REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
Bank Indonesia melaporkan telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) sejumlah Rp 70,74 triliun selama tahun ini, hingga 18 Maret 2025. Pembelian surat utang pemerintah itu dikatakan sebagai langkah operasi moneter pro-market. Apa pun penjelasanNya, kepemilikan SBN oleh BI makin banyak, secara nominal dan porsi atas total.
Gubernur BI Perry Warjiyo menguraikan pembelian SBN melalui pasar sekunder sebesar Rp 47,31 triliun dan melalui pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar Rp 23,43 triliun. Hal tersebut ditegaskan guna mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah dan pencapaian sasaran inflasi.
Pembelian SBN dari pasar sekunder sebenarnya telah dilakukan sejak lama. Pada akhir tahun 2024, BI dan Kementerian Keuangan merasa perlu menyampaikan siaran pers bersama antara lain menyepakati BI akan melakukan pembelian SBN dari pelaku pasar dan melalui mekanisme pertukaran SBN secara bilateral (bilateral debt switch) dengan Pemerintah.
Pembelian di pasar perdana tidak boleh dilakukan oleh BI sebelum adanya ketentuan perundangan tahun 2020 terkait pandemi covid 19. Berdasar ketentuan itu, BI malah diminta beli SBN di pasar primer terkait dengan pembiayaan pandemi covid 19 dan pemulihan ekonomi setelahnya. Sedang pembelian atau penjualan di pasar sekunder pun tetap dilakukan.
Setelah ketentuan berdasar kondisi pandemi berakhir, telah ditetapkan ketentuan baru dalam UU No.4/ 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). UU P2SK kembali memperbolehkan BI membeli SBN di pasar perdana. Sebenarnya dengan syarat adanya kondisi krisis dan harus tenor jangka panjang.
Konsekuensi langsung dari kebijakan tersebut nantinya adalah kepemilikan Bank Indonesia yang makin banyak atas SBN domestik yang diperdagangkan. Kepemilikannya secara neto saat ini saja tercatat paling besar, mencapai Rp 1.608,27 triliun per 20 Maret 2024 atau 25,79 persen.
Sebagai perbandingan, kepemilikan BI atas SBN domestik diperdagangkan pada akhir 2019 hanya sebesar Rp 273,21 triliun dengan porsi 9,93 persen. Sebelum pandemi covid tahun 2020, porsi kepemilikannya memang hanya kisaran 9-10 persen pada tahun 2015-2019. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya kurang dari 4 persen.
Kondisi keuangan Pemerintah pun makin bergantung dengan kebijakan BI. Tanpa bantuannya, upaya membiayai defisit anggaran menjadi sangat sulit. Selain itu, SBN masih dipegang dan dibeli lagi oleh berbagai pihak antara lain karena semacam “dijamin” oleh BI.
Untuk memahami kondisi tersebut, perlu dicermati data keuangan BI, khususnya bagian operasi moneter selama beberapa tahun terakhir. Posisi total operasi moneter mulai melonjak pada akhir tahun 2020 menjadi Rp 694,01 triliun, dari akhir 2019 yang sebesar Rp 297,49 triliun.
Posisi neto itu bersifat menyerap atau absorb-si likuiditas perekonomian. Instrumen yang dipakai untuk menyerap antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Term Deposit Rupiah, Reverse Repo SBN, dan Deposit Facility.
Pada saat bersamaan, kepemilikan BI atas SBN domestik juga melonjak. Dari sebesar Rp 273,21 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 874,88 triliun pada akhir 2020.
Posisi operasi moneter BI masih meningkat menjadi Rp 881,27 triliun pada akhir 2021. Menurun menjadi Rp 742,93 triliun dan Rp 765,57 triliun pada akhir 2022 dan 2023. Kemudian meningkat lagi menjadi Rp 945,56 triliun pada akhir 2024.
Sementara itu, kepemilikan BI atas SBN terus meningkat sampai akhir tahun 2022. Hanya sempat sedikit turun pada akhir 2023, kemudian melonjak lagi pada akhir 2024. Masih meningkat hingga pekanketiga Maret 2025, dan telah menciptakan rekor nilai nominal kepemilikan.
Dari dinamika tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu sumber dana pembelian SBN adalah dari operasi moneter BI. Bahkan, terindikasi menjadi sumber dana utama selama setahun terakhir.
Salah satu yang menarik dicermati adalah perubahan instrumen operasi moneter yang dipakai oleh Bank Indonesia. Mulai pekan kedua September 2023, diperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). SRBI merupakan surat utang BI berjangka pendek, yang saat ini bertenor 6,9, dan 12 bulan.
Secara perlahan setahun setelah diperkenalkan, SRBI menjadi instrumen utama operasi moneter BI. Porsinya selalu di kisaran 90 persen dari total hingga saat ini. Perlu diketahui, SRBI memiliki underlying kepemilikan BI atas SBN, serta sekitar 25 persen dibeli oleh asing.
Rata-rata yield SRBI lebih tinggi dari SBN dan bahkan dari Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang merupakan SBN berjangka pendek. Secara pengamatan sederhana, BI melakukan “transaksi rugi” berutang kepada para pihak dengan bunga bersih lebih tinggi dibanding yang diperolehnya dari SBN yang dimiliki. SRBI yang dibeli pihak asing tercatat sebagai utang luar negeri Bank Indonesia
Bisa saja disampaikan alasan peran BI adalah menjaga stabilitas pasar SUN. Tanpa keterlibatan aktif BI, maka dikhawatirkan pasar sekunder SBN menjadi sangat bergejolak (volatile). Gejolaknya dapat membawa penurunan harga atau kenaikan yield yang “cukup liar”, akan berdampak pada semua indikator moneter dan keuangan.
Dasar pemikiran tersebut bisa dimengerti, namun kepemilikan BI sudah terlanjur sangat banyak. Perlu dikurangi secara perlahan, minimal dalam hal porsi jika belum bisa nominalnya. Secara teknis akan berlangsung alamiah jika SBN yang jatuh tempo dan dibayar pemerintah tidak ditukar atau dibelikan lagi untuk SBN baru.
Kepemilikan yang besar saat ini dan masih akan bertambah sepanjang tahun 2025, menimbulkan risiko yang meningkat. Berdampak luas pada kondisi industri keuangan dan moneter, dan secara lebih khusus perbankan yang terkendala dalam penghimpunan dana. Bahkan, menambah keengganan mereka untuk menyalurkan kredit lebih besar bagi sektor riil.