Kamis 07 Nov 2024 15:03 WIB

Dukungan Membabi-buta AS ke Israel Akhirnya Jadi Bumerang

Kemenangan Trump juga sangat erat dikaitkan dengan suasana hati masyarakat Amerika.

Calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, saat berkampanye  di Las Vegas, Jumat 13 September 2024.
Foto: AP Photo/Alex Brandon
Calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, saat berkampanye di Las Vegas, Jumat 13 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika Pemerhati Isu-Isu Palestina

Baca Juga

Pada 2007, dua profesor terkemuka, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari Universitas Harvard menerbitkan buku mereka, The Israel Lobby and US Foreign Policy. Buku yang mengungkapkan secara teperinci soal betapa dalam dan masifnya lobi Zionis di pemerintahan dan perpolitikan AS tersebut menggemparkan.

Mearsheimer dan Walt menjelaskan bagaimana kucuran dana luar biasa dari para pengusaha, kemudian kelompok lobi Israel di AS (AIPAC), serta kelompok Kristen Zionis demikian kuat mengarahkan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah yang semuanya hanya punya satu tujuan: membela kepentingan Israel apapun itu.

Kucuran itu mengalir ke dua partai utama di AS, yakni Demokrat dan Republik. Ini untuk menjamin bahwa siapapun presiden dan parlemen dari kedua partai itu, dukungan AS ke Israel akan tetap tanpa syarat secara bipartisan.

Betapapun politikus dan pemerintah AS dibuat tak memedulikan bahwa Israel melakukan penjajahan secara ilegal, menerapkan sistem apartheid, berulang kali melanggar berbagai resolusi PBB, berulang kali melakukan kejahatan kemanusiaan dengan membombardir Gaza dan melakukan penangkapan tanpa proses hukum di Tepi Barat.

Namun, dalam buku itu, bukan soal pengungkapan lobi-lobi itu saja sebenarnya yang dituliskan Mearsheimer dan Walt. Mereka punya pesan yang lebih mendesak: dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel akan berdampak sangat negatif terhadap AS jika diteruskan. Dukungan itu juga secara tak langsung sangat berbahaya bagi kelangsungan negara Israel.

Seperti jadi ramalan yang diwujudkan sendiri, muncul gelombang sanggahan terhadap buku tersebut. Mulai dari antisemitisme sampai delusional. Namun, sekitar 17 tahun kemudian, yang diperkirakan Mearsheimer dan Walt mewujud.

Dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel jadi salah satu faktor yang membuat negara adidaya dengan klaim moralitas demokratis tinggi itu untuk kedua kalinya memilih sebagai presiden Donald Trump, seorang terpidana yang sempat dituntut atas kasus pemerkosaan. Seorang pengusaha dan persona televisi yang kerap berbicara tanpa tata krama, melecehkan perempuan dan imigran serta kaum minoritas. Kandidat yang memicu kerusakan parah kohesi sosial di AS.

Bagaimana dukungan AS ke Israel memupus harapan terpilihnya seorang perempuan sebagai presiden tergambar di Dearborn, Michigan. “Genosida adalah politik yang buruk,” kata salah satu peserta nonton bareng hasil pilpres AS di kota itu kepada Aljazirah. Ia mengibarkan bendera Palestina dan Lebanon di luar pintunya.

Pada pertemuan Arab-Amerika tersebut terdapat rasa ketidakpedulian – bahkan pembenaran atas kemenangan Trump. Kandidat presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris telah mengabaikan seruan masyarakat untuk mempertimbangkan kembali dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel. Wakil presiden itu juga terus menegaskan apa yang disebutnya sebagai “hak Israel untuk membela diri” meskipun terjadi kekejaman brutal di Gaza dan Lebanon.

Aktivis Adam Abusalah mengatakan salah satu alasan Harris kalah adalah keputusannya untuk memihak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan mengorbankan basis Demokrat – Arab dan Muslim Amerika serta kaum muda dan kaum progresif.

“Kami telah memperingatkan Partai Demokrat selama lebih dari setahun, dan Partai Demokrat terus meremehkan apa yang terjadi.” Dia menambahkan bahwa pesan utama Harris kepada komunitas Arab adalah untuk memperingatkan bahaya kepresidenan Trump. Taktik ini gagal karena para pemilih di wilayah tersebut terfokus pada perang yang sedang berlangsung di Timur Tengah yang berdampak pada banyak dari mereka secara pribadi.

Pergeseran di daerah pinggiran kota Dearborn yang berpenduduk mayoritas Arab, kemarahan atas serangan Israel yang didukung AS di Gaza dan Lebanon terlihat nyata di kotak suara. Harris kalah dari Trump dengan selisih lebih dari 2.600 suara. Padahal, pada 2020, Presiden Joe Biden mengalahkan Trump dengan lebih dari 17.400 suara – mayoritas dari 20.000 suara yang membantu mantan presiden Partai Republik itu merebut kembali Michigan.

Kandidat presiden dari Partai Hijau Jill Stein, yang mengusung oposisi terhadap perang dalam platformnya, juga menunjukkan kinerja yang relatif baik di kota tersebut, meningkatkan dukungan partainya dari 207 suara pada tahun 2020 menjadi lebih dari 7.600 suara pada tahun ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement