
Oleh : Indra Gunawan, Dosen FEB UIII, Alumni Lemhannas PPSA XXIV, Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027
"West, as we knew it, no longer exists.” — Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa
Kalimat tajam itu bukan sekadar kritik geopolitik, melainkan tamparan elegan dari Eropa kepada Amerika Serikat. Dunia sedang menyaksikan pergeseran fundamental dalam tatanan perdagangan global, sebuah gelanggang negosiasi “Tariff Talk due to Trump Tariff Tantrum” Namun benarkah dunia harus memilih antara menuruti tantrum proteksionis atau membangun kembali equilibrium baru yang lebih adil? Mari kita kembali ke tahun 1955 dimana Bandung menjadi saksi atas konsolidasi 29 negara Asia-Afrika. Mereka bersatu bukan karena kekuatan ekonomi, tapi oleh idealisme. Konferensi Asia Afrika (KAA), mereka melahirkan Dasasila Bandung — sebuah deklarasi anti-kolonial yang menolak dominasi kekuatan besar dan menyerukan tatanan dunia yang lebih adil, setara, dan damai.
Semangat Asta Cita, Dasasila dan Nash Equilibrium
Dalam konteks modern, semangat KAA ini terpatri dalam Cita ke-8 dari Visi Asta Cita dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran yakni, “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis domestik.” Kemandirian ini tidak lahir dari ketakutan terhadap globalisasi, melainkan sebagai bentuk kepercayaan diri untuk berperan aktif dalam diplomasi ekonomi global yang lebih adil dan berkeadilan.
Prinsip ini sejatinya bersumber dari warisan luhur bangsa: Dasasila Bandung, hasil monumental dari Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, yang menolak segala bentuk dominasi ekonomi oleh satu kekuatan atau blok. Dasasila menegaskan bahwa perdamaian dan kemajuan hanya dapat terwujud melalui persamaan derajat, penghormatan terhadap kedaulatan, dan sistem perdagangan yang tidak diskriminatif
Prinsip ini menjadi lebih relevan ketika Presiden AS Donald Trump playing games menerapkan tarif secara sepihak. UE merespons dengan tarif balasan, yang memicu komentar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, yang menyatakan bahwa Eropa kini membangun jaringan pertemanan baru, bukan lagi bergantung pada AS semata.
Ursula menunjukkan bahwa setelah tarif besar-besaran yang diterapkan Presiden Donald Trump, Uni Eropa (UE) tidak lagi melihat Amerika Serikat (AS) sebagai mitra dagang terpentingnya. “Dunia telah menjadi bola dunia juga secara geopolitik, dan saat ini jaringan persahabatan yang menjangkau seluruh dunia yang lebih luas, Barat tidak lagi sama seperti yang kita kenal dahulu” tegasnya.
Dari sudut pandang teori permainan, tindakan Trump mengusik Nash Disequilibrium. Ketika satu negara meningkatkan tarif untuk kepentingan sepihak, negara lain akan merespons serupa. Hasilnya adalah status dominasi yang tidak optimal bagi siapa pun. Bahkan menurut penelitian oleh Amiti et al. (2020), perang dagang AS-Tiongkok mengakibatkan kerugian ekonomi langsung sebesar $1,4 miliar per bulan bagi sektor-sektor ritel dan manufaktur AS, sementara tidak secara signifikan mengurangi defisit neraca berjalan AS.
Bayangkan dunia sebagai pasar malam global, penuh warna dan hiruk-pikuk. Tiba-tiba, Trump muncul bak penutup pasar yang berteriak, melemparkan bom tarif ke Indonesia, ke Meksiko dan Kanada, khususnya juga ke Tiongkok, mengacaukan tatanan dunia seperti badai di tengah keramaian. Dunia pun panik, bursa saham global jatuh—S&P 500 anjlok 10,5% dalam dua hari, terburuk sejak 2020 (Investopedia, 2025).
Trump Tariff Tantrum awalnya dijuluki “Liberation Day,” bukan sekadar ancaman retoris. Pada April 2025, tarif 32 persen ke Indonesia memukul ekspor nikel dan CPO, yang menyumbang $40 miliar. Diperkirakan tarif ini akan memangkas pertumbuhan PDB global sebesar 1,5 persen pada 2025, dengan inflasi AS naik 0,7 persen di kuartal pertama (EY, 2024).
