Jumat 08 Nov 2024 16:59 WIB

Ijo Royo Kampus Hijau melalui Pembiayaan Kreatif Non-APBN

Tantangan utama dalam menerapkan Green University adalah keterbatasan anggaran.

Bantuan sepeda berjejer di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Cimanggis, Depok, Senin (7/3/2022). Bantuan itu untuk menggalakkan kepedulian lingkungan.
Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.
Bantuan sepeda berjejer di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Cimanggis, Depok, Senin (7/3/2022). Bantuan itu untuk menggalakkan kepedulian lingkungan.

Oleh : Indra Gunawan, Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia, Alumni Lemhannas PPSA XXIV dan Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027

REPUBLIKA.CO.ID, Masa depan keberlanjutan di Indonesia sedang diukir, dan universitas memiliki peran penting dalam perjalanan ini. Salah satu langkah nyata yang dapat diambil adalah dengan membangun kampus hijau, sebuah visi untuk menjadikan institusi pendidikan tinggi sebagai pionir dalam mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dihadapi saat ini.

Salah satu pendekatan strategis yang dapat diadopsi adalah Kampus Hijau alias Green University, yang memanfaatkan pembiayaan kreatif untuk menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan melalui kerangka kerja berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG). Sebagai negara berkembang terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menunjukkan kemajuan pesat dalam peringkat universitas hijau di tingkat regional dan global.

Data UI GreenMetric tahun 2022, misalnya, menunjukkan bahwa tujuh universitas di Indonesia telah berhasil masuk ke dalam 100 besar dunia, dengan Universitas Indonesia menempati peringkat ke-24. Pencapaian ini mencerminkan meningkatnya kesadaran dan komitmen institusi pendidikan tinggi Indonesia dalam mengintegrasikan praktik-praktik berkelanjutan.

Sejak tahun 1990-an, konsep Triple Bottom Line (TBL) yang dirumuskan oleh John Elkington telah menempatkan tiga pilar—sosial (people), lingkungan (planet), dan ekonomi (profit)—sebagai landasan untuk mengevaluasi keberhasilan bisnis dan institusi. Konsep ini telah mengubah cara pandang dunia terhadap keberhasilan yang tidak hanya didasarkan pada keuntungan finansial, tetapi juga pada dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Melalui penerapan TBL, Green University tidak hanya meningkatkan reputasi kampus di tingkat internasional, tetapi juga menginspirasi gaya hidup yang seimbang dan berkelanjutan bagi generasi masa depan.

Salah satu tantangan utama dalam menerapkan Green University adalah keterbatasan anggaran untuk pembangunan fasilitas yang ramah lingkungan, seperti asrama mahasiswa. Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan pembiayaan hijau berbasis ESG menawarkan solusi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan.

Kementerian Keuangan melalui PMK 202/PMK.05/2022 memungkinkan pemanfaatan aset Badan Layanan Umum (BLU) sebagai dasar penerbitan instrumen keuangan seperti green sukuk atau obligasi hijau. Instrumen keuangan seperti green sukuk atau obligasi hijau telah terbukti berhasil di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang pada tahun 2018 menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan green sukuk pemerintah. Green sukuk ini berhasil menarik perhatian global, dengan permintaan investor yang mencapai 1,8 kali lipat dari target penerbitan awal, menunjukkan tingginya minat pada instrumen keuangan yang mendukung keberlanjutan.

Dengan dukungan kebijakan pemerintah, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 202/PMK.05/2022, Universitas berstatus BLU yang dalam hal ini masih banyak didominasi oleh Universitas Islam Negeri di bawah Kementerian Agama dapat menggunakan aset-asetnya sebagai dasar penerbitan surat berharga atau instrumen pasar modal. Inovasi pembiayaan ini memungkinkan universitas untuk menarik investasi swasta, sehingga mengurangi ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta membuka peluang baru untuk meningkatkan layanan dan infrastruktur kampus.

Mengacu pada praktik terbaik dari universitas-universitas internasional, UIN dapat memanfaatkan teknologi hijau dalam pengelolaan air, manajemen limbah, dan penggunaan energi terbarukan. Beberapa kampus di Belanda, misalnya, telah menggunakan teknologi daur ulang air untuk mengolah air limbah menjadi air layak pakai, sehingga mengurangi konsumsi air bersih. Teknologi ini juga dapat diterapkan di Indonesia, di mana akses terhadap air bersih masih menjadi isu penting di banyak wilayah.

Di Universitas Edinburgh, Skotlandia, penggunaan panel surya dan teknologi mini-hydro untuk menghasilkan listrik telah menunjukkan bahwa kampus hijau tidak hanya hemat energi tetapi juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan. UIN dapat mencontoh model ini dengan memanfaatkan potensi energi surya di berbagai lokasi yang memiliki akses sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun.

