Oleh : Endah Hapsari, Redaktur Gaya Hidup Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh body checking yang dialami para finalis Miss Universe Indonesia membuat kita terperangah. Pengakuan para finalis pun membuat miris. Sejumlah finalis mengaku difoto telanjang saat body checking. Bahkan, beberapa di antara mereka mengaku bisa mengintip temannya di bilik body checking.
Meski kasus ini telah berlanjut ke ranah hukum, tak urung kita pun dibuat bertanya-tanya: mengapa mereka menerima begitu saja perlakuan tidak beradab seperti itu? Mengapa saat diminta untuk membuka pakaian untuk pengecekan itu, mereka benar-benar tidak mampu menolak demi terus mengikuti ajang tersebut? Apakah sebelumnya mereka sudah diberitahu harus melalui body checking dalam bentuk surat kontrak misalnya Jika tidak, tentu saja, mereka berhak menolak mentah-mentah perlakuan seperti itu. Pertanyaan demi pertanyaan pun terus bermunculan yang mempertanyakan legalitas aksi yang sejatinya masuk dalam kategori pelecehan seksual itu.
Kasus pelecehan seksual berkedok body checking di ajang Miss Universe Indonesia tentunya bukan kasus pelecehan seksual yang pertama kita dengar. Hanya berselang beberapa bulan sebelumnya, masyarakat juga dibuat kaget dengan kasus staycation yang harus dilakoni para karyawan perempuan sebuah perusahaan jika ingin kontrak kerjanya diperpanjang. Kasus ini pun sampai ke ranah hukum namun belum jelas juga ujung dari kasus tersebut.
Bila dirunut, daftar kasus pelecehan seksual bisa amat sangat panjang. Tak hanya terjadi di satu atau dua industri, tapi di berbagai industri dan sektor bisnis. Meski tak menutup kemungkinan dialami pula oleh para pria, namun boleh dibilang sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Dikutip dari situs djkn.kemenkeu.go.id, menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2022 terdapat 11.686 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dikutip dari sumber yang sama, perempuan adalah korban yang paling banyak dibandingkan laki-laki. Kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan bukan hanya kekerasan seksual, namun juga terdapat usikan seksual yang termasuk dalam kekerasan seksual secara tidak langsung.Usikan seksual tersebut didominasi oleh perilaku yang merayu dan menggoda kaum perempuan untuk dapat memenuhi hasrat seksual kaum laki-laki.
Menyoroti hal tersebut, dikutip dari situs dpr.go.id, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menegaskan, korban yang sebagian besar adalah perempuan harus mendapatkan perlindungan dan kesetaraan saat berada di tempat kerja. Alhasil, butuh ketegasan pemerintah dan pihak terkait agar kasus serupa tidak terus menerus terulang. Puan turut menyebut, stereotipe gender dan budaya patriarki yang masih menjadi momok di lingkungan kerja harus diatasi dengan berbagai pendekatan. Ia juga menilai, praktik kekerasan seksual di lingkungan kerja juga banyak terjadi karena adanya faktor relasi kuasa.
Relasi kuasa mengacu pada dinamika yang terjadi dalam interaksi sosial di mana satu individu, kelompok, atau entitas memiliki kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar daripada yang lain, yang dapat mempengaruhi bagaimana keputusan diambil, sumber daya didistribusikan, dan tindakan dilakukan. Relasi kuasa bisa bersifat formal, seperti dalam struktur organisasi atau hierarki politik, atau informal, tergantung pada konteksnya.
Dalam beberapa kasus, relasi kuasa dapat digunakan untuk eksploitasi atau penyalahgunaan. Ini bisa termasuk memanipulasi orang lain untuk keuntungan pribadi, termasuk dalam konteks pelecehan seksual atau pelecehan kekuasaan.
Relasi kuasa itu pula yang boleh jadi membuat korban pun terpaksa bungkam dan menelan pil pahit pelecehan selama bertahun-tahun demi menyelamatkan perekonomian, memapankan posisi atau meraih gelar dan penghargaan yang diidamkan sepanjang masa. Namun, apakah itu sepadan dengan perlakuan tak manusiawi yang diterimanya? Apakah sebanding dengan tindakan pelecehan yang dialami demi menggapai mimpi-mimpi besarnya?
Sejak kecil, anak-anak sudah diajarkan untuk bisa melindungi diri sendiri. Para orang tua sudah mengajarkan agar anak berani bilang tidak jika merasa tidak nyaman menerima perlakuan dari orang tak dikenal. Berani melindungi diri bila berhadapan dengan orang yang mungkin berniat jahat padanya. Ajaran ini seharusnya melekat terus hingga si anak dewasa dan merasakan keganasan rimba kehidupan. Maka, ketika mereka berhadapan realita di depan mata, ajaran masa kecil itulah yang seharusnya tetap tertanam dalam benaknya. Saatnya untuk melindungi tubuh kita yang berharga dan berani untuk bilang tidak!