Indonesia sendiri menghadapi tekanan: nilai rupiah jatuh ke level terendah sejak krisis 2008, Mari kita jelajahi bagaimana Indonesia bisa menegosiasikan Tariff Talk ini dengan cerdas, menggunakan lensa Nash Equilibrium dan Pareto optimal, sambil tetap setia Asta CIta dan Dasasila pada akar anti-kolonial Konferensi Asia Afrika (KAA).
Tariff Talk Menuju Orbit Equilibrium
Ketegangan tarif memaksa negara-negara jalankan Tariff-Talk Kembali ke pendulum Pareto optimal, sejatinya tidak ada pihak yang dirugikan jika semua negara memilih strategi perdagangan bebas dan adil. Dunia selalu akan menuju orbit “new equilibrium” — kondisi seimbang di mana setiap negara memperoleh manfaat relatif tanpa merugikan pihak lain.
Ini adalah esensi dari Dasasila Bandung dalam bingkai teori Nash: “Aku untung, kamu tidak perlu buntung” guna menhindari “zero sum game”. Terbukti pada 9 April 2025, Trump menekan tombol pause, mengumumkan jeda 90 hari untuk tarif “timbal balik” bagi 75 negara, kecuali Tiongkok, yang kini menghadapi tarif 145 persen (Reuters, 2025).
Indonesia, dengan visi Asta Cita dan semangat Dasasila Bandung 1955, tampil bak penari lincah, memanfaatkan jeda ini untuk memperkuat diplomasi ekonomi global menjadi penjembatan equilibrium baru di antara poros-poros besar dunia. Sebagai anggota aktif G20 dan peran strategis di Asia, Indonesia harus mendorong reformasi tata kelola perdagangan global berdasarkan keadilan ekonomi, bukan hegemonisme tarif.
Menurut laporan WTO Trade Policy Review 2023, negara-negara berkembang merugi rata-rata 0,5 persen dari PDB setiap tahun akibat distorsi tarif dan proteksi dagang dari negara maju. Dari perspektif ini KAA 1955 tidak hanya melahirkan Gerakan Non-Blok, tapi juga kerangka etis untuk memperjuangkan fair and free trade. Maka, Bandung bukan masa lalu—ia adalah kiblat bagi masa depan dunia.
Meskipun “America First” adalah slogan populis yang menggugah secara domestik, namun secara global itu justru menyingkirkan AS dari kepercayaan multilateral. Menurut studi oleh Freund et al. (2022,), tarif Trump mengurangi ekspor AS sebesar 10,5 persen ke Eropa dan Asia, sekaligus meningkatkan ketergantungan mitra dagang terhadap Tiongkok dan ASEAN. Dalam konteks ini, Indonesia bisa ambil de ja vu momentum Asia-Afrika 7 dekade lalu untuk mendorong AS untuk kembali ke orbit perdagangan bebas yang adil, bukan demi kepentingan global semata, namun untuk Pareto optimal dunia yang lebih adil.
Penutup: Membangun Dunia Tanpa Koloni Tarif
Negosiasi tarif bukan sekadar hitungan ekspor-impor. Ini adalah medan tempur ideologi: apakah dunia akan kembali ke proteksionisme yang sempit, atau membangun perdagangan dunia yang beradab, sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno di Konferensi Asia Afrika? Bandung 1955 mengajarkan kita bahwa kekuatan bukan soal ekonomi, tapi soal moral dan nilai idealisme berkeadilan. Kini saatnya bangsa-bangsa membentuk “Bandung Spirit 2.0”.
Semangat "Asta Cita" dan "Dasasila" ini adalah dua sisi mata uang yang sama. Kemandirian ekonomi memberikan kita kekuatan untuk berdiplomasi secara efektif, sementara semangat Bandung mengajarkan kita untuk selalu mengedepankan kesetaraan dan kerjasama. Dengan modal ini, Indonesia tidak hanya mampu mewujudkan cita-citanya sendiri, tetapi juga berkontribusi aktif dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, di mana tidak ada lagi negara yang bisa seenaknya memberlakukan "Tariff Tantrum" tanpa konsekuensi.
Inilah saatnya Indonesia, dengan semangat "Asta Cita" yang berakar pada "Dasasila Bandung," menunjukkan kepemimpinannya di panggung ekonomi global sesuai butir Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dimana salah satu tujuan negara Indonesia adalah "ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial"