Senin 12 May 2025 08:14 WIB

Kesalahpahaman Haru Biru dan KDMP Syariah

Sistem apakah yang bisa untuk semua golongan, konvensional atau syariah?

 Warga mengisi formulir untuk menjadi anggota koperasi syariah. (ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga mengisi formulir untuk menjadi anggota koperasi syariah. (ilustrasi)

Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, Pakar Koperasi dan Keuangan Mikro Syariah, saat ini bekerja di KNEKS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada kesalahpahaman tentang koperasi desa merah putih (KDMP) syariah, seperti halnya banyak yang salah paham tentang haru biru.  Banyak orang menggunakan frasa haru biru untuk menyatakan keharuan yang mendalam, seperti kalimat berikut:

“Perpisahan kepala sekolah yang baik hati tersebut, dilepas dengan penuh haru biru oleh seluruh guru dan siswa.”

Kalimat tersebut ingin menggambarkan betapa harunya para siswa dan guru atas perpisahan dengan kepala sekolahnya, karena kepala sekolah tersebut merupakan orang yang baik. Namun benarkah arti dari haru biru adalah keharuan yang mendalam?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "haru biru" berarti kerusuhan, keributan, kekacauan, atau huru-hara. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan situasi yang tidak tenang, gaduh, dan penuh gejolak. Dengan demikian ternyata mengartikan haru biru sebagai keharuan yang mendalam adalah keliru besar.

Seperti halnya kesalahpahaman tentang makna haru biru, ada juga kesalahpahaman bahwa ekonomi syariah hanya untuk muslim saja. Ini nampak pada sebuah WAG yang penulis ikuti, ada kesalahpahaman sehingga berpendapat bahwa KDMP syariah hanya untuk muslim saja.

Sebenarnya kekeliruan besar itu tidak hanya terjadi saat ini, khususnya terkait KDMP syariah, namun jauh sebelum itu. Ketika akan mendirikan lembaga keuangan syariah (LKS) di suatu instansi atau program, atau konversi dari lembaga keuangan konvensional (LKK) ke LKS, sering muncul pertanyaan yang isinya kurang lebih, “Indonesia kan bukan negara agama, mengapa kok lembaga keuangannya berbasis agama?”

Atau ada juga pernyataan yang kurang lebih isinya seperti ini, “Di tempat kami agamanya beraneka ragam, tidak semuanya beragama Islam. Apakah bijak bila lembaga keuangannya adalah LKS bukan LKK?”

Untuk membahas ini, kita awali dengan kisah 30 anak SLTA yang mengadakan acara untuk mempererat persaudaraan di antara mereka ke suatu kota yang cukup terpencil.  Ketika akan tiba waktu untuk makan siang, mereka berunding, “Mau makan-makan di mana ya?” Alhamdulillah mereka telah mendapatkan fasilitas untuk makan gratis, namun hanya untuk satu restoran saja.

Ada tiga pilihan restoran di kota itu, yang lokasinya saling berjauhan. Yang paling dekat adalah restoran yang menyajikan sate sapi, hanya saja, ada satu siswa yang beragama Hindu, tidak bisa makan daging sapi karena diharamkan oleh agamanya.  Yang agak dekat berikutnya adalah kambing guling, namun ada tiga orang yang alergi terhadap daging kambing.  Pilihan ketiga, namun agak jauh adalah restoran ayam penyet. Karena merupakan kota yang terpencil hanya ada tiga pilihan saja. Manakah yang akan mereka pilih?

Sebenarnya, bisa saja dipilih dua restoran, yakni restoran dengan menu sapi dan ayam. Namun akan mengurangi kebersamaan, padahal acara tersebut diadakan untuk meningkatkan kebersamaan. Selain itu fasilitas restoran gratis yang mereka terima hanya untuk satu restoran.

Jika memilih berdasarkan suara mayoritas itu pun tidak bijak, karena yang satu orang tidak bisa makan daging sapi bukan karena masalah selera, namun karena faktor keyakinan. Mungkin jika masalahnya terletak pada selera, yang minoritas bisa diminta untuk mengalah.

Akhirnya, diputuskan untuk mengadakan acara kebersamaan di rumah makan yang menunya adalah ayam penyet walaupun jaraknya yang paling jauh karena di restoran tersebut menunya bisa dinikmati oleh semuanya. Tidak ada kalah atau mengalah dalam hal ini. Yang tidak pantang sapi dan tidak pantang kambing bukan pihak yang kalah karena mereka pun bisa makan daging ayam. Semua adalah pemenang!

Demikian juga dengan pemilihan sistem pada lembaga keuangan ketika memilih apakah LKS atau LKK. Faktor mayoritas dan minoritas bukan dan jangan menjadi dasar pertimbangan utama. Rasa kebersamaan dan persaudaraan harus lebih diutamakan. Pemilihan apakah sistem syariah atau konvensional pada suatu instansi atau pada LK milik suatu pemerintah daerah seharusnya bukan didasarkan pertimbangan mayoritas atau minoritas. Pemilihannya seharusnya adalah pada sistem keuangan yang cocok untuk semua golongan masyarakat.

Sistem apakah yang bisa untuk semua golongan, konvensional atau syariah? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan dibuatkan tabel sebagai berikut.

photo
Akad-akad atau jenis-jenis transaksi (1) jual beli (2) sewa menyewa atau jual beli manfaat seperti jasa tukang (3) kerjasama bagi hasil, adalah jenis-jenis transaksi yang tidak terlarang untuk semua agama. Sedangkan jenis transaksi berbasis bunga, terlarang bagi kaum muslimin meskipun diperbolehkan bagi penganut agama lain. Dengan demikian jenis transaksi nomor 1–3 bersifat inklusif (berlaku untuk semua), sedangkan yang nomor 4 bersifat eksklusif.

Nomor 1–3 adalah jenis-jenis transaksi di keuangan syariah, sedangkan nomor 4 adalah jenis transaksi keuangan konvensional. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keuangan syariah adalah sistem keuangan yang inklusif.

Uraian tersebut memang fokus pada LK, namun sebenarnya sama juga untuk seluruh aspek ekonomi secara umum, lembaga yang menggunakan sistem syariah adalah inklusif. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pada lembaga ekonomi seperti koperasi yang berbasis instansi/perusahaan atau komunitas menggunakan sistem syariah, karena ekonomi syariah adalah inklusif. Ekonomi syariah adalah sistem yang boleh digunakan oleh seluruh agama yang ada di Indonesia.  

Pemberitaan di Republika tentang rencana pilot project KDMP syariah di Aceh, bukan berarti KDMP syariah hanya cocok untuk wilayah yang sistemnya syariah Islam. KDMP syariah di Aceh hanya sebagai percontohan, namun KDMP syariah sebaiknya dilaksanakan di seluruh  Indonesia. KDMP adalah koperasi berbasis desa atau kelurahan yang masyarakatnya terdiri dari berbagai penganut agama, maka yang tepat adalah KDMP syariah. Pengecualian adalah untuk daerah yang 100 persen non-Muslim, maka silakan memilih akan konvensional atau syariah.

Dukungan penyebarluasan ekonomi syariah di Indonesia, adalah karena sistem ini cocok untuk Indonesia yang beraneka ragam agama. Dengan adanya sistem syariah pada KDMP maka diharapkan dapat menghilangkan haru biru, yakni menghilangkan  keributan, atau kekacauan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement