Oleh : Hasanul Rizqa, Redaktur Agama Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada dasarnya, Islam tidak mewajibkan model pakaian tertentu untuk dikenakan umatnya. Asalkan memenuhi kriteria-kriteria kebersihan, menutup aurat, serta tidak menyerupai lawan jenis, busana apa pun sah-sah saja dipakai.
Bagaimanapun, jenis-jenis pakaian tertentu telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Sebagai contoh, jilbab—pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan tangannya—umumnya dianggap sebagai busana khas Muslimah. Jarang sekali wanita non-Muslimah yang rutin mengenakan setelan itu di ruang-ruang publik. Karena itu, sukar sekali untuk memisahkan antara jilbab dan identitas (pemeluk) agama Islam.
Memang, jilbab tidak bisa menjadi tolok ukur kesalehan seseorang. Diakui atau tidak, ada wanita-wanita yang memakai jilbab, tetapi apa yang dipakainya itu atau gerak-gerik yang diperagakannya, tidak sejalan dengan tuntunan Islam serta budaya masyarakat. Demikian pula, ada Muslimah—setidaknya di lingkungan penulis—yang tidak mengenakan pakaian itu, tetapi menunjukkan suatu tanda ketaatan pada perintah agama Islam, semisal dengan mendirikan shalat wajib pada awal waktu.
Menurut KH M Quraish Shihab dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (2004), mengentalnya kesadaran beragama adalah faktor utama di balik maraknya fenomena jilbab. Namun, ada pula fenomena-fenomena lain yang turut menjadi gerak pendorong. Misalnya, jilbab telah menjadi sebuah opsi mode berbusana yang kekinian, bahkan untuk kaum remaja perempuan. Dugaan lainnya, pemakaian jilbab adalah simbol pandangan politik, seperti yang terjadi pada kebanyakan wanita di Iran pasca-Revolusi 1979.
Busana menjadi “tameng”
Karena jilbab tidak terlepas dari identitas Muslimah, seorang wanita yang mengenakan busana tersebut pun seperti mengemban “harapan publik” bahwa dirinya menjadi bagian dari umat Islam secara luas. Dalam arti, ia diharapkan masyarakat (Islam) untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntunan agama ini.
Dalam kasus yang menyeret nama Oklin Fia, misalnya, banyak orang menyuarakan kecaman. Pasalnya, konten kreator tersebut memeragakan adegan-adegan yang tidak senonoh sembari mengenakan jilbab. Yang terbaru, ia menjilati es krim yang berada di depan alat kelamin pria.
Pada hakikatnya, dengan atau tanpa berjilbab, apa yang dilakukan Oklin Fia adalah sebuah perbuatan yang telah melanggar etika masyarakat Indonesia. Ia pun sesungguhnya sudah merendahkan martabat perempuan dengan menjadikan dirinya sebagai objek (pemuas) seksualitas. Dengan melakukannya sambil berpakaian khas Muslimah, ia pun menyinggung perasaan orang-orang Islam, khususnya kaum perempuan. Sebab, makna jilbab bukan sekadar penutup aurat, melainkan juga—terutama—identitas orang yang mengutamakan nilai-nilai islami.
Melakukan perbuatan yang tidak senonoh tentunya bertolak belakang dengan nilai-nilai perilaku yang diajarkan Islam. Maka dari itu, desakan agar Oklin Fia meminta maaf kepada komunitas Muslim menjadi sangat beralasan.
Namun, apa yang dilakukan remaja berusia 19 tahun itu “hanya” satu dari banyak kasus penyalahgunaan busana di Tanah Air. Yang sering kali menjadi tontonan publik adalah, sejumlah terdakwa yang “tiba-tiba” mengenakan pakaian islami ketika dihadirkan di hadapan majelis hakim. Padahal, mereka biasanya tampil tidak demikian di hadapan publik.
Untuk menyebut beberapa contoh, ada Pinangki Sirna Malasari. Pada Oktober 2021, terdakwa kasus suap dan gratifikasi itu mengikuti persidangan tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan mengenakan jilbab serta terusan gamis berwarna biru dongker. Padahal, dalam kesehariannya tidak begitu.
Kemudian, ada terdakwa yang juga gubernur nonaktif Provinsi Papua, Lukas Enembe. Ia pada Senin (7/8/2023) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, dengan memakai penutup kepala yang menyerupai peci.
Berbagai kasus itu menunjukkan, busana khas Islami masih menjadi tameng untuk menimbulkan citra atau bahkan simpati publik. Hal ini tentunya amat disayangkan. Sebab, masih banyak di luar sana yang memakai busana islami—semisal jilbab bagi Muslimah—karena memang mereka dalam ikhtiar untuk lebih menyelaraskan keseharian dengan tuntunan agama ini.
Namun, para kreator konten yang bertindak asusila mengooptasi hijab untuk “target pasar” mereka. Para terdakwa tiba-tiba berpakaian islami, padahal hanya sandiwara belaka untuk menimbulkan citra warga baik atau simpati hakim yang akan menjatuhkan hukuman bagi mereka. Ketidaktulusan itulah yang sesungguhnya melukai perasaan publik, utamanya umat Islam.