REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rima Ginanjar, Arsitek Spesialis Zero Carbon
Di tengah krisis iklim yang terus meningkat dan pemilihan Presiden Indonesia di 2024, peran pemimpin dalam membentuk masa depan yang sustainable harus menjadi salah satu sorotan intensif. Tak hanya sektor energi dan transportasi, tetapi sekarang sektor konstruksi dan bangunan juga perlu mengambil langkah-langkah yang berani untuk menuju praktik Zero Carbon.
Kebutuhan akan regulasi untuk memandu dan mewajibkan praktik arsitektur yang tidak hanya sebatas konsep bangunan hijau, tetapi mengusung strategi Zero Carbon semakin mendesak. Istilah “Zero Carbon” ini mengacu pada pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi mendekati nol atau near-zero. Hal ini mengharuskan pemerintah dan bisnis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di semua sektor.
Pengurangan karbon harus bersifat permanen dan diakui dengan analisis terhadap jejak karbon komprehensif. Di sektor bangunan, diperlukannya penurunan karbon di dua aspek. Yaitu penurunan operasional karbon dan embodied karbon yang mempertimbangkan jejak karbon terkait bahan-bahan yang digunakan dalam konstruksi.
Karena bangunan merupakan konsumen energi utama, regulasi harus mewajibkan integrasi sumber energi terbarukan dan teknologi efisiensi energi. Dengan Peraturan Pemerintah terbaru mengenai konservasi energi di PP No. 33 tahun 2023, sektor bangunan gedung yang menggunakan energi lebih dari 500 setara ton minyak per tahun, wajib melaksanakan Konservasi Energi melalui Manajemen Energi.
Energi efisiensi adalah langkah pertama yang harus dilalui sektor bangunan sebelum meng-offset karbon melalui pembelian kredit karbon. Saat ini, operasional karbon bangunan mencakup 50% dari siklus hidup bangunan. Jika efisiensi energi berhasil dilaksakan, artinya proporsi embodied karbon akan meningkat.
Karena itu regulasi juga harus menangani jejak embodied karbon yang terkait dengan bahan konstruksi. Dengan mempromosikan bahan yang rendah karbon berdasarkan analisis siklus LCA (Life Cycle Analysis), arsitek dapat memilih material yang tepat dengan mempertimbangkan dampak karbonnya.
Embodied karbon yang menjadi upfront karbon di kontruksi ini sangat tinggi, terutama dari material
seperti semen dan baja yang intensif karbon, dapat ditangani melalui reforestasi dan teknologi Carbon
Capture Storage (CCS). Meskipun menurut KESDM pengembangan CCS saat ini masih ada tantangan
dalam aspek regulasi, di mana kegiatan Migas hanya dapat dilakukan oleh kontraktor migas. Dengan
terbukanya peluang kerja sama antara industri migas dengan industri kontruksi dapat menjadi kunci
untuk mencapai Zero Carbon.
Agar regulasi ini berjalan secara efektif, kerja sama antara arsitek, developer, dan pembuat kebijakan
harus mengambil peran proaktif. Insentif keuangan, keringanan pajak, dan kampanye kesadaran publik dapat lebih lanjut memotivasi dan merangkul praktisi arsitektur Zero Carbon. Maka, dengan langkah bersama, kita dapat membentuk masa depan yang sustainable dan climate resilient.