Oleh: Jaya Suprana, Penggagas Rekor Muri dan Pembelajar Nilai Perdamaian Kemanusiaan.
Tulisan saya yang bertajuk “Kadrun dan Bajingan” pada tanggal 2 Agustus 2023 di sebuah media nasional memperoleh tanggapan dari penulis sejarah, Wahyudi Djaja berupa foto kirab bajingan di Yogyakarta. Foto tersebut disertai penjelasan begini:
“Saya pembina para bajingan di enam kecamatan di Sleman Barat Om Jaya. Setahun sekali pas ultah kita adakan kirab. Sekarang jadi modal wisata yang mahal,“ kata Wahyudi Djaja.
Tentu saya merasa sangat tertarik. Saya bertanya kapan ultah bajingan dan langsung dijawab Wahjudi Djaja, yang nama belakangnya sama dengan saya, cuma beda ejaan Jawa dan ejaan Indonesia saja:
“September, Oom Jaya. Kami membuat paguyuban bajingan. Namanya Manunggal Lestari. Nanti kalau ultah saya undang ya, bisa nginap di Ndalem Natan, lalu ikuti kirab mutar desa hehe,'' katanya melanjutkan.
Kemudian mas Wahyudi berbagi informasi tentang penyelenggaraan kirab bajingan di lapangan Caturharjo, Sleman. Kala itu tampil dalam parade sekitar 130 gerobak sapi tradisonal dari pagubuyuban Manunggal Lestari ataupun Pager Merapi (Klaten), Makarti Rasa Manunggal (Kalasan), Guyup Rukun (Bantul), Andini Karya (Pakem), Langgeng Sehati (Prambanan).
Wahyudi Djaja berharap perayaan para bajingan dalam parade bisa meningkatkan kesejahteraan anggota, masyarakat lebih mencintainya, dan bisa dikembangkan untuk beragam kepentingan pariwisata.
Manunggal Lestari adalah perkumpulan gerobak sapi Sleman bagian barat, yang meliputi Gamping, Mlati, Sleman, Moyudan, Seyegan, Minggir, dan Tempel. Paguyuban para pengemudi gerobak sapi tradisional yang di Yogyakarta disebut sebagai bajingan mendapat fasilitasi dan dukungan, baik dari Dinas Kebudayaan Sleman maupun Dinas Pariwisata Sleman.
Selain itu, juga banyak bajingan memperoleh kepercayaan berupa undangan dari beberapa desa wisata untuk menyambut tamu yang berniat menjelajahi desa sambil nyaman menunggang gerobak sapi tradisional yang dikemudikan.
Dari masukan informasi Wahyudi Djaja dapat dipetik kesimpulan bahwa pada hakikatnya, istilah bajingan bebas nilai baik atau buruk, sebab nilai baik dan buruk tergantung dari tujuan penggunaannya.
Jika tujuannya baik, sifatnya menjadi baik. Namun, jika tujuannya buruk seperti untuk mencaci maki, sifatnya juga menjadi negatif seperti caci maki. Lain padang, lain belalang, maka lain makna bajingan Yogyakarta, lain makna bajingan daerah lain.
Dan sebaiknya Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknakan kata bajingan secara mandiri, terpisah dari kata bajing demi menegaskan fakta bahwa di samping bajingan sebagai kata kasar bermakna negatif.
Hal ini karena masih ada istilah lokal dan tradisional bahasa daerah Yogyakarta yang secara profesional memaknakan kata bajingan sebagai pengemudi gerobak sapi tradisional, yang kini sudah menjadi bagian melekat pada industri pariwisata budaya Nusantara berdaya tarik tiada dua di marcapada.
Dan ingat pula ada makanan bernama 'bajingan' di kawasan Jawa Tengah, yakni di Temanggung. Makanan bernama bajingan ini adalah sebuah makanan yang terbuat dari singkong atau ketela pohon. Cara membuatnya adalah singkong dipotong, direbus, dan kemudian ditambahkan irisan gula merah dan pandan. Panganan tersebut merupakan makanan khas yang berasal dari Temanggung, Jawa Tengah.
Maka, MERDEKA...!