REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hamka Hendra Noer, Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Belakangan ini istilah politik kartel atau kartel politik kembali menguat di jagat politik Indonesia. Proses politik, khususnya menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2024 di sejumlah daerah mengindikasikan penguatan corak politik elitis yang tidak hanya memblokir kepentingan lawan atau kompetitor politik, tetapi juga aspirasi rakyat.
Pilkada Jakarta, sebagai salah satu barometer politik nasional, kembali menjadi sorotan. Sebab, muncul fenomena yang mengindikasikan praktik politik kartel.
Dalam konteks ini, politik kartel merujuk pada kolaborasi antar partai politik yang seharusnya bersaing, namun justru bersatu untuk mengamankan kekuasaan.
Fenomena politik kartel yang mencengkeram proses demokrasi membuat rakyat
kehilangan kebebasan untuk memilih pemimpin yang cerdas dan berintegritas untuk pilkada Jakarta. Demokrasi yang seharusnya menjadi tempat bagi rakyat untuk menentukan arah kepemimpinan, kini justru diamputasi oleh praktik politik yang mencederai esensi demokrasi.
Tampaknya, postulat politik kartel terlihat jelas dalam Pilkada Jakarta kali ini.
Dukungan terhadap calon yang sebelumnya mendominasi berbagai lembaga survei, Anies Baswedan, tiba-tiba meredup bahkan tidak bisa berlayar karena tidak ada partai politik yang mengusung, akibat manuver politik yang melibatkan “kekuatan besar”.
Saat ini politik kartel mendominasi, sehingga proses demokrasi menjadi terdistorsi. Rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak, prestasi, dan kemampuan manajerial yang baik.
Sebaliknya, yang muncul ke permukaan pemimpin yang populer karena citra yang dibangun melalui media, bukan karena kualitas kepemimpinan yang sebenarnya. Akibatnya, demokrasi kehilangan esensi dan maknanya sebagai alat untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat.
Ketika politik kartel menentukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, demokrasi kehilangan arah dan tujuannya. Inilah fenomena politik kartel pada pilkada Jakarta, sebagai barometer nasional, akan dianalisis dalam artikel