Senin 17 Mar 2025 07:07 WIB

Urgensi Pemotongan Belanja Negara, Penting Agar Defisit tak Melebar

Upaya mencegah defisit tidak melebar akan lebih mengandalkan pengendalian belanja.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama jajaran pimpinan Kemenkeu sebelum konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Foto: Eva Rianti/Republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama jajaran pimpinan Kemenkeu sebelum konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute

Belanja Negara selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sebesar Rp 348,1 triliun. Merupakan 9,60 persen dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun. Turun cukup signifikan hingga 7,00 persen dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 374,32 triliun.

Penurunan belanja terutama disebabkan penundaan yang sering disebut “blokir” dari cukup banyak akun belanja selama proses penyusunan efisiensi. Besaran alokasi baru sendiri belum ditetapkan secara resmi atau memiliki payung hukum. Bahkan, belum dipastikan apakah realokasi mengubah postur APBN.

Belanja negara didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pengertian ini mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang bersifat mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara. Akan tetapi hanya pengeluaran yang tidak berakibat perolehan pembayaran kembali di waktu mendatang.

Belanja Negara selama era Presiden Jokowi, yang menyusun APBN 2025, memang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju kenaikan yang berfluktuasi. Pada periode pertama, rata-rata kenaikan sebesar 5,42 persen per tahun. Meningkat signifikan pada periode kedua karena pandemi, rata-rata naik sebesar 7,80 persen per tahun.

Belanja Negara direncanakan APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun atau meningkat 8,09 persen dibanding realisasi sementara APBN 2024 yang sebesar Rp 3.350,3 triliun. Terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP sebesar Rp 2.701,44 triliun (74,60 persen) dan TKD sebesar Rp 919,87 triliun (25,40 persen).

BPP dibelanjakan langsung oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan operasional maupun kegiatan Pembangunan. Secara organisasi yang membelanjakan, terdiri dari belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Belanja NonK/L.

Total Belanja K/L mencapai Rp 1.094,66 triliun dengan jumlah organisasi sekitar 100 unit. Sedangkan Belanja NonK/L sebesar Rp 1.606,79 triliun, merupakan belanja melalui bendahara umum negara (BUN). Antara lain dalam hal pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Realisasi Belanja Pemerintah Pusat selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sebesar Rp 211,5 triliun. Merupakan 7,80 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 2.701,4 triliun. Turun 11,74 persen dari realisasi tahun lalu, terutama disebabkan “blokir” banyak akun K/L selama proses efisiensi bulan Februari.

TKD merupakan belanja pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dan masuk dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersangkutan. Sebagian penggunaannya telah ditentukan pusat atau diberi batasannya, sebagian lagi diserahkan penuh pada Daerah.

Realisasi TKD selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sampai dengan akhir Februari 2025 sebesar Rp 211,5 triliun. Mencapai 14,90 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 919,9 triliun. Naik 1,43 persen dari realisasi tahun lalu, dan bisa dikatakan kinerja TKD cukup wajar. Terutama terkait dengan layanan publik yang wajib di daerah.

Laporan realisasi selama bulan Januari dan Februari 2025 tentang Pendapatan Negara sebesar Rp 317 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp348,1 triliun, maka dialami defisit sebesar Rp31,2 triliun. Menteri Keuangan menjelaskan hal ini wajar, karena memang direncanakan sebesar Rp 616,2 triliun pada APBN 2025.

Alasan Menkeu sepintas bisa diterima karena memang defisit baru 5,1 persen dari rencananya. Namun, dua bulan pertama pada tahun 2022, 2023, dan 2024 justeru alami surplus. Hanya defisit pada saat pandemi 2020 dan 2021. Dengan kata lain, kondisi defisit pada saat baru 2 bulan jelas bukan petanda baik bagi kondisi fiskal.

Defisit dua bulan ini terutama disebabkan Pendapatan Negara yang turun 20,85 persen dibanding capaian tahun lalu, dan hanya 10,50 persen dari target APBN 2025. Ini menjadi peringatan kondisi setahunnya akan cukup berat. Dengan demikian, upaya mencegah defisit tidak melebar akan lebih mengandalkan pengendalian belanja.

Kebijakan efisiensi anggaran, terutama berupa pemotongan belanja, sebenarnya cukup tepat dilihat dari sisi ini. Akan tetapi, sejauh ini masih terdapat kesimpangsiuran informasi tentang apakah akan direalokasi seluruhnya atau hanya sebagiannya. Program MBG dan beberapa prioritas lainnya masih dikemukakan.

Besaran alokasi baru sendiri belum ditetapkan secara resmi atau bahkan tidak diketahui apakah akan ada APBN Perubahan 2025. Jika postur tidak berubah, hanya realokasi, maka bisa dipastikan defisit akan melebar. Tidak tertutup kemungkinan mendekati batas tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement