Selasa 01 Apr 2025 08:05 WIB

Biaya Intervensi BI yang Membludak: Perlunya Strategi Baru Pemulihan Rupiah

Kebijakan BI mirip dengan kesalahan Bank Sentral Turki (CBRT) pada 2018.

Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024). Nilai mata uang Rupiah terhadap dolar melemah hingga mencapai Rp16.250 di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang semakin berkurang.
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024). Nilai mata uang Rupiah terhadap dolar melemah hingga mencapai Rp16.250 di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang semakin berkurang.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Pada 27 Maret 2025, rupiah dibuka di level Rp 16.590 / 1 dolar AS —hanya 0,1 persen lebih kuat dari penutupan sebelumnya (Rp 16.611)—setelah BI menghabiskan 1,6 miliar dolar AS untuk intervensi spot market dalam tiga hari terakhir.

 

BI 'Membakar Devisa' Tanpa Hasil Signifikan

Namun, upaya ini sia-sia: rupiah kembali melemah ke Rp 16.640 per dolar AS pada sesi siang. Data ini mengonfirmasi pola boros BI: setiap satu miliar dolar AS yang dihabiskan untuk intervensi langsung hanya mampu menguatkan rupiah maksimal 0,5 persen, dan efeknya lenyap dalam sehari dua hari.

Sejak Januari 2025, BI telah membakar 4,5 miliar doalr AS cadangan devisa (tiga persen dari total cadev), tetapi rupiah tetap terdepresiasi delapan persen terhadap dolar AS.

Angka biaya intervensi 4,5 miliar dolar AS cadangan devisa diperoleh dari penurunan akumulasi Cadev Februari 2025 turun jadi 154,5 miliar dolar AS dari sebelumnya 156,1 miliar dolar AS (lihat rilis BI) ditambah biaya intervensi pada Maret sekitar 1,6-3 milar dolar AS.

 

Perbandingan dengan Bank Sentral Malaysia (BNM), BI Tidak Efisien?.

Pada periode sama, BNM hanya menghabiskan 600 juta dolar AS untuk intervensi, tetapi ringgit terjaga di 4,45 ringgit Malaysia per dolar AS (depresiasi lima persen YoY) sumber data Bank Sentral Malaysia Maret 2025.

Rahasianya? BNM mengalihkan 70 persen intervensi ke foreign exchange swaps dan forward contracts, yang tidak menggerus cadev secara langsung.

Sementara BI terjebak pada intervensi spot dan NDF (membeli rupiah dengan dolar AS), BNM menggunakan instrumen derivatif untuk menekan spekulasi tanpa menguras devisa.

BI mengklaim telah menggunakan Non-Deliverable Forwards (NDF) dan dual intervention (mengintervensi pasar spot dan domestik) untuk menstabilkan rupiah. Namun, kebijakan ini tidak efektif karena dua alasan: NDF Tidak Menyentuh Akar Masalah. NDF hanya melindungi pelaku pasar dari volatilitas jangka pendek, tetapi tidak mengurangi permintaan dolar AS di pasar fisik.

Pada Maret 2025, transaksi NDF BI hanya mencakup 15 persen dari total volume perdagangan valas, sementara 85 persen tetap terjadi di pasar spot—di mana tekanan spekulasi tinggi.

Dual Intervention Tidak Komprehensif: BI fokus pada intervensi di pasar spot dan penyerapan likuiditas rupiah, tetapi mengabaikan kebutuhan repatriasi dolar AS dari eksportir. Padahal, 40 persen pendapatan ekspor Indonesia (terutama komoditas) masih ditahan di luar negeri, menciptakan kelangkaan dolar di pasar domestik.

 

SRBI dan SVBI: Bukan Solusi, Melainkan Beban Baru

Bank Indonesia (BI) meluncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) sebagai "alternatif" menahan aliran modal keluar dari Surat Berharga Negara (SBN).

Gubernur BI Perry Warjiyo mengklaim SRBI menawarkan suku bunga lebih tinggi daripada SBN untuk mencegah capital outflow.

Namun, kebijakan ini justru menciptakan dua masalah: Pertama Biaya Pendanaan BI Melonjak: SRBI diterbitkan dengan suku bunga 7,25 persen (Q1 2025), 1,5 persen lebih tinggi daripada SBN (5,75 persen). Selama Januari-Maret 2025, BI telah menerbitkan SRBI senilai Rp 150 triliun, yang berarti BI harus membayar bunga Rp 10,9 triliun/tahun—dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk stabilisasi kurs.

Kedua, Disinsentif bagi Pasar SBN: Investor asing beralih dari SBN ke SRBI, memaksa pemerintah menaikkan imbal hasil SBN untuk tetap kompetitif. Pada Maret 2025, Kementerian Keuangan terpaksa meningkatkan target bunga SBN dari 5,75 persen ke 6,25 persen, menambah beban pembayaran utang sebesar Rp 15 triliun/tahun.

