Ahad 20 Apr 2025 18:34 WIB

Mengapa Saya Menolak Daerah Istimewa Minangkabau

DIM bukan kebutuhan orang Minangkabau saat ini.

Seorang warga berada di balik jendela rumah gadang di Nagari Panyalaian, Tanah Datar, Sumatera Barat,  (8/12/2023).
Foto: ANTARA FOTO
Seorang warga berada di balik jendela rumah gadang di Nagari Panyalaian, Tanah Datar, Sumatera Barat, (8/12/2023).

Oleh : Dr Emeraldy Chatra*

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa saya tidak setuju dan menolak gagasan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Alasan ini saya munculkan tahun 2019. Setelah melalui berbagai diskusi alasannya menjadi bertambah-tambah. Tapi belum tertulis dengan baik di artikel ini.

Keberatan pertama, DIM berpotensi memecah belah orang Minang, membuat pertentangan antara yang setuju dengan yang tidak. Mestinya yang digagas itu gerakan yang dapat mempersatukan, mendamaikan. Banyak penentang DIM di Sumbar yang tidak diketahui penggagas.

Kedua, gagasan DIM adalah gagasan orang-orang yang ingin menghadirkan orang dengan privilege dalam bungkus budaya Minangkabau. Itu bukan kebutuhan orang Minangkabau saat ini. Kalau kita tanya kepada banyak orang apa yang mereka butuhkan, maka jawaban yang akan mendominasi adalah bagaimana keluar dari kesulitan hidup. Ekonomi merosot. Banyak orang tidak punya pekerjaan, padahal berpendidikan, bahkan sudah S2. Lihatlah data statistik pengangguran terdidik. Sekarang sarjana banyak yang jadi driver ojek online. Masalah seperti ini tidak dapat diselesaikan dengan mendirikan DIM.

Ketiga, masalah moral masyarakat yang merosot (banyaknya perzinahan, narkoba, LGBT, miras, dll) tidak dapat diatasi dengan mendirikan DIM. Tidak pernah ada pemerintahan di zaman ini yang benar-benar berhasil menghapus kemaksiatan. Moral itu masalah jalan pikiran orang. Jalan pikiran itu yang harus dibenahi. Bukan dengan mendirikan DIM.

Antara keinginan DIM dengan kenyataan akan jauh panggang dari api karena kerusakan moral itu tidak hanya di lapisan masyarakat, tapi juga di kalangan pejabat penyelenggara pemerintahan dan politisi yang menduduki jabatan legislatif. Ini sudah jadi rahasia umum. Apakah DIM bisa ‘membersihkan’ oknum-oknum seperti itu kelak dalam pemerintahan? Mustahil.

Keempat, para penggagas DIM umumnya orang yang tidak dikenal masyarakat Sumbar. Kelompok intinya adalah orang-orang Minang yang hidup di rantau, yang umumnya tidak benar-benar paham dengan kondisi masyarakat Minangkabau sekarang ini. Oleh karena nama mereka tidak dikenal, orang Minangkabau di kampung juga tidak kenal track-record mereka. Otomatis juga tidak dapat mengerti apa sesungguhnya maksud mereka di balik retorika yang disampaikan.

Inti dari masalah yang kita hadapi saat ini bukanlah tata pemerintahan. Tapi budaya, pikiran masyarakat yang sudah jauh dari harapan. Meluruskan pikiran ini yang mesti dikerjakan lebih dulu.

Contohlah Nabi Muhammad. Apa yang pertama kali beliau kerjakan adalah merubah jalan pikiran orang. Beliau mengajarkan tauhid kepada para penyembah dewa-dewa. Pindah dari paham pagan kepada tauhid itu adalah revolusi berpikir. Tidak mudah bagi orang Arab yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun menyembah patung meyakini bahwa Allah itu tunggal.

Sampai meninggal pun Rasulullah tidak memikirkan tata pemerintahan. Beliau masih berjuang membersihkan pikiran yang sesat dan menegakkan syariat Islam. Setelah beliau wafat barulah dilakukan penataan institusi pemerintahan. Itu pun tidak dibuat menjadi tata pemerintahan yang kompleks. Sederhana saja.

DIM itu, kritik saya, tidak mulai dari pembersihan pikiran orang Minang. Tapi membuat struktur. Jadi kapan pikiran yang membawa kemaksiatan itu dibersihkan? Sementara pikiran sesat itu berpotensi meruntuhkan struktur yang sudah dibangun. Di sini saya menemukan adanya kesalahan dalam berpikir.

(*)Akademisi dan pakar komunikasi, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas periode 2017–2021.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement