REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Nugroho, Jurnalis Cybersecurity
Selama tiga pekan Rudy Kurniawan merasa “diteror”. Hampir setiap hari, ya, begitu pengakuannya, berondongan panggilan telemarketing mampir di ponselnya. Si penelepon mengaku berasal dari Rupiah Cepat, perusahaan pinjaman online (pinjol) berbasis di Jakarta Pusat.
“Jangankan mendaftar, seumur hidup saya tidak pernah mendengar perusahaan ini,” ia memendam kesal saat mengunggah keluhannya di mediakonsumen.com, situs web yang populer menerima keluhan pelanggan, pada 20 Oktober 2024.
Menurutnya, si penelepon terus-menerus menawarkan pinjaman melalui nomor telepon yang selalu berganti-ganti. Satu hal yang ia merasa heran: mengapa Rupiah Cepat mengetahui nomor selulernya? “Padahal saya tidak pernah memberikan consent? Bukankah ini pelanggaran data pribadi?" tanya warga Tangerang, Banten retoris.
Tepat sebulan kemudian, Haryanto, warga Tangerang juga mengunggah keluhan yang sama. Lagi-lagi, ia berhadapan dengan telemarketing Rupiah Cepat. Ia malah hampir tiga bulan mendapatkan telepon “spam” penawaran pinjol. “Rutinitas spam ini melebihi minum obat,” tuturnya.
Meski Rupiah Cepat akhirnya menanggapi dan berkilah tidak pernah menawarkan pinjaman bagi non-pelanggan, tetap saja persoalan telemarketing secara umum semacam itu menjadi problem klasik dan sangat mengganggu bagi pelanggan seluler.
Serbuan pesan teks (SMS) atau telepon “spam” semacam itu kian masif. tidak hanya soal pinjol, tapi juga promosi produk, bahkan penipuan yang berujung permintaan untuk menginstal perangkat lunak perusak alias malicious software (malware) pada ponsel kita. Saya termasuk pelanggan seluler yang menerima pesan penawaran baik Rupiah Cepat maupun penyedia pinjol lainnya, serta beberapa kali penipuan melalui telepon seluler.
Fenomena pesan atau telepon “spam” tersebut menimbulkan tanya: mengapa platform atau pihak lain begitu mudah mengetahui data kita? Jika kita melempar tanya itu ke media sosial, jawaban paling sering diutarakan: kebocoran data. Kebocoran data adalah salah satu penyebab data kita bisa diketahui oleh pihak lain, tapi ada pula cara-cara lain data pribadi tersebar dari pihak satu ke pihak lain, salah satu lainya, penjualan data—seringkali ini disebut “berbagi data”.
e-SIM sebagai solusi?
Pada 11 April lalu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid pada 11 April lalu mendorong publik bermigrasi dari kartu seluler fisik menuju kartu seluler digital (embededd subscriber identity modul/e-SIM). Ia menyebut “e-SIM adalah solusi masa depan”.
Meutya berkeyakinan teknologi digital itu “memberikan perlindungan ganda terhadap penyalahgunaan data serta kejahatan digital yang marak seperti spam, phishing, dan judi online.”
Secara mendasar, e-SIM adalah cip kecil tertanam di ponsel yang bertugas mengoneksikan pengguna ke jaringan seluler. Dari segi keamanan, e-SIM memang jauh lebih aman karena (1) kartu seluler tidak patah, (2) mudah mengelola koneksi seluler secara jarak jauh, bahkan saat bepergian ke negara lain. (3) Pelanggan jauh lebih fleksibel, bisa berganti-ganti nomor seluler, tanpa khawatir kartu hilang atau dicuri. (4) Pengguna bisa mengaktifkan kartu fisik bersamaan e-SIM.
Di sisi lain, (5) sulit bagi peretas untuk melakukan SIM-swapping seperti kasus yang pernah dialami oleh wartawan senior Ilham Bintang beberapa tahun silam. Meski upaya itu memungkinkan, tahapan peretas jauh lebih sulit dibandingkan ketika melakukan pada kartu fisik SIM. (6) Bahkan, e-SIM juga menyulitkan peretas untuk mengkloning kartu seluler pengguna. Dalam serangan SIM cloning, peretas harus mengakses fisik kartu seluler, sementara e-SIM telah tertanam dalam ponsel pengguna.
NordVPN, penyedia jaringan virtual pribadi (VPN), menuturkan, mengkloning e-SIM secara jarak jauh tidak bisa. “Peretas harus menghubungi operator jaringan seluler dan melewati sejumlah protokol autentifikasi,” katanya. Adapun terkait e-SIM swapping, hal ini bukanlah hal yang umum daripada kejadian pada kartu SIM tradisional. Sekali lagi, menurutnya, kejahatan ini bisa terjadi bergantung pada bagaimana provider memverifikasi dan memvalidasi identitas pelanggan.
Setidaknya itulah keunggulan e-SIM dibandingkan kartu SIM fisik. Namun, e-SIM tentu saja tidak kebal dari ancaman atau serangan siber. Terlebih, mencerna pernyataan Ibu Menteri yang menyebut “e-SIM solusi masa depan” agak aneh. Jika yang dipahami adalah e-SIM menjadi solusi mencegah kejahatan siber, itu rasanya mustahil.