Dengan kata lain, SRBI/SVBI hanya memindahkan masalah dari neraca pemerintah ke neraca BI, tanpa menyelesaikan akar penyebab: Ketidakpercayaan investor terhadap stabilitas rupiah. BI mengklaim SRBI/SVBI adalah bagian dari dual intervention strategy. Namun, data menunjukkan kebijakan ini justru meningkatkan biaya intervensi:

Biaya SRBI: Untuk setiap Rp10 triliun SRBI yang diterbitkan, BI harus membayar bunga Rp 730 miliar/tahun (asumsi 7,3 persen). Biaya Intervensi Langsung: BI masih harus menjual dolar AS di pasar spot untuk menahan pelemahan rupiah. Pada Maret 2025, BI menghabiskan 1,8 milia dolar AS (setara Rp 29,8 triliun) untuk intervensi, tetapi rupiah tetap melemah ke Rp 16.600 per dolar AS.

Total biaya stabilisasi kurs BI pada Q1 2025 mencapai Rp 40,6 triliun (Rp 10,9 triliun bunga SRBI + Rp 29,8 triliun intervensi). Angka ini tiga kali lebih besar daripada biaya intervensi Bank Thailand (500 juta dolar AS atau Rp 8,3 triliun) yang berhasil menstabilkan baht di 35,8 per dolar AS.

 

Bank Sentral Brazil: Intervensi Tanpa Membebani Bunga

Bank Sentral Brazil (BCB) menghadapi masalah serupa: real Brasil terdepresiasi 10 persen pada 2025. Namun, BCB tidak menerbitkan instrumen seperti SRBI. Sebagai gantinya, mereka menggunakan FX swaps non-deliverable untuk menekan spekulasi. Mekanismenya:

Pertama, BCB menjual kontrak berjangka dolar AS dengan tenor satu sampai enam bulan kepada pelaku pasar. kedua, Jika real Brasil terdepresiasi di atas batas yang ditetapkan, BCB tidak perlu mengirim dolar AS fisik—cukup membayar selisih kurs secara tunai. ketiga, Biaya transaksi hanya 0,5-1 persen dari nilai kontrak, jauh lebih murah daripada penerbitan SRBI (7,25 persen).

Hasilnya, BCB hanya menghabiskan 300 juta dolar AS (Rp 4,9 triliun) untuk menstabilkan real Brasil di 5,10 dolar AS, sementara BI menggelontorkan Rp 40,6 triliun tanpa hasil signifikan.

Kebijakan BI mirip dengan kesalahan Bank Sentral Turki (CBRT) pada 2018, di mana CBRT menerbitkan FX-protected deposits untuk mencegah pelarian modal. Skema ini mengharuskan CBRT menjamin nilai tukar bagi deposan, yang berujung pada kerugian USD18 miliar saat lira terdepresiasi 40 persen.

SRBI/SVBI berisiko mengulangi bencana serupa karena: Pertama, Mendorong Moral Hazard: Investor asing akan terus meminta imbal hasil tinggi karena tahu BI "terpaksa" membayar demi menghindari krisis.

Kedua, Membebani Neraca BI: Jika rupiah terus melemah, BI harus mencadangkan dolar AS lebih besar untuk back-up SVBI—padahal cadev sudah turun ke 154,5 miliar dolar AS (Februari 2025).

Daripada menerbitkan SRBI/SVBI yang mahal, BI harus: Wajibkan perusahaan dengan utang valas di atas lima juta dolar AS untuk melakukan hedging minimal 70 persen. Pada 2025, hanya 30 persen korporasi Indonesia yang melakukan hedging, sementara di Filipina angka ini mencapai 65 persen berkat regulasi ketat Bank Sentral Filipina (BSP).

Kolaborasi dengan Eksportir: Berlakukan aturan repatriasi 50 persen pendapatan ekspor dalam tujuh hari, seperti yang dilakukan Bank Thailand. Ini akan menambah pasokan dolar AS di pasar domestik secara alami, mengurangi kebutuhan intervensi fisik.

Hentikan Kompetisi Bunga dengan SBN: Koordinasi dengan pemerintah untuk menstabilkan imbal hasil SBN di kisaran enampersen, sehingga BI tidak perlu mematok suku bunga SRBI di 7,25 persen.

Dengan model ini, kapan rupiah akan kembali menguat? Rupiah mungkin kembali ke Rp16 ribu per dolar AS pada akhir 2025 hanya jika: Pertama, BI menghentikan penerbitan SRBI/SVBI dan mengalokasikan dana Rp 40 triliun/Q1 tersebut untuk beli dolar AS di pasar derivatif.

Kedua, The Fed mulai memotong suku bunga pada September 2025, seperti diisyaratkan Chairman Jerome Powell. Ketiga, Harga komoditas (nikel, batu bara) naik 20 eprsen seiring pemulihan permintaan global. Tanpa langkah ini, rupiah akan terjebak di atas Rp16.500 per dolar AS—dan SRBI/SVBI hanya akan menjadi batu nisan bagi kebijakan BI yang too costly, too late.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement