Oleh : Fuji Pratiwi, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafel Alun Trisambodo (RAT) jadi kotak pandora soal gaya hidup pejabat publik dan keluarganya yang gemar pamer alias flexing. Terima kasih untuk mata jeli dan kelincahan jempol netizen membuka itu semua. Gara-gara itu, sejumlah kementerian dan kepala daerah mengimbau anak buahnya tidak flexing.
Perhatian publik kemudian tertuju pada satu per satu flexing abdi negara dan circle terdekat mereka. Itu pun yang ketahuan. Ada Sekda Provinsi Riau, pegawai di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dan lain-lain. Tekanan publik membuat mereka diinspeksi. Hasilnya, mereka mengaku barang-barang mewah yang dipamerkan keluarga mereka di media sosial adalah barang KW, barang palsu.
Apakah selesai perkara? Harusnya tidak.
Ingat Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang kampanye akbarnya dipimpin Presiden Joko Widodo? Memakai barang KW jelas-jelas membelot dari gerakan nasional itu. Apalagi, Jokowi meminta pegawai pemerintahan jadi garda depan berbelanja barang lokal hasil UMKM.
"Minimal 40 persen belanja pemerintah pusat dan daerah, BUMN, harus untuk membeli produk dalam negeri, terutama UMKM," ujar Jokowi dalam peluncuran Gernas BBI, Mei 2022.
Apakah barang UMKM Indonesia jelek? Jelas tidak. Mainlah ke Sarinah. Kata Kementerian Koperasi dan UKM, produk UMKM di Sarinah itu kualitasnya nomor wahid.
Pakai barang KW juga mencoreng kampanye perlindungan hak cipta. Apalagi, Kemenkumham sedang gencar mengajak pelaku usaha dan para kreator melindungi karya mereka dengan mendaftarkannya sebagai bagian kekayaan intelektual.
Terlepas dari itu, flexing oleh pejabat publik dan keluarganya jelas membuat sesak dada masyarakat. Bagaimanapun, gaji mereka bersumber dari uang publik. Jikapun mereka punya usaha sampingan yang lebih besar dari gaji, adalah kewajiban mereka untuk lapor ke pengawas terkait. Dan kewajiban para pengawas terkait buat menelaah kewajarannya.
Bukan apa-apa, masyarakat yang saban tahun bayar pajak, pastilah "mendidih" dan cemburu. Menurut BPS, yang miskin masih ada 26,4 juta orang di Indonesia (per September 2022). Melihat data World Inequality Report (WIR) 2022, di Indonesia pendapatan kelompok 50 persen terbawah hanya Rp 22,6 juta per tahun per orang atau Rp 62 ribu per hari.
Kalau kekesalaan ini muncul dan mewujud jadi gerakan pada kelas menengah dan generasi muda, efeknya bisa ke mana-mana. Yang utama adalah kepercayaan terhadap institusi publik. Sementara, Indonesia sudah makin dekat ke acara hajatan politik.
Jadi, masih mau maklum pengakuan barang KW flexing-nya pejabat?