Dalam mewujudkan proyek kampus hijau, UIN juga dapat menjalin kemitraan strategis dengan BPKH yang berpotensi menjadi investor dengan visi Sovereign Wealth Fund Syariah, yang akan mampu mengkonsolidasikan potensi sinergi wakaf dan dana sosial di luar dana haji selama ini. BPKH tentu harus bersinergi dengan pemerintah/kementerian/Lembaga, supranasional bahkan sektor swasta yang reputable. Kerjasama ini dapat mengurangi biaya investasi awal yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur hijau.

Salah satu contohnya adalah kerjasama dengan perusahaan penyedia panel surya yang tidak hanya akan menekan biaya, tetapi juga memungkinkan universitas untuk mengakses teknologi modern yang berkelanjutan. Model pembiayaan ini telah sukses diimplementasikan oleh universitas di Amerika Serikat, seperti Stanford University, yang mengandalkan kemitraan swasta untuk mengembangkan program energi terbarukan dan pengelolaan gedung yang berstandar ESG.

Selain itu, skema reksa dana ritel atau crowdfunding dapat menjadi alternatif pembiayaan yang melibatkan Masyarakat bagi literasi dan inklusi keuangan kreatif dan inovatif. Dengan mengajak publik untuk berpartisipasi langsung dalam proyek hijau, universitas dapat meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki di antara masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya sekadar mencari sumber pendanaan, tetapi juga membangun hub

ungan yang lebih erat dengan masyarakat, serta mempromosikan nilai-nilai keberlanjutan di kalangan generasi muda. Studi menunjukkan bahwa generasi milenial dan Gen Z cenderung lebih peduli terhadap isu-isu lingkungan, sehingga pendekatan kampus hijau dapat menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa yang memiliki kepedulian tinggi terhadap keberlanjutan.

Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk mewujudkan pembiayaan kreatif berbasis ESG di lingkungan kampus. Proses regulasi dan birokrasi yang kompleks seringkali menjadi kendala, terutama dalam hal pengelolaan aset dan penerbitan instrumen keuangan. Pengelola kampus perlu memiliki literasi yang memadai mengenai konsep ESG dan dampak jangka panjangnya terhadap keberlanjutan institusi. Oleh karena itu, pelatihan bagi manajemen universitas dan kerjasama dengan konsultan energi yang berpengalaman sangat penting untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan kampus berjalan transparan dan akuntabel.

Menurut laporan dari World Bank, investasi dalam proyek berbasis keberlanjutan memiliki potensi untuk memberikan keuntungan jangka panjang, terutama dalam mengurangi biaya operasional. Pada sektor pendidikan, keuntungan ini dapat digunakan kembali untuk memperkuat layanan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan fasilitas kampus. Penerapan sistem manajemen yang transparan juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap institusi, sehingga mendorong partisipasi yang lebih luas dalam program-program yang mendukung keberlanjutan.

Implementasi kampus hijau di UIN juga dapat menjadi strategi untuk mencapai ketahanan energi nasional, yang selaras dengan visi Indonesia Emas 2045. Di era globalisasi dan digitalisasi, ketahanan energi menjadi isu yang semakin krusial, dan sektor pendidikan dapat berperan aktif dalam upaya mencapai target ini. Menurut data dari Kementerian ESDM, konsumsi energi di Indonesia diproyeksikan meningkat 5% per tahun hingga 2040, sehingga penting bagi berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi, untuk mengadopsi solusi energi terbarukan.

Pengembangan kampus hijau bukan sekadar proyek infrastruktur; ini adalah investasi dalam masa depan generasi muda menuju Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia emas 2045. Melalui penerapan pembiayaan hijau yang kreatif, UIN dapat naik kelas sejajar dengan PTN-BH yang menggabungkan prinsip-prinsip TBL, Green/ESG, dan kerangka regulasi yang mendukung, kampus dapat memberikan dampak nyata dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Kampus yang mengadopsi konsep hijau juga dapat menarik lebih banyak mahasiswa dan akademisi yang peduli lingkungan. Berdasarkan data dari Times Higher Education University Impact Rankings, kampus-kampus yang berkomitmen pada keberlanjutan sering kali mendapatkan peringkat tinggi dalam aspek dampak sosial. Hal ini menunjukkan bahwa universitas yang ramah lingkungan tidak hanya memberikan manfaat pada tingkat lokal tetapi juga diakui secara global, memperkuat reputasi internasional yang bisa membawa dampak positif pada penerimaan mahasiswa internasional dan kemitraan akademik global.

Mengadopsi kampus hijau melalui pembiayaan kreatif bukan hanya impian tetapi kebutuhan di tengah tantangan global yang dihadapi hari ini. Di UIN dan universitas-universitas lain di Indonesia, integrasi antara pendidikan, riset, dan praktik keberlanjutan dapat menjadi katalisator perubahan positif. Melalui pengembangan infrastruktur ramah lingkungan dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, kampus hijau dapat menjadi pusat inspirasi bagi mahasiswa dan masyarakat untuk menciptakan pola hidup berkelanjutan, sebelum mereka memasuki dunia profesional. Transformasi ini bukan hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga berkontribusi pada tercapainya Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement