri. Ketika entitas seperti ini terancam hilang, maka yang kita hadapi bukan sekadar aksi korporasi, melainkan kemunduran visi nasional kita dalam membangun kemandirian digital.
Dalam konteks ini, saya percaya bahwa negara tidak boleh hanya menjadi penonton. Jika benar GOTO adalah aset strategis nasional, maka sudah selayaknya negara turun tangan mempertahankannya. Mungkin, disini Danantara bisa mengambil peran dalam menjaga asa anak bangsa di pasar digital ini. Danantara —atau entitas BUMN lain— bisa mempertimbangkan opsi intervensi. Danantara, sebagai konsolidator kekuatan digital BUMN, dapat menjadi alternatif pembeli yang lebih selaras dengan visi nasional, sekaligus menjaga agar nilai-nilai lokal dan keberpihakan pada rakyat tetap terjaga.
Alih-alih melayang menjadi aset perusahaan asing, saya lebih suka jika GOTO pada akhirnya menjadi BUMN—atau anak usaha dari BUMN—agar kebanggaan anak bangsa di industri digital tidak hilang.
*) Praktisi industri kreatif digital, Ketua DPP Gekrafs (Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional) Bidang Program dan Strategi, pendiri JakStart (Jakarta Startup Community).